Sabtu, 2 Mei 2020

Melirik Manfaat Nila Bioflok

Melirik Manfaat Nila Bioflok

Foto: Adi S
Budidaya nila sistem bioflok memberikan banyak manfaat

Nila bioflok menawarkan efisiensi tinggi dari FCR 0,8 hingga SR di atas 95%.


Nila digemari berbagai kalangan masyarakat karena tekstur dagingnya seperti kakap dan tidak banyak duri dalam daging. Selain permintaan pasar yang tinggi, harga nila juga stabil.
 
Menurut Agung Rojidin Supriyadi, pembudidaya nila di Kec. Pandeglang, Kab. Pandeglang, Banten, harga nila mencapai Rp30 ribu-Rp35 ribu/kg di konsumen dan di pembudidaya sekitar Rp25 ribu/kg sedangkan biaya produksi berkisar Rp15 ribu/kg.

Di kala pandemi Covid-19, permintaan nila di Pandeglang masih stabil. “Kondisi pandemi seperti sekarang ini konsumsi paling ada penurunan sekitar 5% dan masih bisa dibilang stabil. Konsumsi tetap seperti biasa,” ujarnya yang masih kewalahan memenuhi kebutuhan pasar kepada AGRINA, Kamis (30/4).

Untuk meningkatkan efisiensi, teknologi budidaya nilai sistem bioflok pun ramai diadopasi. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB) memperkenalkan teknologi nila bioflok untuk mengatasi stunting (pertumbuhan kerdil) di kawasan Indonesia Timur. Seperti apa budidaya nila bioflok?


Bioflok 4 Metode

Menurut Adi Sucipto, perekayasa madya Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, teknologi nila bioflok sebenarnya pengembangan dari budidaya udang dan lele sistem bioflok.
 
Budidaya lele sistem bioflok marak di masyarakat pada 2014-2015. Namun dalam aplikasi lapang, ungkapnya, terjadi kerancuan dan masalah sehingga pelan-pelan banyak yang kolaps.

Pada 2017 Adi diminta meneliti lebih jauh budidaya nila sistem bioflok. Selama ini masyarakat menganggap teknologi bioflok biasa diaplikasikan ke semua komoditas ikan dengan metode yang sama.
 
Padahal, karakter biologi dan fisika ikan berbeda-beda, seperti padat tebar dengan daya tampung media. Agar teknologi nila bioflok berjalan baik, ia menggunakan pendekatan budidaya melalui 8 disiplin ilmu.
 
Yaitu, fisika, biologi, kimia, mikrobilogi, nutrisi, biokimia, kesehatan ikan, dan reproduksi ikan. “Kalau sistem itu (bioflok) bagus, harusnya sistem imun (kesehatan) ikan makin bagus,” ujarnya.

Awalnya ia mengembangkan nila bioflok dengan persiapan media budidaya lebih dulu. Seiring berjalannya waktu, sistem ini berkembang menjadi 4 metode.
 
Metode pertama, mempersiapkan media budidaya sebelum menebar nila. Fase penyiapan media selama 7 hari untuk memperbanyak bakteri. Setelah nila ditebar dan diberi pakan, akan muncul nitrogen dalam kolam sehingga bakteri membentuk konsorsium atau flok.

Karena umumnya masyarakat tidak tahu kondisi kesehatan nila yang dibudidaya, Adi lantas menerapkan metode kedua.
 
“Pastikan ikan sehat, dipelihara satu minggu baru aplikasi media. Oh satu minggu nggak ada yang sakit, berarti sehat, baru aplikasi media. Itu metode kedua. Jadi ikanya masuk duluan, baru medianya disiapkan,” terang pria kelahiran 5 Desember 1972 itu.

Metode kesatu dan kedua untuk persiapan media dan mengurangi risiko kegagalan adaptasi benih. Budidaya nila bioflok selama 3 bulan/siklus sehingga setahun bisa 4 siklus.
 
Kolam berbentuk bulat dengan diameter ideal 4 m setinggi 1 m. Sementara, metode ketiga dan keempat terkait efisiensi bisnis. Metode ketiga yakni memindahkan sebagian flok dari kolam yang stabil ke kolam persiapan.
 
Tujuannya, mengurangi penggunaan probiotik sehingga biaya produksi bisa turun sampai Rp500/kg.

Metode keempat adalah memanen bioflok. Yaitu, bioflok disaring lalu dikeringkan untuk dijadikan pakan ikan. Dalam setiap liter air mengandung 50 ml bioflok.
 
Maka pada kolam diameter 4 m yang berisi 10 ribu l air, ada sebanyak 500 l bioflok. “Kalau 500 l bioflok itu dikeringkan hingga 10% kadar airnya maka setidaknya ada 50 kg pakan berupa bioflok. Itu yang jarang sekali dipahami masyarakat. Jadi, sayang kalau ngebuang air. Itu makanya saya sebut efisiensi,” urainya.

Master lulusan IPB ini menjelaskan, selama 3 bulan pemeliharaan, tambahkan sumber karbon berupa gula atau molase sebanyak 5 kali saat sistem memerlukan karbon.
 
Tidak ada pergantian air selama budidaya. Hanya ada penambahan air di bawah 5% karena penguapan dan tes kualitas air. Selan itu, Adi juga merakit aplikasi GoFish Studio sebagai panduan budidaya nila sistem bioflok. “Hingga saat ini sudah digunakan lebih dari 130 orang,” katanya semringah.


Aplikasi Bioflok di Pandeglang

Salah satu pembudidaya nila bioflok binaan Adi adalah Agung. Menurut pria yang mengembangkan nila bioflok sejak 2018 ini, sistem bioflok lebih banyak manfaatnya daripada budidaya nila konvensional.
 
Yaitu, mengatasi keterbatasan lahan atau kolam budidaya, nilai konversi pakan (feed conversion ratio, FCR) lebih rendah, nilai kelangsungan hidup (survival rate, SR) tinggi, dan lebih mudah dikelola. Ia bisa mencapai FCR 1 hingga 0,8 dan SR 95% lebih.

Agung mengelola 12 kolam nila bioflok berdiameter 11,40 m setinggi 1 m per kolam. Pada tebar nila tiap kolam mencapai 10 ribu ekor benih ukuran 10 g/ekor dengan panen mencapai 2-2,5 ton ukuran 200 g/ekor.
 
Lama budidaya 3 bulan. “Paling lama panen 4 bulan, itu artinya sudah mencapai ukuran 250 g/ekor. Permintaan pasar yang paling bagus mulai dari ukuran 3, 4, 5, 6 ekor/kg,” katanya.     

Saat mulai budidaya, pria kelahiran 2 Juli 1972 ini hanya mengisi 50% air kolam untuk menghemat biaya produksi dan memudahkan adaptasi benih. Jika benih nila yang akan ditebar ditemukan cacat atau kurang sehat, diberi perlakuan khusus dengan garam atau PK selama 5-7.
 
Benih yang sehat gerakannya lincah, nafsu makan bagus, dan tidak ada kematian. Setelah itu, air diganti yang baru kemudian persiapan media bioflok.
 
“Aplikasi kapur, probiotik, molase, tunggu 4-5 hari lalu akan terlihat flok berkembang atau tidak. Probiotik dan molase dikultur dulu selama 6-12 jam,” ulasnya. Dalam 2 minggu budidaya, air perlahan ditambahkan hingga penuh.

Pemberian pakan nila pada pagi dan sore hari sekitar 1,5% biomassa ikan. Sebelumnya, pakan harus difermentasi lebih dulu agar FCR lebih rendah. Selama menggunakan metode bioflok, Agung selalu memperoleh FCR di bawah 1,1.
 
Setiap 3 hari sekali, ia mengukur kualitas air berupa pH, oksigen terlarut (DO), dan flok. Jika flok tidak sesuai standar yang diperlukan, sisa makanan dan kotoran tidak akan terurai dan menyebabkan munculnya amoniak. “Kandungan flok ideal kalau bulan pertama 20-30 ml/l air, bulan kedua harus di atas 30 ml/l, dan bulan ketiga 40-50 ml/l,” katanya.

Setiap 1 atau 2 minggu sekali, cabut paralon pembuangan selama 5-10 detik untuk membuang sisa-sisa pakan yang tidak terurai.
 
“Karena ada beberapa bagian di pipa pembuangan tidak kena sirkulasi udara, tidak terurai, mati. Matinya flok dan kotoran akan jadi amoniak jadi harus dibuang,” terang Agung.
 
Sementara, kolam yang tinggi amoniak atau kurang DO, bisa diamati secara fisik dengan ikan cenderung berenang ke atas dan tidak mau ke dasar.


Bioflok Terintegrasi di Depok

Di Depok, Jawa Barat, Legisan Samtafir juga mengembangkan nila biolfok dengan kolam diameter 1,7 setinggi 1 m. Pada 23 kolam bulat, Legisan membudidaya nila ukuran 7-8 cm/ekor atau 16 gr/ekor selama 4-5 bulan untuk dipanen ukuran 3-4 ekor/kg. Dengan padat tebarnya 70 ekor/m3, kolam diameter 1,7 m menghasilkan 70 kg nila/siklus. Dalam setahun bisa 3 kali panen.

Pria yang sebelumnya mengembangkan lele bioflok ini beralih ke nila karena penerimaan pasarnya luas. Legisan terutama menjual nila secara eceran ke konsumen, pesantren, serta restoran dan gerai olahan ikan miliknya, sisanya ke agen.
 
Harga nila di konsumen Rp35 ribu/kg dan Rp25 ribu/kg di agen, sedangkan biaya produksinya Rp15 ribu/kg. “Marketnya lebih kepada nila karena orang sini terutama kalau pesan itu pasti pecak patin, pecak nila,” jelas pemilik Farm 165 Al Balad itu.

Apalagi, pengelolaan nila bioflok juga tidak ribet dan terjaga kebersihannya. Menurut Jamaluddin, praktisi produksi Farm 165 Al Balad, nila merupakan ikan yang mudah dikelola.
 
“Nila hanya butuh kontrol pakan dan kepadatan. Kalau hubungan kualitas air, kena hujan panas juga nggak masalah,” katanya. Jamaluddin menggunakan pakan berprotein 25% dengan FCR nila mencapai 1,2.
 
“Protein pakan 25% untuk pertumbuhan nila itu optimal. Kalau kita besarin proteinya, biayanya yang jadi bengkak, pengaruh ke pertumbuhan relatif sama,” ungkapnya. Setelah 2 bulan berjalan hingga panen, nila diberi pakan protein 20%.

Untuk mengelola air, Jamal memberikan probiotik Bacillus setiap 2 hari sekali sambil melihat pertumbuhan mikroba. Mikroba yang aktif ditandai dengan kolam yang tidak bau. Jika mikroba terlalu aktif, pemberian probiotik disetop dulu dan partikel floknyadikurangi.
 
Kandungan flok yang bagus di nila sebanyak 10%. “Kalau melebihi 10% ada 2 caranya: dikurangi floknya atau  dipuasakan ikannya,” terangnya.

Sementara itu, Legisan juga menawarkan kerja sama bisnis budidaya nila bioflok. Biaya investasi satu kolam nila bioflok diameter 4 m sebesar Rp10,6 juta untuk biaya peralatan dan operasional budidaya hingga panen selama setahun. “Marginnya sekitar 18% dengan prinsip bagi hasil,” pungkasnya. Tertarik mencoba?



Windi Listianingsih, Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain