Senin, 15 Juli 2019

Hama Ulat Impor Ancam Produksi Jagung

Hama Ulat Impor Ancam Produksi Jagung

Foto: Windi Listianingsih
Wujud ulat grayak baru yang harus diwaspadai

Bogor (AGRINA-ONLINE.COM). Swasembada jagung yang dicapai akhir-akhir ini mendapat ancaman dengan munculnya serangan ulat grayak jagung (Spodoptera frugiperda). Ulat grayak ini merupakan hama baru yang pertama kali ditemukan menyerang lahan petanaman jagung di  Pasaman Barat pada 26 Maret lalu dan telah menyebar ke berbagai wilayah.
 
Pakar hama tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Dewi Sartiami mengungkapkan bahwa hama yang menyerang di Pasaman dipastikan merupakan hama baru. Hama ulat grayak jagung ini diketahui berasal dari Amerika Tengah.
 
Ulat ini kemudian diketahui menyebar ke Afrika dan dalam waktu tidak terlalu lama menyebar ke India dan menimbulkan kerusakan lahan jagung yang cukup parah. Selain itu, di Thailand juga dilaporkan terjadi serangan ulat ini. “Setelah diverifikasi oleh tim ahli penyakit tanaman IPB, diketahui hama yang menyerang di Pasaman itu memang positif Spodoptera frugiperda,” ujar Dewi. 
 
Dewi menjelaskan, serangan hama ini sangat merugikan petani sebab menghancurkan pertanaman jagung dan mampu menyerang tanaman pada semua fase pertumbuhan. Sejak ditemukan pertama kali, saat ini hama ulat grayak ini telah dilaporkan dan tercatat keberadaannya di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat.
 
Melihat sebaran serangan hama ini yang terus meluas, diperkirakan hama ini masuk ke Indonesia sudah cukup lama. “Karena hama kan perlu fase perkembangan, dan kalau melihat serangannya sudah mencapai puluhan hektare, diduga sudah lebih lama hama ini masuk Indonesia,” ujarnya. Namun demikian sampai saat ini masih belum dapat dipastikan bagaimana cara masuk ke Indonesia. 
 
Sementara itu Ketua Departemen Proteksi Tanaman IPB, Suryo Wiyono mengungkapkan bahwa serangan hama ini sangat serius dan perlu menanganan yang serius pula. Sayangnya situasi ini belum diimbangi dengan tindakan kesiapsiagaan yang memadai. “Kepedulian, kewaspadaan dan tindakan terukur mengatasi masalah belum sepenuhnya tumbuh,” ungkap Suryo. 
 
Menurut suryo, semestinya kita memiliki rencana kontingensi dan dana darurat untuk menanggulangi situasi seperti ini. rencana kegentingan (contingency plan) untuk menghadapi situasi seperti itu. “Dengan demikian, jika hama dan penyakit baru masuk bisa segera ditangani dengan cepat agar terlokalisir dan tidak meluas, juga penting untuk menangkal masuknya serangan hama dan penyakit baru yang sudah muncul di negara-negara tetangga,” ujarnya.
 
Suryo juga mengingatkan untuk tidak mengulang kejadian gagap ketika terjadi serangan hama baru seperti yang selama ini terjadi. “Belajar dari pengalaman, sampai saat ini belum ada ada success story membendung hama/pathogen baru” ungkapnya. 
 
Menurut Suryo, merebaknya serangan hama ulat grayak jagung hendaknya menjadi momentum bagi kita untuk menghindari kejadian serupa dimasa yang akan datang. Adanya rencana kegentingan dan unit khusus untuk situasi ini diperlukan sehingga dapat dilakukan respon atau tindakan cepat. Dengan demikian hama penyakit baru dapat diisiolasi dan tidak menyebar. Dengan demikian ketahanan dan kedaulatan pangan nasional tidak terganggu.
 
Adapun Ahli Hama lainnya dari IPB, Aunu Rauf, juga mengingatkan pentingnya tindakan penanganan sedini mungkin untuk mencegah penyebaran lebih luas.  Aunu juga menyarankan pengendalian dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan.
 
Pengendalian sedapat mungkin dilakukan dengan pendekatan ramah lingkungan supaya ecosystem service tetap terjaga. Dengan demikian pengendalian dapat dilakukan dengan dukungan lingkungan pertanian yang baik. "Pengendalian ini juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami. pada hama ini juga ditemukan musuh alami berupa Parasitoid (Telenomus), Entomopathogen (Metharizium, NPV) salah satu contohnya," ungkap Aunu.
 
Sebagai upaya penanganan sementara,  Dewi menyarankan kepada petani jagung untuk lebih memperhatikan lahannya, dan ketika ditemukan adanya ulat ini, maka harus dilakukan pembersihan secara mekanis dengan cara mengambil telurnya. “Kalau petani bisa memonitor lahannya dan bisa cepat melakukan pembersihan, peluang untuk tanaman selamat dari serangan bisa lebih besar,” pungkasnya.
 
 
Galuh Ilmia Cahyaningtyas
 
Editor: Pandu Meilaka
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain