Foto: PT Triputra Agro Persada tbk.
Memperbanyak embung untuk sumber air dan memadamkan api bila terjadi kebakaran
El Nino, si pembawa kekeringan, datang menggantikan La Nina, si pembawa curah hujan yang bercokol tiga tahun berturut-turut di Indonesia. Bagaimana dampak dan cara antisipasinya di kebun sawit?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak awal tahun memperingatkan kemungkinan terjadinya fenomena alam El Nino pada 2023. Pun Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization-WMO) merilis pada 4 Juli lalu, kemungkinan sampai 90% El Nino akan berlangsung selama semester dua 2023. Kategorinya paling tidak moderat. Selama ini rata-rata El Nino terjadi 2-7 tahun sekali.
“Double Kill”
El Nino Southern Ocillation (ENSO) atau lebih dikenal dengan El Nino saja adalah fenomena meningkatnya suhu muka laut di Samudera Pasifik yang mengakibatkan peningkatan curah hujan di beberapa wilayah Amerika Selatan, selatan Amerika Serikat, daerah “tanduk” Afrika, dan Asia Tengah. Namun sebaliknya, di Australia, Indonesia, selatan Asia, Amerika Tengah, dan bagian utara Amerika Latin, El Nino menyebabkan kekeringan yang parah.
Sekjen WMO Prof. Petteri Taalas memperingatkan, “El Nino kali ini kemungkinan besar memicu panas ekstrem sampai memecahkan rekor suhu udara di beberapa wilayah dan lautan. Karena itu pemerintah di seluruh dunia harus bersiap untuk meminimalkan dampaknya bagi kesehatan manusia, ekosistem, dan ekonomi.”
Sementara itu, Dr. Nuzul Hijri Darlan, M.Si., Peneliti Muda Agroklimat dan Pencemaran Lingkungan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dalam acara Bincang Pakar (19/5), menjabarkan kemungkinan El Nino dan dampaknya di kebun sawit. Sebelumnya El Nino terjadi pada awal 2019 sampai semester satu 2020. Kemudian sejak September 2020-Februari 2023, La Nina yang melanda Tanah Air.
“Musim kemarau 2020-2022 ini kita kenal dengan kemarau basah karena meskipun kemarau tetap ada curah hujan. Kondisi ini paling disenangi tanaman sawit, jadi panasnya dapat, hujannya juga dapat. Lalu terjadi Indian Ocean Dipole (IOD) negatif pada Juli-Oktober 2022. IOD (fenomena global yang terjadi akibat perbedaan anomali suhu permukaan laut di bagian barat dan timur Samudera Hindia) negatif, ini menyebabkan curah hujan yang tinggi. Jadi, selain La Nina, ada IOD negatif yang juga menyebabkan curah hujan tinggi,” jelas Nuzul.
Doktor alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM tersebut menambahkan, kondisi kemarau basah cenderung meningkatkan produktivitas tanaman sawit pada dua tahun setelah kejadian. Hal ini terbukti di Indonesia dan Malaysia. “Seharusnya tahun 2023, 2024 produksi kelapa sawit masih aman. Hanya saja ada peringatan kemarau panjang dari BMKG,” ujarnya.
Sejak Mei 2023, jumlah curah hujan memang cenderung menengah dan rendah, Suhu udara cukup tinggi. BMKG memprediksi Agustus menjadi puncak kemarau. Di samping peringatan El Nino, IOD juga positif artinya jumlah curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia rendah.
Gabungan keduanya menyebabkan uap air ditarik ke kiri Samudera Hindia dan ke kanan Samudra Pasifik sehingga menjauhi langit Indonesia. Tak pelak Indonesia pun diperkirakan akan mengalami kekeringan parah akibat “double kill” itu seperti pada 1997, 2006, dan 2015. Saat itu sentra sawit yang terdampak meliputi Lampung, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Jambi.
Akibat cekaman kekeringan yang parah pada 2015, menurut Nuzul melanzir penelitian PPKS, produktivitas sawit mengalami penurunan 0,3 ton minyak sawit mentah (CPO) per hektar. Produksi tahun depannya juga masih menurun.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 349 terbit Juli 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.