Selasa, 2 Juni 2020

Inovasi Budikdamber Untuk Ketahanan Pangan

Inovasi Budikdamber Untuk Ketahanan Pangan

Foto: Dok. Pribadi
Prof. Hadi Susilo Arifin, PhD, perkotaan sangat potensial untuk urban farming

Wilayah perkotaan sangat potensial untuk pengembangan urban farming.

Urban farming semakin naik daun karena Corona. Sepanjang hari berdiam diri di rumah akibat pandemi membuat orang cepat bosan dan membutuhkan aktivitas berbeda untuk menemani keseharian.
 
Maka, urban farming menjadi pilihan buat mengenyahkan kejenuhan. Tidak hanya mengisi waktu luang, kegiatan ini juga terbukti mendatangkan penghasilan. Tidak percaya?


Mulai dari Pekarangan

Prof. Hadi Susilo Arifin, PhD, Guru Besar Manajemen Lanskap Fakultas Pertanian IPB menjelaskan, urban farming alias pertanian perkotaan adalah praktik budidaya tanaman, ternak, dan ikan di dalam lingkungan perkotaan dan sekitarnya. Pertanian perkotaan disebut juga pertanian yang terintegrasi ke dalam ekonomi dan ekosistem perkotaan.

Berbeda dengan pertanian pedesaan, urban farming memiliki beberapa karakteritik. Yaitu, tenaga kerjanya penduduk kota, penggunaan sumber daya yang khas, seperti sampah organik sebagai kompos dan air limbah untuk irigasi, berhubungan langsung dengan konsumen, berdampak langsung pada ekologi kota baik positif maupun negatif, produk segar sebagai gaya hidup baru di kota, persaingan penggunaan lahan, dan dipengaruhi kebijakan perencanaan dan pengembangan kota.

Menurut Hadi, lokasi pertanian perkotaan cukup fleksibel di tengah atau pinggiran kota mulai dari pekarangan, kebun campuran, lahan pribadi yang kosong atau terbengkalai.
 
“Kebun campuran serupa dengan pekarangan tapi nggak ada rumahnya,” jelasnya pada seminar virtual “Hidroponik 101: dari Hobi Jadi Rupiah”. Selain itu, bisa di lahan publik seperti taman, sepanjang pinggir rel kereta api, pinggir jalan raya, area pemakaman, dan lahan semi umum, berupa halaman sekolah, halaman kantor, rumah sakit, bahkan di dalam gedung tinggi.

“Produk yang dihasilkan menarik sekali. Produk pangan dari tanaman biji-bijian, umbi, sayuran, jamur, buah. Dan bisa ternak unggas daging, telur, bisa ternak hias, burung, ikan. Jika lahannya sempit, gunakan ternak unggas. Tanaman ada produk nonpangan, seperti jamu-jamuan, bahan aroma terapi, tanaman hias, dan lain-lain,” urai Founder Komunitas Pekarangan dan Kebun Produktif Indonesia ini. Selain itu, produksi dan teknologi urban farming bisa dilakukan dalam skala kecil, sedang, sampai skala usaha besar.


Ragam Urban Farming

Ada beragam bentuk urban farming. Pertanian di perkotaan dengan kendala lahan sempit bisa menerapkan tambulampot (tanam buah dalam pot), pertanian organik, green roof garden (kebun di atap bangunan), vertical garden (vertikultur), hanging garden (taman gantung), hidroponik, dan aeroponik.
 
Hadi mencontohkan, lahan sempit bisa aplikasi vertikultur dengan membuat para-para ditanami pare. Lahan yang tidak berbasis tanah juga bisa menggunakan barang bekas dengan kultur pasir.

“Perkotaan sangat-sangat potensial untuk pertanian perkotaan. Gedung bertingkat dengan lebar 100 m2 ke atas berarti bisa (vertikultur) 1.000 m,” seru pria yang menerapkan berbagai bentuk urban farming di rumahnya di Kel. Laladon, Kec. Ciomas, Kab. Bogor, Jabar lebih dari 20 tahun ini.
 
Saat panen urban farming, Hadi menguak, bisa mereduksi belanja bulanan. Selain untuk konsumi sehari-hari, sayur dan buah yang dipanen bisa dijual ke warga sekitar.

M. Diapari Harahap, praktisi urban farming di Bengkulu mengamini. “Selada di halaman rumah, sawi pagoda, seledri, pasarnya laris di Bengkulu untuk bakso. Halaman 4 m2 bisa panen Rp1,5 juta/bulan. Siap dijual per bungkus Rp10 ribu. Untuk skala usaha, sangat menjanjikan, sangat prospek hidroponik ini. Harganya sangat menjanjikan,” paparnya pada AGRITALK Webinar Series – Urban Farming Kekuatan dan Peranannya dalam Pangan Nasional.

Keuntungan hidroponik, bebernya, lebih hemat air, ramah lingkungan, memberikan hasil lebih banyak, lebih mudah dalam memanen hasil, lebih steril dan bersih, bebas gulma, dan tumbuhnya lebih cepat. Hasil panen hidroponik 312 pot seharga Rp2.000/pot mencapai Rp624 ribu/musim. Dengan biaya produksi Rp115 ribu/musim, keuntungannya sebesar Rp509 ribu/musim.  


Bisnis Pendukung

Atang Komara, General Manager PT Agricon Sentra Agribisnis Indonesia (ASABI) mengungkap hal serupa. “Poteni sayuran sehat di hidroponik sangat luar biasa. Sampai saat ini saya masih over demand (kelebihan permintaan) untuk memenuhinya,” kata penyedia rumah kaca dan hidroponik itu. Ia menyebut, 100 m2 lahan hidroponik bisa menghasilkan pendapatan Rp10 juta/bulan.

Ruli Sulaeman, Special Project Manager PT East West Seed Indonesia, penyedia benih hortikultura menuturkan, permintaan benih untuk urban farming meningkat pesat hingga membuat beberapa produk kekurangan stok.
 
Prediksi kenaikan pertumbuhan benih khusus urban farming 20% tahun ini malah sudah dicapai pada Maret-April saat pandemi. “Yang kita banggakan, urban farming menjadi salah satu budaya hidup yang baru di perkotaan. Orang lebih sadar pentingnya bercocok tanam, pentingnya kegiatan penghijauan kota, dan kesadaran makan sayur dan serat,” urainya semringah.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 312 terbit Juni 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di magzter, gramedia, dan myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain