Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Meydiana memproduksi berbagai makanan olahan
Pemasaran online untuk promosi dan memperluas pasar.
Filosofi ‘sapu lidi’ menjadi inspirasi pengusaha mikro, kecil,dan menengah (UMKM) di Lampung dalam memperluas pemasaran produk. Lewat Bina UMKM Indonesia, para pebisnis kecil bersinergi dan berbagi ilmu serta strategi mengembangkan usaha.
Bina UMKM
Menurut pendiri Bina UMKM Indonesia, Hidayatullah, cikal bakal lembaga persekutuan perdata bisnis berbagai UMKM ini dari grup Facebook Bina UMKM Indonesia yang ia luncurkan Maret 2016. Grup beranggotakan 22 ribu pengusaha kecil yang fokus sebagai grup jual beli produk UMKM.
“Setelah berjalan beberapa tahun dan melihat perkembangan yang sangat pesat, pada Juni 2021 saya bersama teman-teman mendirikan Bina UMKM Indonesia atau ISMED (Indonesian Small and Medium Enterprises Development),” ujar Hidayat Kampai, sapaannya.
Sebagai tempat penjualan produk, Hidayat dan kawan-kawan menyewa ruko di Bandarlampung yang digunakan untuk ISMED Mart. Dengan berdirinya ISMED Mart, para UMKM mulai mendaftar menjadi anggota Bina UMKM dan menitip barang di ISMED Mart.
ISMED Mart disambut baik pelaku UMKM Lampung. Melalui bina.umkmindo.id, UMKM mendaftarkan diri untuk menitipkan barang dengan syarat produk sendiri dan punya izin edar serta tidak dipungut biaya. "Untuk produk yang kurang bagus baik secara kemasan maupun kualitas, kami memberikan masukan dan bimbingan supaya lebih baik dengan membantu membuat desain kemasan dan mensupervisi produksi," jelasnya.
Saat ini bergabung 110 UMKM dan yang menitipkan barang sekitar 85 produk. ISMED juga menjualsecara online dan bergabung di keagenan ekspedisi untuk mempermudah pengiriman. Ke depan Hidayat berencana memperluas jaringan pasar ke swalayan dan mal di Jabodetabek.
Kue dan Rendang
Produk UMKM yang dijual ISMEDMart secara langsung dan online adalah roti kue kering Queen Siger yang dibuat Meydiana. Mei, sapaannya memproduksi bolu, roti,dan kue kering menjelang lebaran 2020.
Awalnya ia jualan baju di sosial media tapi tidak selalu laris karena ada musimnya. Mei pernah jadi distributor sepatu dan sandal serta membuka butik yang tidak bertahan. Ia juga lama mengelola lembaga bimbingan belajar sehingga punya akses ke banyak orangtua siswa.
Akses ini menjadi modal memasarkan kue. “Ibu saya juga jago membuat kue dan saya sering membantunya. Saya pikir kenapa tidak buat kue saja yang saya kembangkan,” tutur Mei. Untuk memperbanyak resep kue, Mei ikut kursus membuat kue. Barulah ia mulai usaha dengan sistem antar melalui kurir sendiri.
Ketika mendapat info Bina UMKM membuka toko, ia mendaftar anggota dan menitip barang. Saat ini ia juga mengkoordinasi perajin kue dan roti untuk dipasok ke resto dan hotel di Lampung. Pihak hotel dan restoran lebih suka berhubungan dengan satu konsorsium guna mendapatkan bermacam kue dan roti dengan standar hotel.
UMKM kuliner yang juga bergabung yaitu Ko Iyo Ko Frozen Food. Produksinya aneka rendang, sambal,dan bumbu. Menurut pemilik, Yetri Hasan, produksi rendang mulai akhir 2020. “Saya pilih rendang karena sudah menguasai cara memproduksinya, makanannya sudah terkenal, dan banyak orang yang suka sehingga diyakini mudah dijual,” kenangnya.
Untuk membedakan produk sejenis, Yetri memproduksi rendang beku, yakni bisa disimpan di frezer sehingga lebih awet dan cita rasa tidak berubah. Agar pemasaran meluas, ia melengkapi usaha dengan izin edar BPOM dan sertifikat halal MUI. Ia juga sedang mematenkan merek untuk melindungi produk dari pemalsuan atau ditiru pihak lain.
Yetri memproduksi aneka rendang mulai dari rendang daging, paru, jengkol, bakso, aneka sambal khas Padang, dan bumbu masakan Padang. Soal harga, akunya, di bawah merekterkenal sebagai promosi. Kemasan 0,25 kg rendang daging dijual Rp75 ribu. Saat ini omzetnya mencapai 20-25 kemasan/hari yang dijual melalui ISMED Mart, toko makanan beku, dan jualan online.
Madu hingga Kain Sulam
Produk Bina UMKM lainnya adalah Madu Suhita yang diproduksi pasangan suamiistri Suyadi dan Isnina. Usaha ini berawal 2016 setelah Suyadi belajar budidaya lebah sengat di Malang, Jatim. Saat ini ada 7 lokasi budidaya lebah dengan 500 koloni yang diusahakan 25 petani mitra memanfaatkan 8 jenis lebah yang diternakkan.
“Madu yang kami produksi adalah madu lebah hutan, hanya lebahnya ditaruh di sarang yang dibuat guna memudahkan memanen,” ungkap Suyadi. Produksi Madu Suhita 4-5 ton/bulan dengan panen 2 pekan sekali dan 500 kg di antaranya dari jenis trigona atau lebah tidak bersengat. Madu ini sudah memiliki sertifikat NKV dan izin edar BPOM.
Ketika madu diterima, diukur kadar airnya, ditimbang, serta dicek rasa dan warna, lalu diturunkan kadar airnya. “Untuk madu Apis mellifera yang awal panen kadar airnya 23% diturunkan menjadi 18% dan madu trigona dari kadar air 28% diturunkan menjadi 20% agar sesuai standar SNI sehingga beratnya turun 30%,” urai Isnina yang mengelola pasar.
Harga 250 ml madu tetrigona Rp500 ribu. Ini madu spesifik yang mengandung antimikroba tinggi dan hanya ada di Pesisir Barat Lampung dengan khasiat mengobati penyakit autoimun, kanker, dan asma. Sementara, madu trigona biasa Rp300-Rp400 ribu/botol.
Selain makanan, juga ada produk kerajinan khas Lampung, kain sulam usus. M Yusuf, perajin sulam usus Elvira Collection. Ia mengaku banyak terbantu Bina UMKM. “Dengan bergabung di Bina UMKM, jaringan dan pemasaran online lebih luas,” akunya. Pemasaran online untuk promosi dan memperluas pasar. “Ketika mau order, dilakukan secara langsung karena menyangkut ukuran, model, volume dan pembayaran,” lanjutnya.
Menurut Yusuf, kain sulam usus berasal dari Tulang bawang untuk hiasan berupa taplak meja, hiasan dinding, dan lainnya. Kemudian, bordir sulam usus dikembangkan desainer Aan Ibrahim untuk pakaian wanita. Saat itulah Yusuf yang bekerja di koperasi Aan, belajar otodidak.
Awalnya,ia jualan kain sulam usus, batik sebagi, kemeja, dan jasberkeliling dari kantor ke kantor. Tahun 2000 dibantu modal Dinas Koperasi UMKM Lampung sebesar Rp25 juta, usahanya berkembang dan dibawa ke pameran Jatim Expo di Surabaya selama sebulan.
Sejak itu, ia mulai dapat order dari toko batik di Surabaya, Yogya, dan Semarang. Untuk produksi sulam usus, Yusuf bekerja sama dengan 4 kompok perajin beranggota 15 orang. “Pola dan desainnya saya bikin sendiri,” tutupnya.
Syafnijal DatukSinaro (Lampung)