Foto: Istimewa
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Pengenaan pajak dan pungutan tinggi terhadap produk CPO secara langsung akan berdampak positif terhadap murahnya bahan baku bagi industri hilir, termasuk industri biodiesel. Namun, murahnya harga minyak sawit, tidak juga akan berdampak positif akan daya saing produk biodiesel, lantaran persaingan produk biodiesel masuk ke dalam golongan bahan bakar dari minyak bumi, yang sedang mengalami penurunan harga.
Persoalannya, dana pugnutan ekspor (PE) yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), terlalu besar disalurkan kepada industri biodiesel, yang sudah mengeruk keuntungan dari murahnya harga bahan baku dan mendapat dana subsidi biodiesel yang sangat besar. Sementara petani kelapa sawit merasa kurang dilibatkan dalam penyediaan bahan bakunya.
Petani kelapa sawit berpeluang besar untuk terlibat langsung sebagai pemasok bahan baku biodiesel. Namun hal ini perlu diperhitungkan, agar kedepannya tetap bejalan. Hal ini diutarakan Sulthan Muhammad Yusa, Plt. Kadiv Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS di sela-sela diskusi FGD Sawit Berkelanjutan yang diselenggarakan InfoSAWIT, Kamis (10/6).
Ia juga mengatakan, sampai saat ini sektor perkebunan kelapa sawit terus berkembang kendati berada dalam masa pandemi covid19. Sebab itu, BPDPKS akan terus berupaya mendorong perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Dengan dinamika pergerakan harga CPO dan minyak dunia saat direncanakan penyerapan biodiesel pada 2021 sebanyak 9,2 juta KL, diperkirakan kebutuhan dana insentif akan jauh lebih tinggi pada 2021.
Demi menjaga keberlanjutan program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui Mandatori Biodiesel, Pemerintah juga telah menyesuaikan tarif Pungutan Ekspor melalui PMK 191/2020. Karena itu untuk kebutuhan Program Mandatori Biodiesel yang terus meningkat setiap tahun, perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel sawit dapat terpenuhi di masa mendatang.
BDPKS memproyeksi produksi CPO dan stok tahun 2021-2025 akan mencapai 52,30 Juta MT – 57,61 Juta MT, rata-rata naik sebesar 4% per tahun. Sementara kebutuhan Biodiesel untuk program B30 tahun 2021-2025 diperkirakan sebesar 8,34 Juta MT 9,66 Juta MT (8.85 Juta KL11.65 Juta KL) rata-rata naik sebesar 5% per tahun.
Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati mencatat, penerapan program mandatori biodiesel dilatarbelakangi Indonesia memiliki potensi produksi minyak sawit mentah (CPO) yang cukup besar. Tercatat pada 2020 produksinya mencapai 52 juta ton.
Selain sebagai upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional, juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab dari tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta ha sebanyak 40% dimiliiki pekebun sawit (petani sawit). Terjadi pula besarnya defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor Bahan Bakar Minyak (BBM), serta upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan untuk tercapainya stabilisasi harga CPO.
Dalam grand strategi rencana energy nasional, pada 2030, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi Bahan Bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon. Pemanfaatan biofuel tidak sebatas untuk biodiesel saja, dan tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan, untuk spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Termasuk mendorong pemanfaatan by product biodiesel, serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO.
Ricky Amukti, dari Traction Energy Asia mengatakan, menempatkan pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan. Terlebih, pekebun sawit mandiri menguasai 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Namun mereka sama sekali tidak mendapat manfaat dari program biodiesel secara langsung selama ini,” kata Ricky.
Dengan memasukkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan. Termasuk, mengurangi resiko deforestasi dan menjaga hutan alam yang tersisa dan menggunakan TBS kelapa sawit yang dihasilkan dari lahan pekebun sawit mandiri dapat mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.
Hingga saat ini kondisi rantai pasok TBS dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi. Panjangnya rantai pasok TBS mengurangi keuntungan petani swadaya. “Dengan mandatori biodiesel ini, bisa menjadi momentum dalam upaya perbaikan rantai pasok dari petani,” bahasnya.
Biasanya keengganan PKS menempatkan pekebun mandiri sebagai pemasok bahan baku (PKS) lantaran terkait karakteristik usahanya. Rata – rata skala usaha pekebun mandiri masih di bawah 3 ha dengan modal usaha terbatas. Di sisi lain, tingkat produktivitas masih rendah dengan volume panen TBS per 1 ha kurang dari 3 ton.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menimpali, dalam program madatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyedia biodiesel yang ditetapkan oleh ESDM, untuk menjalankan program B30. Namun, sayangnya tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani.
Maka itu, ujarnya, agar program tersebut tertopang, dilakukan dengan menerapkan pungutan ekspor CPO didasarkan pada peraturan Menteri Keuangan (191 tahun 2020). Lantas, pungutan ini kemudian berdampak pada tergerusnya harga Sawit di tingkat pekebun serta mempengaruhi stabilitas bisnis sawit Indonesia khususnya perusahaan kecil dan menengah/BUMN.
Merujuk riset yang dilakukan oleh SPKS, perusahaan besar yang mengontrol hulu dan juga hilir seperti Wilmar, memperoleh bahan baku dari 32 group perusahaan, 4 di antaranya perusahaan asing, yakni 3 Malaysia dan 1 srilangka.
“Ini yang membuat kami petani sangat tersinggung, kenapa program ini justru melibatkan pihak asing, bukannya dengan petani sawit yang memang ada di Indonesia dan menerapkan regulasi yang ditetapkan pemerintah, kenapa kami tidak dilibatkan langsung,” katanya.
Darto mengatakan, pihaknya melakukan tracking di lapangan, faktanya petani sawit swadaya tidak terhubung sama sekali dengan program mamdatori biodiesel, dalam radisu 5 Km saja disekitar wilayah produsen biodiesel petani swadaya tidak diperhatikan atau tidak diajak bermitra.
“Hitungan kami pungutan ekspor itu bisa menggerus harga TBS petani sekitar Rp 600/kg,” tutur Darto.
Try Surya A