Foto: PPKS dan Dami Mas Sejahtera
Benih-benih sawit ilegal mudah ditemukan di marketplace utama seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dll
Awas, Benih Ilegal Rampas Rezeki Anda!
Dari satu e-commerce dengan satu kata kunci pencarian saja menunjukkan pengedar benih ilegal meraup omzet Rp700 miliar lebih. Bila ini dibiarkan, produsen benih legal dan petani rugi, daya saing industri pun dipertaruhkan.
Indonesia merajai produksi, konsumsi, dan ekspor minyak sawit dunia. Industri minyak sawit kita mendatangkan devisa terbesar sepanjang masa pada 2022 sebanyak US$39,28 miliar. Salah satu pendukung yang penting dalam pengembangan sawit berdaya saing adalah melimpahnya benih unggul bersertifikat di dalam negeri.
Namun seiring perkembangan teknologi digital yang ditandai dengan maraknya lapak digital dan media sosial, bejibun pula peredaran benih sawit tidak resmi, asli tapi palsu, abal-abal, alias ilegal. Benih-benih yang diproduksi tanpa sertifikasi dan tidak memenuhi standar mutu ini begitu mudah ditemukan di marketplace utama, seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, Bukalapak, juga Facebook.
Bagaimana gambaran peredaran benih ilegal dan solusinya? Berikut hasil diskusi terbatas yang digelar AGRINA 5 April 2023 dengan dukungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Diskusi ini menghadirkan perwakilan dari Forum Kerja Sama Produsen Benih Kelapa Sawit (FKPB-KS), Direktur Perbenihan Perkebunan-Kementan, Indonesia e-Commerce Association (idEA), dan Direktorat Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa-Kemendag.
Industri Benih Terkuat
Total luas perkebunan sawit nasional saat ini tercatat mencapai 16,38 juta ha. Rinciannya, 54,69% milik perusahaan perkebunan, 41,44% petani, dan 3,88% perusahaan pelat metah (BUMN). Pada 2022 kebun seluas itu menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 46 juta ton lebih. Industri sawit ini mendapat dukungan penuh dari sisi hulu, yakni sistem perbenihan yang sangat kuat.
“Produsen kecambah sawit kita ada 19 perusahaan. Ibarat kompetisi sepak bola, kita ini divisi utama atau Premier League di Inggris. Kita bekerja sama dengan 216 penangkar. Kapasitas produksi kita 241,5 juta kecambah per tahun. Ini terbesar di dunia. Hampir 70% best planting material ada di Indonesia,” Dwi Asmono, Ketua FKPB-KS, memberi ilustrasi.
Lokasi produsen kecambah terkonsentrasi di Sumatera, 16 perusahaan, dua lainnya di Kalimantan Tengah dan Jawa Barat. Dari 61 varietas yang telah resmi dirilis, 53 di antaranya dikomersialkan menjadi benih unggul bersertifikat (legitimate seed).
Sementara para penangkar yang membesarkan kecambah sampai menjadi bibit siap tanam tersebar di 19 provinsi, terutama di Sumut, Sumbar, Sumsel, Riau, Jambi, Bengkulu, semua provinsi Kalimantan kecuali Kaltara, dan Sulbar.
Dilihat dari kapasitas dan penyerapan atau penyalurannya, terlihat ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan benih. Suplai jauh melebihi permintaan. Data FKPB-KS selama empat tahun terakhir 2019-2022, jumlah penyerapan benih mengalami peningkatan yang signifikan.
“Pada 2019, jumlah benih yang tersalur 56,81 juta butir. Lalu pada 2022 mencapai rekor 132 juta butir atau 54% dari total kapasitas industri. Kami berharap tahun ini bisa 150 juta, syukur-syukur 200 juta butir,” ujar Dwi yang sehari-hari menjabat Direktur PT Binasawit Makmur (BSM), anak usaha PT Sampoerna Agro, Tbk. tersebut.
Ancaman Benih Ilegal
Pasar benih di dalam negeri terdiri dari perusahaan perkebunan, petani plasma, dan petani swadaya untuk tujuan peremajaan, rehabilitasi, dan perluasan. Perusahaan perkebunan tak boleh lagi membuka lahan baru seiring berlakunya regulasi moratorium perizinan kebun sawit sejak 2011. Kalau pun mereka menambah luasan, itu didapatkan dari akuisisi kebun lain. Kebutuhan benih perusahaan perkebunan relatif stabil.
Hanya petani yang masih mungkin membuka kebun baru kendati tidak boleh juga di sembarang lahan. Pada masa mendatang, proporsi kebun petani yang kini sudah mencapai 41% atau 6 juta ha lebih, diperkirakan akan bertambah. Para petani peserta Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan petani swadaya lain menjadi target pasar produsen benih resmi maupun pedagang benih ilegal yang marak sejak 1990-an.
Dalam program PSR, setiap tahun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengalokasikan dana sebanyak Rp5 triliun untuk membeli benih unggul bersertifikat sebagai pengganti tanaman petani peserta. Entah itu karena tanaman sudah di atas 25 tahun atau pun tanaman berproduksi rendah lantaran bukan dari benih unggul.
Dulu peredaran benih ilegal hanya ditemukan di wilayah tempat pengembangan kebun sawit, seperti di Bengkulu, Riau, dan Lampung. Seiring kemajuan teknologi digital dalam lima tahun terakhir, pedagang benih ilegal juga merambah pasar digital untuk memikat petani yang kurang pengetahuan akan pentingnya penanaman benih unggul bersertifikat.
Pedagang membuka banyak lapak digital di marketplace utama dan media sosial dengan menjanjikan kemudahan membeli, tanpa inden lama, dan harga yang 10%-20% lebih miring ketimbang benih resmi.
Adopsi teknologi digital adalah keniscayaan. Mengutip sumber We Are Social 2023, Dwi memperlihatkan jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 212,9 juta. Mereka memantengi internet selama 7 jam 42 menit sehari dengan mengunjungi google, youtube, facebook, instagram, twitter dan whatsapp.
Sebanyak 167 juta jiwa orang Indonesia juga berinteraksi melalui media sosial selama 3 jam 18 menit setiap hari. Mereka menggunakan whatsapp, Instagram, facebook, tiktok, telegram, dan twitter.
Para pedagang benih ilegal “mencuri” pangsa produsen benih legal melalui jalur tersebut. Beberapa pelaku berani memalsukan sertifikat seolah-olah dari produsen resmi. Bahkan, Hermawati dari BSM pernah dikomplain konsumen yang mengaku beli benih BSMdi lapak digital yangmencantumkan nomor telepon staf pemasaran BSM. Padahal pihaknya tak berjualan di marketplace mana pun, kecuali belibenih.com.
Penggalian data dari salah satu e-commerce besar menunjukkan kerugian yang nyata bagi produsen. Pencarian dengan kata kunci “benih sawit unggul” menghasilkan utas (thread) sebanyak 6.511. Jumlah transaksi benih ilegal di platform ini sebanyak 875.634 kantong. Dengan asumsi satu kantong berisi 100 kecambah, maka ada 87,5 juta kecambah ilegal lebih terjual setara 2,6% dari total luas kebun sawit nasional.
“Kalau harganya rata-rata Rp8.000/butir, nilainya Rp700,5 miliar. Katakan satu hektar butuh 200 kecambah, maka peredaran benih ilegal merambah 437.817 ha. Dari sisi jumlah dan nilai mungkin kecil bagi perusahaan, tapi kerugian besar diderita petani independen,” bahas Dwi sembari menjabarkan benih-benih ini beredar di Provinsi Lampung 80%, Sumatera Utara 15%, dan Sumatera Barat 5%.
Senada dengan Dwi, Saistyo Agi Hendiwiyarto, Sales & Marketing Manager PT Dami Mas Sejahtera menimpali, “Kami sangat mengecam peredaran benih ilegal tersebut. Petani atau pekebun swadaya menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal ini karena biaya yang telah mereka keluarkan akan menjadi sia-sia dan mereka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.”
Selain itu, imbuh dia, pihaknya pernah memantau transaksi benih Dami Mas di enam platform ternama. “Dalam tiga bulan jumlah transaksinya mencapai sekitar Rp300 jutaan,” cetusnya dalam sesi tanya-jawab.
Jumlah benih berlebih, tapi mengapa masih banyak petani terjebak beli benih ilegal? Murah seperti menjadi kata kunci bagi laris-manisnya pembelian benih ilegal oleh petani. Selain itu, menurut pendapat Puspita, praktisi bisnis benih sawit di Palembang, pertama: masih banyak petani kurang informasi.
Kedua, “malas” karena dalam pembelian benih legal membutuhkan KTP, surat keterangan lahan dari Kades setempat, dan pernyataan di atas materai bahwa benih yang dibeli tidak akan dijual lagi. Triyanto Sagi, petani di Kalteng, menayebut karena pasokan benih resmi sulit didapat dan pedagang ilegal yang kuat di media sosial.
Mengapa Harus yang Legal?
Tanaman sawit bisa berproduksi sampai umur 25 tahun. Karena itu pemilihan benih menjadi investasi jangka panjang yang penting bagi para pekebun. Mereka harus memahami dan bertimbang betul jangan sampai salah membeli benih. Alih-alih menikmati produktivitas tinggi malah merugi besar lantaran terjebak menanam benih ilegal.
“Dampak negatif penggunaan benih ilegal adalah tanaman lambat berbuah, produksi rendah, proses pengolahan TBS (tandan buah segar) tidak efisien, kerugian finansial dan ekonomi. Kerugian tidak hanya bagi pekebun tetapi juga bagi negara karena nantinya sudah pasti industri kita tidak berdaya saing. Produksi kita akan turun, kalah bersaing dengan negara-negara yang menerima ekspor dari para pembenih,” ujar Gunawan yang menjabat Direktur Perbenihan Perkebunan sejak 13 Januari 2023 itu.
Benih yang baik termasuk satu dari empat pilar pembentuk level produktivitas. Benih yang baik harus ditanam pada lahan yang cocok dan mikroklimat yang mendukung. Pekebun pun harus menerapkan praktik agronomi terbaik dan manajemen pengelolaan kebun yang baik agar hasilnya menguntungkan.
Produksi benih sawit resmi memang butuh waktu lamadengan aturan sangat ketat mulai dari perakitan varietasSejak penyerbukan hingga menjadi kecambah saja menghabiskan waktu 8-9 bulan. Belum ditambah pembesarannya dari kecambah sampai siap dipindah ke kebun 10-12 bulan.
“Jadi, petani yang baik harus bersiap paling tidak merencanakan kebutuhan benihnya setahun sebelum tanam. Produsen benih memproduksi kecambah sesuai pesanan ditambah sedikit stok untuk melayani kebutuhan petani yang ‘mendadak’,” terang Dwi.
Persediaan benih memang melimpah di produsen kecambah. Yang langka adalah persediaan bibit siap tanam. Produsen tentu menghindari risiko membesarkan bibit tanpa kepastian waktu penjualan. Sementara petani yang tidak paham dengan proses produksi bibit acapkali butuh mendadak karena mungkin terinspirasi harga TBS yang menggiurkan.
Dalam kesempatan lain, Rusbandi, Sekjen Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia, memberikan pendapat berbeda. Menurut dia, kelangkaan bibit itu terjadi di penangkar-penangkar yang sepenuhnya bergantung ke proyek pemerintah. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau proyek pengadaan pemerintah lainnya memicu munculnya penangkar-penangkar baru yang ikut menangkap peluang bisnis.
“Saat ini terjadi seleksi alam. Ketika harga CPO menurun sejak pelarangan ekspor 2022, mereka yang baru-baru tidak punya stok. Tapi, beda dengan saya, karena dari dulu mengandalkan ‘free market’, saya selalu punya stok berdasarkan prediksi saya. Malah saya hanya sedikit memenuhi kebutuhan pemerintah. Stok saya sekarang melimpah, bibit 15-16 bulan,” ujar penangkar benih produksi PPKS Medan yang berpengalaman 23 tahun di Bengkulu ini.
Senada dengan Rusbandi, Ujang, penangkar resmi yang berbasis di Lampung Tengah, juga selalu punya stok karena bermitra dengan BSM secara jangka panjang. Setiap dua bulan dia mendapat pasokan kecambah dalam tertentu untuk dibesarkan sampai siap tanam.
Untuk mengatasi kelangkaan pasokan bibit siap tanam, Gunawan membangun ekosistem perbenihan perkebunan, yakni Bank Benih Perkebunan (BabeBun). Salah satunya BabeBun PSR guna memastikan terpenuhinya kebutuhan benih bersertifikat bagi petani peserta Program PSR. Pihaknya menyatukan informasi rantai pasok benih.
Termasuk di dalamnya memasukkan Rusbandi dan Ujang dalam sistem. Jadi, “Petani peserta PSR yang sudah mendapat rekomendasi teknis, bisa log in dan memesan benih di aplikasi BabeBun PSR itu sehingga pasti mendapat benih unggul resmi,” katanya.
Solusi Bersama
Untuk menyelesaikan persoalan benih sawit ilegal di platform digital, menurut Anisa Pratita Kirana Mantovani, idEA selaku penyedia tempat berjualan perlu bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait. Terkait perdagangannya ke Kemendag dan Kominfo, sementara yang menyangkut konten ke kementerian terkait dalam hal ini Kementan.
“Dalam contoh kasus produk herbal, kami bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ada MoU khusus. Pihak BPOM akan mengirim link merchant (pelapak) produk-produk tanpa izin dan klaim khasiat secara berlebihan ke kami. Kami kemudian meneruskan informasikan hal tersebut kepada anggota kami untuk proses take down,” jelas Head of Public Policy and Government Relations idEA.
Dalam kasus benih sawit, lanjut Tita, sapaannya, idEA menunggu arahan atau komunikasi dari Kementan, khususnya Direktorat Perbenihan Perkebunan dan Kemendag cq Ditjen Perdagangan Dalam Negeri.
“Kalau ada barang yang harusnya tidak boleh diedarkan atau dijualbelikan, laporkan ke idEA atau langsung ke marketplace. Kami tidak bisa melakukan tindakan sendiri. Kami akan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Kami juga sangat terbuka untuk bekerja sama mendukung bisnis perkebunan dan menertibkan pedagang maupun produk-produk yang memang seharusnya tidak boleh diedarkan secara online,” ujar Tita.
Selain itu, idEA juga melakukan sosialisasikan regulasi dan kerja sama idEA dengan kementerian ke platform anggota idEA. Masing-masing platform juga melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pedagangnya yang kedapatan menjualbelikan produk terlarang. Misal mulai dari surat peringatan. Kalau pelapak tidak mengindahkan atau masih ngeyel, pihak platform melakukan pemblokiran akun atau deaktivasi e-walet dan juga melaporkan ke pihak berwenang.
Sampai bulan lalu, FKPB-KS menyampaikan apresiasinya karena dua marketplace, Tokopedia dan Shopee, telah melakukan pembekuan akses ke lapak penyedia benih sawit ilegal dengan kata kunci singkat. Kata kunci yang dimaksud di Tokopedia sebagai berikut: Benih Sawit, Bibit Sawit, Benih Kelapa Sawit, Kecambah sawit, dan Kecambah Kelapa Sawit.
Sementara di Shopee adalah Benih Sawit, Benih Kelapa Sawit, Kecambah sawit, dan Kecambah Kelapa Sawit. Paling tidak itu bisa mengurangi kesempatan petani mengakses lapak mereka. Kata kunci yang panjang memang belum dilakukan pembekuan.
Sementara itu, Ronny Salomo Maresa, Analis Perdagangan Ahli Madya dari Direktorat Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan Perdagangan Jasa, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, menjabarkan beberapa inti regulasi. Intinya, semua ketentuan perdagangan offline juga berlaku secara online sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 40/2019 pasal 11.
“Namun dalam PMSE, apabila belum ada ketentuan sektoral yang mengatur ketentuan online sektor tersebut, maka semua ketentuan offline sesuai ketentuan perundang-undangan tetap berlaku. Dalam hal benih sawit, bisa mengikuti UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, Pasal 29 ayat 4, setiap orang dilarang mengedarkan varietas hasil pemuliaan dan introduksi yang belum dilepas dan Pasal 30 ayat 4, setiap orang dilarang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan standar mutu, tidak bersertifikat, dan/atau tidak berlabel,” kata Ronny.
Hal tersebut perlu dikomunikasikan ke idEA agar platform-platform anggotanya tidak ragu melaksanakan pasal 294 dan 230 meskipun tanpa aturan khusus di e-commerce. “Sebenarnya penyelesaian masalah peredaran benih sawit ilegal cukup simpel. Pihak Kementan berkirim surat ke kami menyatakan bahwa benih sawit tidak boleh dijualbelikan di platform digital. Termasuk juga apakah reseller boleh jual? Kami akan menanggapi dan menginformasikan ke idEA. idEA yang meneruskannya ke platform anggotanya,” cetus alumnus S2 Universitas Indonesia itu.
Seminggu menjelang Idul Fitri silam, Direktur Perbenihan menggelar pertemuan koordinasi dengan idEA, Kemendag, dan FKPB-KS. “Salah satu keputusannya adalah kecambah sawit dilarang diperjualbelikan bebas di marketplace dan tidak ada mekanisme penjualan reseller. Sedangkan bibit siap salur masih dimungkinkan diperjualbelikan secara online oleh produsen yang memiliki Izin Usaha Produksi Benih (IUPB) dan bibitnya tersebut wajib bersertifikat dan berlabel,” ujar Gunawan.
Dalam suratnya ke Direktur Bina Usaha dan Pelaku Usaha Distribusi, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Direktur Perbenihan menyatakan, pemasaran/perdagangan/peredaran kecambah melalui marketplace diduga mengatasnamakan produsen benih sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan standar mutu dan kualitasnya. Merujuk Pasal 115 UU 22/2019, setiap orang yang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan standar mutu, tidak bersertifikat, dan/tak berlabel sesuai Pasal 30 ayat 4 bisa dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda Rp3 miliar.
Karena itu, Kementan meminta bantuan Kemendag untuk melakukan take down secara berkala terhadap pelapak yang telah diinventarisasi bersama produsen benih.
Itu saja tentu tak cukup. Semua pemangku kepentingan harus meningkatkan pemahaman petani tentang peran penting pemilihan benih unggul, bersertifikat, dan berlabel. Saistyomengusulkan kampanye bersama, seperti halnya kampanye uang asli Bank Indonesia.
Di lapangan, Ujang bahkan berani memberi utang kepada petani untuk mendapatkan bibit unggul produksi BSM. “Bayarnya bisa dengan panenan komoditas lain sepertisingkong dan jagung, atau nanti TBS yang dihasilkan disetor ke saya sebagai pembayaran. Setelah lima tahun perjuangan sosialisasi, sekarang petani tidak lagi nawar harga dan lebih sadar menggunakan benih yang benar. Mereka sudah melihat sendiri perbedaan hasilnya dengan benih abal-abal,” ungkap penangkar yang sudah ikut uji kompetensi ini melalui telepon.
Peni Sari Palupi