Minggu, 2 Agustus 2020

Para Penikmat Manisnya Laba Melon Premium

Para Penikmat Manisnya Laba Melon Premium

Foto: Dok. Tonthowi Jauhari
A. Suwarno, petani adalah profesi

Pasarnya memang tidak seluas melon biasa. Namun kalau mampu menghasilkannya, dia akan diganjar harga yang “manis”.

Melon yang dipajang di rak supermarket dan toko buah kelas menengah ke atas pastilah buah berkelas pula. Tidak semua produsen mampu mencapai standar itu. Yang mampu, paling tidak mengantongi untung Rp20 juta dari 4.000 batang tanaman. Berikut tiga petani produsen melon yang menikmati ketagihan manisnya laba bertanam buah anggota family Cucurbitaceae ini.


A. Suwarno
Mendampingi Petani Hasilkan Melon Premium

Latar belakang pendidikannya yang kesekretarisan memang jauh dari pertanian, tetapi Pak Warno, demikian dia biasa disapa, sudah menekuni budidaya tanaman buah semusim seperti melon, semangka, juga pisang sejak awal 1990-an. Wajar bila memproduksi melon dengan kualitas premium sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi sejak 2007, dia bersama mitra bisnisnya mendirikan Sweety Farm yang spesialis di bidang budidaya melon dan semangka.

Lima tahun pertama, Warno dan mitranya memproduksi melon dan semangka sendiri. Mereka membidik pasar kelas menengah ke atas yang tak segan merogoh kocek cukup dalam untuk mendapatkan buah berkualitas premium. Konsumen ini mau menebus melon Super Sweet seharga Rp30 ribu/kg dan Sakata Rp23/kg di Rumah Buah, Total Buah Segar, Duta Buah, dan Food Hall.

Seiring bertambahnya permintaan pasar, Warno dkk menjalin kerja sama dengan petani plasma. “Petani melon banyak, tapi untuk mencapai kualitas bagus harus dilakukan pendampingan. Kita pilih petani yang berkomitmen dengan SOP, tangguh, dan lahannya sesuai,” ungkap pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 5 Mei 1964 ini kepada AGRINA.

Sebagai inti, Sweety Farm menyediakan benih varietas Lonnis dan Sakata serta pupuk pelengkap rahasia yang akan diperhitungkan setelah panen. Selain itu, mereka memberikan standar operasional prosedur (SOP) yang harus dilaksanakan plasma dan melakukan pendampingan di lapangan secara rutin.

Pada 2007 luas lahan melonnya 7 ha yang dipanen tiga tahap. Produktivitasnya 20 ton/ha sehingga totalnya 140 ton per musim. Dulu varietas yang ditanam empat macam, yakni Sakata, Zebra, Sophy, dan Super Sweet. Rata-rata dibandrol Rp20 ribu/kg saat melon yang lain hanya Rp6.000-Rp8.000/kg di level konsumen.

Kini luas lahan melon total yang dikelolanya 10 ha lebih yang berlokasi di Bogor (Jawa Barat) dan beberapa kota di Jawa Tengah.  Target panen 200 ton dari 10 ribu batang tanaman. “Target 600 ton per tahun belum tercapai. Per bulan harusnya 50 ton, sekarang per dua minggu hanya 5-6 ton,” tutur suami Yuni Yanti tersebut.

Standar kualitas yang ditetapkan sesuai permintaan pasar adalah bobot 1,7-2,5 kg/buah, daging renyah, dan rasa manis dengan nilai brix minimal 12.

Warno mengakui, tidak mudah mengubah pola pikir petani yang mengganggap bertani  hanya pekerjaan, jadi hari ini bekerja, besok tanam, selesai dilanjutkan tukang, lalu lahan ditinggalkan. Padahal, bagi ayah dua putri ini, petani adalah profesi. Jadi, setiap hari petani  melakukan pengamatan di kebunnya.

“Sebenarnya SOP ini mudah siapapun bisa. Kita itu ketemu tidak hanya sekali-dua kali, orang yang kasarnya tidak pernah pegang cangkul pun tapi disiplin menerapkan SOP, 90% bisa berhasil. Itu bukti lapangan. Ada juga yang sudah berpuluh-puluh tahun gagal karena tidak mampu mengubah pola pikir yang lama, tidak mengikuti SOP kita,” ulasnya.

Padahal, dari sisi harga jual, petani mendapatkan sesuai harga kontrak yang ditandatangani di depan. Harga tidak akan lebih rendah daripada kontrak. Pasalnya, Sweety Farm menguasai pasar premium yang tidak sensitif terhadap perubahan harga.

Peni Sari Palupi, Sabrina Yuniawati


 

Yoyok Supriadi
Membidik Kualitas Premium dengan Greenhouse

Terlahir dari keluarga petani skala besar melon dan pedagang komoditas pertanian di Desa Jatiguwi, Kec. Sumber Pucung, Kab. Malang, Jatim, tidak serta merta membuat Yoyok terjun ke budidaya melon. Dia mengaku hanya bantu-bantu sang abah saja.

Mulai menanam melon pada 2017 dengan budidaya konvensional di lahan terbuka, Yoyok cukup kecewa karena gagal panen.  Waktu itu dia menanam dua hektar dengan perkiraan panen 35-40 ton. Namun apa lacur, pada umur 45 hari setelah tanam (HST) tanamannya tersiram hujan selama tiga hari. “Ludes semuanya, sampai tidak panen sama sekali,” ungkap Yoyok mengilas balik kegagalannya kepada AGRINA melalui sambungan telepon.

Tidak patah semangat, dua tahun kemudian sarjana teknik lulusan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini mencoba bertanam kembali. Kali ini dia menggunakan greenhouse. “Ada teman pakai greenhouse, saya lihat dan main ke sana. Pas panen, abis total biaya Rp40 juta, tiga kali panen uang balik. Saya lihat greenhouse itu tahan lama sampai 5-6 tahun. Bahan UV-nya (ultra violet) bagus bisa sampai 7 tahun. Siapa yang tidak tertarik?” cetusnya.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 314 terbit Agustus 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain