Senin, 2 Maret 2020

Segarnya Laba Bisnis Sayuran

Segarnya Laba Bisnis Sayuran

Foto: Windi Listianingsih
Permintaan sayuran meningkat seiring kesadaran hidup sehat

Permintaan sayuran hijau meningkat signifikan sejalan dengan kepedulian masyarakat akan hidup sehat. 
 
Tren bisnis hortikultura, khususnya sayuran di pasar ritel sangat menjanjikan. Menurut T. Bagus Sudaryanto, Konsultan FMCG & Modern Food Retailing, omzet gerai supermarket seluas 2.000-3.000 m2 sekitar Rp4 miliar-Rp5 miliar per bulan. Sedangkan, hypermarket sekitar Rp12 miliar-Rp15 miliar per bulan. 
 
Nilai ini disumbang oleh penjualan produk segar, yaitu sayuran, daging, ayam, dan seafood; serta kebutuhan rumah tangga, seperti bahan pokok. Pertumbuhan penjualan aneka sayuran di pasar ritel cukup tinggi mencapai, 12% per tahun. Seperti apa tren bisnis sayuran ke depan?
 
 
Tren Bisnis Hortikultura
 
Naiknya permintaan komoditas sayuran dirasakan oleh ritel modern, salah satunya PT AEON Indonesia. Feri Rahman Saputra, Deputy General Manager Merchandising Division PT AEON Indonesia menyampaikan, tren permintaan komoditas sayuran hijau mengalami peningkatan cukup signifikan. Pasalnya, kesadaran masyarakat akan kebutuhan hidup sehat semakin meningkat.
 
Bicara tren, lanjutnya, pada 2017 hingga 2019 peningkatan sayuran di AEON sekitar 14%-20% per tahun. Dalam hitungan volum mencapai 7–8 ton/bulan. Secara kuantitas, ritel modern asal Jepang ini menjual kurang-lebih 46 ribu macam produk sayur, baik dijual dalam kemasan paket maupun satuan.
 
Sayuran yang disuguhkan AEON ada 350 jenis yang terbagi dalam beberapa kategori, seperti jamur, sayuran daun, sayuran organik, dan hidroponik. “Vegetable (sayur) di AEON yang paling the best (penjualannya) organik, itu nomor satu. Kedua, salad. Ketiga, jamur,” ujarnya saat ditemui AGRINA di Tangerang, Banten Senin (27/2). 
 
Permintaan sayuran organik paling diminati karena konsumen sangat peduli masalah kesehatan. Sementara sayuran yang dibudidaya secara konvensional, Feri menjelaskan, “Masih diragukan mengenai safety food (keamanan pangan)-nya. Kalau (sayuran) hidroponik atau organik, tinggal cuci sebentar, dimasak atau dimakan fresh (segar), aman.”
 
Apalagi, setiap kemasan sayur tersebut berlabel sertifikat organik yang menguatkan produk aman dan berkualitas. “Tahun pertama konsumen tidak memahami tetapi masuk tahun ketiga, minat terhadap (sayuran) organik tinggi,” katanya. 
 
Sayuran kategori salad juga luar biasa peningkatannya, di angka 20%-25% per tahun. Ada 2 jenis salad yang disajikan AEON dalam berbagai kemasan dan kategori, yaitu salad buah dan sayur.
 
“Tapi memang yang ngetren yang mix (campuran), misal salad serba selada, serba sayuran keras, misal timun campur tomat. Salad itu di kami jadi kategori yang dituju,” terang Feri yang menyebut tren permintaan sayur menggeliat di semua cabang AEON.
 
 
Semua Meningkat
 
Sejalan dengan AEON, La Lettus, produsen sayuran hidroponik di Bogor, Jabar, mengalami peningkatan permintaan sayuran hidroponik, sekitar 5%-6% per tahun. Menurut Pudji Santoso, pemilik La Lettuce, 5 sayuran paling banyak diminati masyarakat adalah kale, selada kepala (butterhead lettuce), romaine atau cos selada, kangkung, selada keriting, dan bayam. 
 
“Akhir Februari ini yang paling banyak dipesan selada keriting. Tapi tidak menentu juga, tergantung dari masyarakat. Kadang romeine tinggi juga permintaanya. Tapi kalau minggu ini selada keriting paling dicari,” kata pria asli Mojokerto, Jatim itu yang menghadirkan 15 jenis sayuran hidroponik.
 
Hasil panennya mencapai 25 kg/hari dengan harga rata-rata Rp15 ribu/250 g. Sasaran penjualan ke restoran, katering, dan toko digital (online shop) se–Jabodetabek. 
 
Perusahaan rintisan (startup) Sayurbox juga tumbuh permintaannya. Chief Financial Officer Sayurbox, Arif Zamani menyampaikan, penjualan sayuran naik signifikan. “Dalam year on year kurang lebih meningkat 100%,” ungkapnya.
 
Hal ini tergambar nyata dalam pengiriman yang dilakukan setiap hari. “Masyarakat sudah membeli sayuran setiap hari,” ulas Arif. Padahal 3 tahun sebelumnya, pengiriman hanya 2 kali seminggu. 
 
Arif menjelaskan, pihaknya hadir sebagai alat untuk memudahkan masyarakat yang sibuk tidak sempat ke pasar dan supermarket. Sayurbox menyuguhkan berbagai macam produk sayur, buah, dan bumbu dapur dengan harga kompetitif.
 
Bahkan, Sayurbox menawarkan promo untuk memikat pembeli. “Market Sayurbox sudah mencakup Jabodetabek,” kata pria asli Bandung, Jabar ini. 
 
Dari sisi petani dan penyuplai, Sandi Octa Susila, Ketua Umum Kelompok Tani Mitra Tani Parahyangan mengakui, bisnis hortikultura sangat menjanjikan. Pada 2015 Sandi mendapatkan keuntungan Rp300 ribu/bulan dengan omzet Rp3 juta-Rp5 juta dari menjual sayuran ke restoran dan hotel.
 
Pasarnya semakin berkembang hingga memasok ke ritel modern dan pasar ekspor. “Keinginan untuk sampai pada titik Rp500 juta–Rp800 juta/bulan ditambah lagi ekspor ke Qatar,” ungkapnya berambisi.   
 
Melihat peluang tersebut, Sarjana Pertanian lulusan IPB yang awalnya memiliki lahan seluas 8 ha itu tidak tinggal diam. Walhasil, ia merangkul petani untuk mengembangkan potensi di wilayahnya.
 
Seiring berjalannya waktu, luas lahan menjadi 120 ha dengan 385 petani binaan yang memproduksi 141 jenis sayuran. Menurut kacamata Sandi, bisnis pertanian tidak akan mati kecuali manusia mengalami kepunahan. “Saya menggarap usaha 5 tahun ini, ada harta karun yang orang tidak lihat,” serunya optimis. 
 
 
Syarat Ritel Modern
 
Menjual sayuran di pasar ritel modern memang menjanjikan tapi ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut Feri, syarat umum menjadi pemasok (supplier) AEON adalah 6K, yaitu kualitas, kapasitas, kontinuitas, konsistensi dan komitmen, keuangan, serta kompetitif.
 
Ia merinci, kualitas harus konsisten bagus, kapasitas pengiriman wajib kontinu, konsisten dalam kesepakatan kerja sama, dan memiliki modal yang kuat. “Keuangan penting karena terus terang AEON ini besar sekali turn-over (perputaran) barangnya. Jadi, supplier harus punya modal kuat karena AEON ada tempo pembayaran,” jelasnya.
 
Sarjana Perikanan alumni IPB ini menambahkan, pemasok setidaknya memiliki modal Rp300 juta/bulan untuk mengirim berbagai produk sayuran. Ada modal yang lebih kecil, Rp150 juta/bulan hanya untuk satu komoditas saja, seperti jagung manis. Lantas, ketika mengajukan diri sebagai pemasok, AEON akan melakukan wawancara, verifikasi data, dan survai lokasi. 
 
Setelah diterima menjadi supplier, AEON menerapkan 2 sistem harga: kontrak dan tawar-menawar. Harga kontrak diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan hari besar keagamaan, seperti lebaran, natal, dan imlek.
 
Selain itu untuk beberapa jenis sayuran khusus, seperti sayuran organik dan hidroponik, sayuran impor, atau produk yang tidak ada pesaing. “Harga di luar itu kita ikuti mekanisme pasar dan itu dilakukan seminggu sekali pengecekannya. Harga sangat dinamis. Harga fluktuatif (tawar-menawar) itu yang komoditas, kayak cabai, tomat,” urai Feri. 
 
Dalam hal pembayaran, AEON juga mempunyai 2 kategori. Pertama, penyuplai berberntuk CV atau PT menerima pembayaran 30 hari setelah pengiriman.
 
Kategori kedua, petani atau UKM yang mendapatkan pembayaran 15 hari kemudian. “Sistem pembayaran tergantung pada besarnya perusahaan,” kata pria yang sudah belasan tahun bergelut di dunia ritel modern itu. 
 
 
Dukungan Produksi 
 
Di sisi hulu, Prihasto Setyanto, Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian (Kementan) menjelaskan, selama 5 tahun terakhir produksi komoditas sayuran selalu mengalami peningkatan.
 
Berdasarkan data BPS, produksi sayuran pada 2015 sebesar 11,63 juta ton lalu menyentuh angka 13,07 juta ton di 2018 dan 13,33 juta ton di 2019. “Pada 2 tahun terakhir peningkatan produksi dilihat dari naiknya luas panen bawang putih, bawang merah, kembang kol, wortel, dan paprika,” ungkapnya.  
 
Tahun lalu produksi cabai besar mencapai 1,20 juta ton, cabai rawit 1,38 juta ton, bawang merah 1,58 juta ton, kentang 1,30 juta ton. Produksi sayuran daun mencapai 2,69 juta ton yang terdiri dari kubis 1,41 juta ton, kembang kol 0,18 juta ton, petsai 0,65 juta ton, kangkung 0,29 juta ton dan bayam 0,16 juta ton. 
 
Prihasto melanjutkan, Kementan menargetkan kenaikan produksi hortikultura sekitar 7% per tahun. Sasaran produksinya pada tahun ini meliputi cabai besar sebanyak 1,35 juta ton, cabai rawit 1,47 juta ton, dan bawang merah 1,66 juta ton.
 
“Upaya yang dilakukan untuk menggenjot produksi dengan program GedorHorti (Gerakan Mendorong Produksi, Meningkatkan Daya Saing dan Ramah Lingkungan Hortikultura),” jelasnya.
 
Tahun ini Kementan pun mengalokasikan dana APBN untuk kawasan bawang merah seluas 5.704 ha dan cabai 13.328 ha. Paradigma kebijakan pengembangan kawasan mengacu pada wilayah atau klaster.
 
“Bantuan APBN diutamakan bagi daerah yang kemampuan produksinya masih di bawah dari kebutuhan setempat atau disebut kawasan andalan dan kawasan pengembangan,” ucapnya.
 
Sedangkan kawasan mandiri yang sudah berproduksi melebihi kebutuhan, didorong untuk memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) untuk komoditas hortikultura sejumlah Rp6,39 triliun pada 2020.
 
 
 
Sabrina Yuniawati, Windi L, Peni PS

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain