Foto: Windi Listianingsih
Manajemen SDM dan budidaya yang tepat bisa menghasilkan keuntungan bagi pembudidaya
“Alhamdulillah, petani (pembudidaya) di sini sejahtera. Mereka bisa bikin rumah. Petani saya punya mobil dari hasil lele. Tadinya tukang,” ungkap H. Usman.
Permintaan lele marinasi yang meninggi tentu harus diikuti suplai bahan baku sesuai permintaan pasar. Apa saja cara yang dilakukan pembudidaya lele lintas generasi agar bisa panen optimal?
Manajemen SDM dan Budidaya
H. Usman, pembudidaya lele di Depok, Jabar menuturkan kiat sukses budidaya lele dengan membenahi manajemen sumber daya manusia (SDM) dan budidaya secara bersamaan.
Awalnya, Usman mengandalkan orang lain untuk mengelola kolam yang dipimpin mandor. Ia mengubah sistem itu agar pembudidaya mitra bisa berhubungan langsung dengannya.
Pemilik CV Vatra Agro Mandiri, produsen lele segar dan olahan lele ini juga merombak kolam budidaya dari sebelumnya kolam tanah menjadi semen. Saluran air diperbaiki serta dibangun tandon inlet dan outlet untuk keluar-masuknya air.
Usman bekerja sama dengan 10 mitra yang mengelola sekitar 100 kolam. Selan itu, ada mitra tidak langsung yang mencapai 200-an kolam.
Sepuluh mitra itu masing-masing mengelola 12-13 kolam dengan waktu panen seminggu sekali. Padat tebar kolam sekitar 300 ekor lele/m3 dari mulanya 100 ekor/m3. Benih yang ditebar ukuran 11–12 cm/ekor dan dipelihara maksimal 3,5 bulan atau 15 minggu untuk panen di ukuran 7–10 ekor/kg.
Normalnya, pria kelahiran 4 Januari 1962 ini bisa memanen 6 ton lele/hari. Sejak Corona melanda Indonesia dan diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penjualan lele anjlok 40%.
Sehingga, produksi menyesuaikan jadi 4 ton/hari lantaran suplai benih lele juga drop. “Jadi diumumin pandemi, kok bibit juga kurang. Saya minta kirim 200 ribu ekor datangnya 150 ekor. Minta 150 ribu, datangnya 100,” jelasnya.
Untuk mendisiplinkan dan meningkatkan keterampilan mitra, pensiunan Pertamina ini memberlakukan sistem reward & punishment (hadiah dan sanksi). Jika ada kolam yang rugi hingga 50%, ia mengambil alih kolam.
“Sebelum sekasar itu, saya bilang kalau kamu rugi, nggak saya isi empangnya. Dua bulan nggak saya isi walaupun ini tanah saya. Nggak jera juga rugi lagi, saya ambil,” ulas dia. Sebaliknya, kolam yang hasilnya bagus, tak segan dihadiahkan insentif lebih hingga perjalanan umrah.
Kemitraan dilakukan secara bagi hasil dan rugi 60:40. Dengan begitu, mitra bisa mengantongi hasil panen minimal Rp900 ribu/pekan.
Sebelum pandemi, rata-rata penghasilan mitra Rp7 juta–Rp8 juta/bulan. Bahkan, ada yang mengantongi pendapatan 15 juta/bulan dari mengelola 13 kolam. “Alhamdulillah, petani di sini sejahtera. Mereka bisa bikin rumah. Petani saya punya mobil dari hasil lele. Tadinya tukang,” ungkapnya bangga.
Tandon
Usman menekankan pentingnya memakai air berkualitas untuk budidaya lele. Karena itu, ia membangun tandon inlet untuk menjaga kualitas air yang masuk ke kolam budidaya.
Tidak lupa, ada tandon outlet berisi tanaman eceng gondok buat menyerap limbah organik sebelum air dikembalikan ke lingkungan. Luas tandon sekitar 10% area budidaya. “Saya bikin dulu tandon. Satu empang saya korbanin jadi tandon. Airnya di saring beberapa tahap,” tukasnya.
Dia membangun beberapa tandon inlet dan satu tandon outlet. Hasilnya, kualitas air untuk budidaya bagus karena sudah melalui tahap pengendapan secara fisika dan biologi.
“Setiap hari ada orang yang bersihin (tandon), buangin sampah,” ulas pemasok lele ke Lotte Mart itu. Tandon dihubungkan dengan pipa berkeran menuju kolam budidaya. Setiap pembudidaya mendapat 1 jalur pipa sehingga tidak rebutan air.
Kebutuhan air budidaya juga menyesuaikan pertumbuhan lele. Saat masih benih seukuran jempol misalnya, tinggi air kolam hanya beberapa cm.
“Jadi, pertumbuhan lele juga diikuti pertambahan air,” jelas Usman. Sedangkan untuk pakan, ia menggunakan pakan pelet dengan nilai konversi (FCR) 1:1. Pemberian pakan setidaknya setiap 6 jam sekali untuk menghindari kanibalisme. “Ketika perutnya kosong, dia kanibal. Jadi jangan lebih dari 6 jam, kasih makan lagi,” lanjutnya.
Kolam budidayanya berupa kolam semen dan semen berlapis hapa ukuran persegi lalu kolam plastik bulat diameter 5 m. Pria yang menggunakan beragam varietas lele seperti Sangkuriang dan Masamo ini hanya menerapkan manajemen pakan dan air. Tanpa melakukan sortir saat budidaya, angka kematian lele cukup tinggi, sekitar 35%.
Ala Milenial
Di tempat terpisah, Donny Pasaribu, pembudidaya lele sekaligus founder Simbiofish, juga menerapkan konsep sederhana dalam budidaya lele. Yaitu, menggunakan kolam terpal bulat sistem konvensional. “Jadi, air diam tapi tebarnya nggak terlalu padat. Kita ganti air tiap hari tapi 10%. Jadi, hanya buang amoniak di bawah, diisi lagi di atas. Itu aja tiap hari, rutin,” terangnya.
Donny menggunakan benih lele Mutiara ukuran 7–8 cm/ekor yang dipelihara sekitar 2,5 bulan untuk menghasilkan lele konsumsi ukuran rerata 7–10 ekor/kg.
Selama budidaya, ia tidak menyortir lele karena pertumbuhannya seragam dan tingkat kanibalismenya rendah. “Mulai dari benih sampai (ukuran) 7–8 cm/ekor wajib sortir. Kalau nggak, kanibalnya masih tinggi. Tapi, 7–8 cm/ekor ke atas sudah nggak terlalu kanibal, asal jangan terlalu padat,” ulasnya.
Karena itu, pria yang merintis budidaya lele bersama Rocky Stephanus, Co-Founder Simbiofish ini hanya menebar lelenya sebanyak 2.000 ekor pada kolam diamenter 3 m.
Jumlah kolam yang dikelola sendiri mencapai 120 unit. Sementara, pembudidaya lele yang menjadi mitra mencapai 6.500 orang se-Indonesia.
Generasi milenial ini menggunakan pakan pelet dengan FCR 1:1. “Pakan full pelet, itu wajib untuk mitra. Paling pakan alternatif sayuran pasar yang cacat sedikit, itu boleh dipakai. Di luar itu nggak boleh. Ayam tiren (mati kemarin), limbah pabrik, limbah kartering, nggak kita bolehin,” ucapnya tegas. Ia juga membebaskan mitra untuk menggunakan probiotik atau tidak.
Dengan pemilihan benih varietas unggul, manajemen pakan dan air yang tepat, tingkat kematian lele berkisar 3%–5%. “Jarang sih kita yang mati massal gitu kalau airnya dirawat terus,” seru pria kelahiran 29 Februari 1890 itu dengan mantap.
Windi Listianingsih