Foto: Selo Sumarsono
Sandi Octa Susila, kuasai rantai pasok dan melayani konsumen pasar modern
Menguasai rantai pasok dan membidik segmen konsumen menengah atas, dua orang pengusaha ini dapat mengenyam “renyahnya” bisnis sayuran.
Berbisnis komoditas hortikultura, khususnya sayuran, dengan cara konvensional yang mengandalkan perantara atau pengepul menghadapi risiko tajamnya fluktuasi harga. Pebisnis sayuran berikut ini menjinakkan pasar dengan cara yang berbeda, tapi sama-sama menikmati keuntungan.
Sandi Octa Susila
Harus Menguasai Rantai Pasok
Datang dengan menaiki Fortuner putih yang masih kinclong, Kang Sandi, begitu dia biasa disapa, menemui AGRINA di desa kelahirannya, Tegallega, Kec. Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat (25/2).
Pria muda yang kini amat kondang tersebut tengah menikmati hasil perjuangannya selama lima tahun terakhir. Mulai dari melayani satu jaringan waralaba ayam goreng di Sukabumi, sekarang Sandi dengan Kelompok Mitra Tani Parahyangannya memasok 25 pelanggan hotel, restoran, dan katering (horeka) juga ritel modern.
“Saya mulai melangkah dari trader. Saya lahir sebagai anak kampung yang banyak petaninya. Jadi, pas melihat ada pasar, kenapa saya harus cari di traditional market, saya datang saja ke petani. Saya tanya, wortel berapa, Rp2.000/kg. Saya bisa jual Rp9.000. Nah, kalau gitu saya beli Rp6.000 bisa nggak? Tapi mau nggak itu dicuci dulu? Mau Pak, kata mereka,” ungkap Sandi mengenang jejak awalnya membina petani.
Saat itu, dia tengah menjalani kuliahnya di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB, semester lima. Ketika liburan kuliah, dia pulang kampung dan memotret-motret sayuran yang ditanam ayahnya dan para petani lain.
Diunggahlah foto itu di situs indotrading.com yang membawanya ke pelanggan perdana. Betapa bahagianya sebagai seorang mahasiswa meraih laba Rp300 ribu-Rp500 ribu/bulan dari omzet Rp3 juta – Rp5 juta/bulan.
Namun perjalanan Sandi selanjutnya tak mulus. Seseorang di Jonggol, Kab. Bogor, mengorder 6 ton beras dan 150 galon minyak senilai Rp130 juta. Tapi apa lacur, ketika tiba hari H, sang pemberi order kabur dan melayanglah angan memanen gross margin Rp60 juta dalam 14 hari. Untunglah, dalam keadaan depresi berat, sang ayah mengingatkannya, “Allah tidak akan memberikan masalah di luar kapasitas umatnya.”
Lalu bangkitlah lelaki kelahiran 13 Oktober 1992 ini setelah mengunci diri tanpa komunikasi dengan orang lain selama tiga bulan. Mulailah dia memanfaatkan jejaring yang dimilikinya sebagai Ketum Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura IPB.
Terlibat aktif dalam kegiatan Festival Buah dan Bunga Nusantara di Bogor ternyata membuka pintu rezekinya sebagai pemasok sayuran ke IPB International Convention Center (IICC).
Dan titik balik menghampirinya ketika ada gelar Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di kampusnya. Rektor IPB meminta Sandi memasok konsumsi selama empat hari untuk 15 ribu peserta.
Hitung punya hitung butuh modal Rp130 juta, angka yang cukup bikin traumanya muncul. Namun, meyakini nama besar IPB, “Bismillah, saya pun dapat pinjaman dan saya layani order itu 24 jam. Pada hari keempat omzet kami dihitung Rp300 juta! Yang saya sampaikan bukan nilainya, tapi nothing is impossible,” tutur pemilik UD Mitra Tani Parahyangan ini dengan paras berseri.
Perjalanan pun berlanjut. Ayah satu anak ini menerapkan ilmu agronominya untuk mengarahkan cara budidaya para petani binaan yang sekarang mencapai 385 orang agar tetap ramah lingkungan.
Walhasil, para petani yang bernaung di bawah bendera Kelompok Tani Mitra Tani Parahyangan tersebut dapat menikmati produktivitas lebih tinggi.
Petani juga diajari memperlakukan hasil panennya dengan prinsip sortasi, grading, bersihkan, dan penyimpanan sebentar. Sementara di lahan miliknya sendiri yang seluas 8 ha, dia mulai mengadopsi pertanian pintar.
Sedangkan ilmunya dari Sekolah Bisnis IPB diamalkan untuk mengembangkan pasar. Perlahan tapi pasti, jejaring kian luas seiring bertambahnya publikasi terhadap aktivitas Sandi dan kelompoknya.
Sampai-sampai PTPN VIII mempercayainya untuk menjadi jembatan dalam pengelolaan lahannya yang dimanfaatkan para petani sekitar 100 ha.
Reputasi Sandi kian terangkat sehingga Pemkab Cianjur mendapuknya sebagai Direktur Utama Sub Terminal Agribisnis di Cianjur.
Sedangkan Kementerian Pertanian menunjuknya sebagai Duta Petani Milenial. Para investor juga berdatangan yang diwadahi dalam PT Bumi Parahyangan Investama.
Sampai Februari silam, jumlah item sayuran komoditas utama Mitra Tani Parahyangan mencapai 141. Melayani berbagai permintaan yang masuk, awal 2019 Sandi merambah komoditas lain, yaitu daging, buah, dan groceries. Total ada 1.000 item.
Beberapa dari 25 horeka pelanggan mereka di sekitar Bogor adalah Lotte, Alfamidi, Carrefour, dan Lulu Supermarket (ritel modern), Roofpark Cimacan, Pesona Alam Resort, Royal Safari, Grand Diara, IICC, Pullman Vimala Hill, Golf Bogor Raya, Novotel, Astana Green Pangrango, dan Royal Pajajaran (resto dan hotel).
Tentu saja pundi-pundinya kian menggembung dari hanya Rp300 ribuan/bulan pada 2015, sekarang berkembang 1.700 – 2.700 kali lipatnya! Namun ini tak lelah berbagi ilmu di wadah Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Mitra Tani Parahyangan dan terus mengembangkan bisnis hingga tembus pasar ekspor di Qatar dengan 43 item produk.
Sandi mengakui, kunci sukses bisnisnya terletak pada kemampuan menguasai rantai pasok dan bermain di pasar modern yang konsumennya termasuk kelas menengah atas. Menutup perbincangannya, pria inspiratif yang kini dibantu 50 orang staf ini menyatakan nikmatnya menjadi pengusaha, “Kita bisa mencapai tujuan kita sendiri. Kita tidak berada dalam telunjuk orang lain.”
Pudji Santoso
Berfokus ke Sayuran Sehat
Sebelum memproduksi sayuran sendiri, Pudji Santoso termasuk konsumen yang sangat memperhatikan kesehatan sehingga lebih suka membeli sayuran hasil budidaya hidroponik.
“Saya butuh sehat dan anak saya alergi kulit. Dokter memberikan resep dan bilang jangan makan daging, tapi (alergi) masih timbul lagi. Lalu saya ke Singapura. Kata dokter sana, jangan asal beri makan, bapak harus tahu dari mana asal-usul tanaman itu,” ungkap Pudji tentang latar belakangnya menekuni bisnis sayuran tujuh tahun silam.
Dari situlah bapak berusia 57 tahun ini menyadari bahwa makan sayuran hidroponik ternyata tidak menjamin anaknya menjadi sehat. “Dulu, sayuran hidroponik berasal dari impor dan ternyata produk impor tidak sebagus yang saya harapkan,” tutur pensiunan perusahaan kontraktor ini saat berbincang dengan AGRINA di Bogor.
Karena itu, alumnus Jurusan Sipil dan Mesin, Universitas Surabaya, ini lantas terjun ke budidaya hidroponik dengan tekad untuk menyediakan sayuran sehat.
Apalagi dia melihat jauh ke depan ramalan PBB yang menyatakan bakal ada krisis pangan pada 2050. Hidroponik di greenhouse, lanjut dia, menghasilkan tanaman lebih cepat dan dapat memenuhi konsumsi pangan dunia, tapi dengan catatan tanaman yang bersih.
Untuk menjamin sayuran produksinya benar-benar sehat, Pudji mencari lokasi di kawasan Puncak, Bogor, yang bebas polusi dan menggunakan air minum sebagai media tanam.
“Air saya bor dari tanah dengan nilai Total Dissolved Solid (jumlah padatan terlarut - TDS) 28-70. Standar TDS untuk air minum di bawah 100,” paparnya.
Paling tidak ada 23 jenis sayuran elit yang diproduksinya, misal aneka selada (lettuce) aneka bayam, caisim, arugula, kale, pakchoi, siomak, basil, catmint, juga tomat cherry.
Lima besar yang paling banyak diminati adalah adalah kale, butterhead, romaine, kangkung, selada keriting, dan bayam.
Sayuran-sayuran ini dipasarkan melalui lapak digital, seperti tokopedia, restoran, supermarket di area Jabodetabek. Dengan bandrol yang tinggi, konsumen yang peduli kesehatan menyambut produk sayuran Pudji.
Sebagai contoh, 250 g selada keriting dipatok Rp10 ribu saat promo. Sementara di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, sayuran yang sama hanya Rp20 ribu/kg. Kendati mengaku tidak cari untung dari jual beli sayuran, Pudji menikmati kenaikan permintaan rata-rata 5%-6% per tahun.
Peni Sari Palupi, Sabrina Yuniawati