Foto: Tangkapan Layar
Contoh penawaran benih sawit ilegal di salah satu lapak digital
Dagang secara daring di lapak digital menawarkan kemudahan bagi pelapak dan konsumen. Namun konsumen harus hati-hati dalam membeli barang, apalagi benih sawit.
Perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau e-commerce adalah model bisnis yang memungkinkan perusahaan atau individu bisa membeli atau menjual barang melalui internet (online). Model bisnis ini berkembang sangat pesat seiring perkembangan internet.
Menurut Ronny Salomo Maresa, SE. Ak., M.S.E, Analis Perdagangan Ahli Madya, Direktorat PMSE dan Perdagangan Jasa, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, pertumbuhan nilai transaksi di e-commerce mencapai rata-rata 18,7% per tahun dalam periode 2018-2022, dari Rp106 triliun menjadi mencapai Rp476,3 triliun.
“Mengapa sistem ini disukai masyarakat? Karena memotong rantai distribusi yang membuat harga tinggi, menjadi sarana promosi dan berdagang bagi UMKM dan pedagang untuk memperluas akses pasar, kemudahan transaksi bagi konsumen, dan menawarkan fleksibilitas berjualan di mana pun dan kapan pun,” ujar Ronny dalam diskusi terbatas “Mencari Solusi Peredaran Benih Sawit Ilegal di Platform Digital” di Jakarta (4/4).
Kendati begitu, lanjut dia, sistem perdagangan tersebut juga memunculkan empat tantangan. Tantangan itu adalah timbulnya praktik perdagangan tidak sehat yang mengancam UMKM seperti predatory pricing, risiko penyalahgunaan data pribadi dan potensi pencucian uang, penjualan barang palsu dan tidak sesuai standar yang dapat membahayakan konsumen, dan maraknya penipuan kepada konsumen.
“Tantangan ketiga itulah yang relevan dengan peredaran benih sawit ilegal. Di satu sisi tadi ada produsen dan di sisi lain ada konsumen yang harus dilindungi karena potensial kerugiannya tinggi sekali,” ulas alumnus Fakultas Ekonomi Unpad 2004 itu.
Aturan Main
Untuk menciptakan iklim berusaha e-commerce yang sehat, adil, dan bermanfaat, lanjut Ronny, pemerintah membuat aturan main yang jelas dengan memaksimalkan potensi dan mengatasi permasalahan yang muncul.
PMSE alias e-commerce mengikuti aturan utama dalam UU No. 7/2014 tentang Perdagangan (Pasal 66), Peraturan Pemerintah (PP) No. 80/2019 tentang PMSE, dan Permendag No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam PMSE.
Sementara peraturan tambahannya adalah UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Inti dari PP No. 80/2019 adalah untuk menciptakan customer trust (kepercayaan konsumen) danconfidence (keyakinan). Caranya dengan menyediakan kepastian dan perlindungan hukum, kesempatan berusaha bagi semua pihak, kesetaraan posisi, serta pengutamaan dan perlindungan kepentingan nasional dan UMKM.
“Pemerintah mengharapkan ketika bapak-ibu membeli barang-barang itu di e-commerce, akan mendapat barang-barang terpercaya. Namun, kita sering melihat foto barangnya bagus, gambarnya besar.Begitu datang ke tangan kita, kecil! Soal benih sawit, petani nggak tahu mana benih yang benar, mana yang nggak. Mereka mungkin hanya melihat harganya murah,” bahas Ronny sembari mengungkap pengalaman pribadinya “tertipu” dalam membeli baju.
Karena itu, sambung dia, pemerintah dalam hal perdagangan benih sawit adalah Ditjen Perkebunan, Kementan, perlu menyampaikan aturan main yang jelas kepada Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) dan Kemendag selaku pembina idEA. “Siapa yang boleh menjual benih dan bagaimana perizinannya. Disebutkan ada 19 produsen kecambah sawit dengan perizinannya. Perlu disampaikan ke pelaku e-commerce sehingga mereka jelas. Di luar 19 produsen itu berjualan boleh nggak? Demikian pula soal mekanisme reseller, bisa atau tidak?” paparnya.
Ketentuan Offline Sama dengan Online
Masih terkait PP No. 80 Pasal 11, Ronny menyebut, prinsipnya semua ketentuan dalam perdagangan di luar jaringan (offline) juga berlaku dalam di dalam jaringan (online). Setiap pelaku usaha yang melakukan PMSE wajib memenuhi persyaratan umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan umum pelaku usaha daring meliputi: Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Usaha dan Izin Teknis, Nomor Pokok Wajib Pajak, Kode Etik Bisnis/Perilaku Usaha, Kode Etik Iklan Elektronik, Pemenuhan Standar Produk Barang dan Jasa, serta ketentuan lain sesuai perundang-undangan.
Bila pemerintah belum menerbitkan aturan sektoral online menyangkut suatu komoditas tertentu, seperti benih sawit, Ronny menegaskan, pemerintah dan pelaku usaha bisa berpijak pada aturan offline. Yang jelas, Kementan cq Direktorat Perbenihan Perkebunan telah mengatur dengan sangat ketat tentang sistem perbenihan sawit, mulai dari perakitan varietas, pelepasan, penetapan kebun induk, produksi benih, hingga peredarannya sampai ke tangan konsumen.
Di sisi lain, menurut Anisa Pratita Kirana Mantovani, Head of Public Policy and Government Relations, dalam marketplace berlaku sistem User-Generated Content (UGC).
Jadi, “User atau pelapak menyusun konten produk yang dijualnya dan mengunggahnya sendiri di platform seperti media sosial dan marketplace. UGC menciptakan saling untung dan pembagian tanggung jawab antara penyedia lapak (PPMSE) dan pelapak. Namun risikonya adalah muncul perdagangan produk ilegal dan palsu. Hal ini dipicu oleh pelapak yang ignorant (bodoh dan bebal) dan kesengajaan melakukan kejahatan,” bahas Tita, demikian ia disapa.
Karena itulah perihal konten, iDEA berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga terkait konten itu. Dalam hal ini, Direktorat Perbenihan membuat kerja sama (public private partnership) dengan idEA beserta Kemendag untuk melindungi konsumen benih sawit.
Pilihannya dua, permintaan take down (pencopotan) lapak dari platform dengan mekanisme laporan ke idEA atau langsung ke platform atau mekanisme blacklist pelapak berdasarkan kata kunci tertentu untuk produk yang terlarang beredar berdasarkan aturan dan perundangan yang berlaku.
Peni Sari Palupi