Kementan mengusulkan 30 lokasi PSN agar investor peternakan memperoleh banyak kemudahan.
Pemenuhan kebutuhan daging dan susu sapi yang masih mengandalkan impor menjadi tantangan tersendiri, khususnya dengan berjalannya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Minum Susu per 6 Januari 2025. Dalam berbagai forum, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Suganda menjelaskan, ketersediaan daging dan susu sapi lokal masih belum mencukupi kebutuhan nasional dan Program MBG.
”Ini tentu menjadi PR kita bersama dan menjadi prioritas kami di subsektor peternakan untuk meningkatkan populasi sapi perah dan sapi pedaging untuk menghasilkan produk susu dan daging sapi, untuk memenuhi kebutuhan baik reguler maupun Program Makan Bergizi,” ujarnya di Jakarta (5/12).
Agung merinci, kebutuhan susu segar di 2025 mencapai 8,26 juta ton dengan produksi lokal sebesar 1,55 juta ton (18,72%) sehingga ada defisit 6,72 juta ton (81,28%). Pun kebutuhan daging sapi tahun 2025 mencapai 0,84 juta ton dengan produksi lokal sekitar 0,38 juta ton (45,50%) sehingga minus 0,46 juta ton (54,50%). Kekurangan yang cukup besar ini perlu pemikiran dan strategi matang pemerintah yang harus didukung stakeholder terkait.
Modal Dasar
Menurut Agung, proyeksi kebutuhan susu pada 2029 mencapai 8,5 juta ton yang terdiri dari 4,9 juta ton konsumsi reguler dan 4,6 juta ton MBG. Targetnya, sebanyak 8,17 juta ton susu segar atau 96%-nya diproduksi di dalam negeri dan 0,33 juta ton sisanya (4%) impor. Sedangkan, proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2029 sebesar 0,88 juta ton, terdiri dari 0,83 juta ton konsumsi reguler dan 0,05 juta ton konsumsi MBG. Harapannya, sebanyak 0,62 juta ton daging sapi atau 70%-nya bakal diproduksi lokal dan sisanya 0,26 juta ton (30%) dipenuhi lewat impor.
Untuk mempercepat penyediaan susu dan daging sapi, pemerintah menyiapkan lima modal dasar, yaitu lahan, sumber daya peternakan, sumber daya manusia (SDM) peternakan, infrastruktur, serta sinergi regulasi dan kebijakan yang mendukung pengembangan peternakan. ”Kami di Kementan sudah berhasil mengidentifikasi 1,7 juta lahan milik pemerintah yang posisinya idle (mangkrak), yang nanti bisa kita kerja samakan untuk pengembangan sektor sapi perah dan sapi pedaging,” katanya pada acara JAPFA for Indonesia Emas 2045: Nurturing Collaboration in Food Security.
Kemudian, sumber daya peternakan seperti balai pembibitan dan kesehatan hewan masih belum maksimal pemanfaatannya. SDM peternakan sangat beragam dan infrastruktur belum merata. Yang paling penting, tegas Agung, dukungan kebijakan agar pembangunan peternakan, khususnya sapi perah dan pedaging terus meningkat. Kelima modal dasar ini dibungkus dalam 8 strategi percepatan penyediaan susu dan daging sapi.
”Saat ini kita sedang membuat regulasi terkait dengan bagaimana membangun investasi di sapi perah dan sapi pedaging. Kami juga melakukan link and macth antara calon investor dengan para peternak yang ada, koperasi, perusahaan peternakan Indonesia. Kemudian, kita harus memasukkan juga materi genetik sapinya dari luar untuk menambah populasi dari dalam negeri,” urai Doktor bidang Program Studi Pembangunan alumnus Universitas Hasanuddin, Sulsel itu menyebut 3 strategi awal.
Berikutnya, dukungan skema kredit bisnis, infrastruktur, mekanisasi, dan digitalisasi. Lalu, memperkuat kelembagaan dan sinergi pelaku usaha peternakan. ”Tentu kita ingin mendorong upaya peningkatan populasi ini terus signifikan dan dibangun secara bisnis,” ucapnya. Tiga strategi akhir ialah pertumbuhan dan peningkatan kapasitas bisnis dan hilirisasi, pemerataan pengembangan usaha peternakan, serta peningkatan kesehatan hewan dan keamanan pangan.
Road Map
Ditjen PKH telah membuat peta jalan (road map) penyediaan susu tahun 2025-2029. Untuk mencapai impor di bawah 10%, minimal 1 juta sapi perah betina produktif harus masuk ke Indonesia. Ada 134 calon investor yang komitmen mendatangkan sapi perah dan akan dikerjasamakan melalui program kemitraan maupun membangun peternakan di indonesia. Begitu pula sapi pedaging, target 1 juta ekor tambahan sapi betina produktif dan baru ada 70 investor yang siap berkomitmen. “Jumlahnya masih kurang. Kami terus meminta dukungan dan partisipasi dari mitra peternakan untuk masuk ke investasi sapi pedaging ini,” kupas Agung.
Sebagai langkah awal, sebanyak 50 ekor sapi perah bunting jenis Frisian Holstein asal Australia tiba di Indonesia pada 3 Desember 2024 sebagai tanda dimulainya upaya percepatan investasi peternakan. Sapi perah bunting usia 3-7 bulan itu ditempatkan di Lampung guna mendukung penyediaan susu di sana. Selain menghasilkan pedet, harapannya sapi-sapi ini akan mulai memproduksi susu untuk kebutuhan lokal pada pertengahan 2025. Selain itu, didatangkan pula 600 ekor bibit domba dan kambing perah yang terdiri dari 400 ekor domba Droper dan 200 ekor kambing perah jenis Saanen. Bibit ternak ini dikirim ke instalasi karantina di Cilacap, Jawa Tengah.
Di lain kesempatan, Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono menjelaskan, pemerintah menargetkan mendatangkan masing-masing 200 ribu ekor sapi perah dan pedaging tahun ini. Sehingga dalam lima tahun ke depan, target indukan sapi yang diimpor mencapai 2 juta ekor. Sapi indukan ini akan disebar ke peternak skala kecil dan besar melalui pola kemitraan. “Pemerintah tidak langsung mengimpor sapi, tetapi membuka ruang bagi investor untuk mendatangkan sapi indukan dan memperbanyak jumlahnya di dalam negeri,” terangnya (8/12).
Kajian UGM
Berdasarkan kajian Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang Pemetaan dan Peta Jalan Ketersediaan dan Kebutuhan Produk Peternakan di Indonesia 2025-2030, antara produksi dan kebutuhan reguler daging sapi ada gap yang cukup lebar atau defisit. Distribusi daging sapi juga jadi masalah besar untuk melayani Program MBG. Pasalnya, populasi sapi pedaging masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu Jatim, Jateng, Jabar, sedikit di Sumut dan Sulsel.
Merujuk kajian, Prof. Dr. Ir. Budi Prasetyo, DESS, DEA, IPU, ASEAN Eng, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, DIY menjabarkan, proyeksi produksi dan kebutuhan reguler daging sapi dari tahun 2025-2035 bakal defisit di atas 400 ribu ton/tahun. ”Kalau kita coba proyeksi produksi dan kebutuhan daging sapi untuk program reguler dan Program MBG, gapnya relatif lebar, kurang lebih antara 600 ribuan ton,” bebernya. Dalam proyeksi ini, natalitas (laju kelahiran) sapi sebesar 2%, produksi daging sapi relatif stagnan, dan kebutuhan daging sapi diprediksi naik setiap tahun.
Begitupun produksi dan kebutuhan susu sapi nasional, gapnya cukup besar. Proyeksi untuk kebutuhan reguler 2025-2035, defisit 4.000-4.600 ton/tahun. Ditambah Program MBG, celahnya masih lebar, mencapai 6.600 ton pada 2025 dan hampir menyentuh 8.000 ton di 2035. Dalam proyeksi ini, natalitas sapi 2%, produksi susu sapi dalam negeri menurun, sedangkan kebutuhan susu terus meningkat. Belum lagi, produksinya masih terkonsentrasi di Jawa, sedikit Sumsel, Sumbar, dan Lampung.
Berdasarkan analisis SWOT, daging sapi skala peternak punya kekuatan potensi alam, terutama di Indonesia Timur, populasi sapi lokal, dan budaya beternak yang kuat. Kelemahannya cukup banyak, yaitu produktivitas rendah, pakan berkualitas terbatas, manajemen kesehatan terbatas, kualitas genetik rendah, pola pemeliharaan tradisional, akses modal terbatas, dan gagap teknologi.
Ada peluang produksi lokal yang belum mencukupi, permintaan meningkat, berkembangnya inovasi teknologi, dan dukungan pemerintah. Namun, ada ancaman ketergantungan dan persaingan dengan produk impor, risiko penyakit hewan, serta perubahan iklim dan gas rumah kaca.
Dari skala industri, kekuatannya pasar domestik yang besar, program swasembada dan MBG. Peluangnya ada potensi ekspor ke negara muslim, investasi asing, dan peningkatan permintaan. Namun, kelemahannya konsumsi daging sapi rendah, akses modal terbatas, infrastruktur dan logistik terbatas. Ancamannya ketergantungan dan persaingan impor serta risiko penyakit hewan.
Analisis SWOT susu sapi skala peternak, ulas Budi, memiliki kekuatan dukungan pemerintah dan kesadaran gizi. Peluangnya permintaan meningkat, pengembangan teknologi dan inovasi, kemitraan publik-swasta, dan dukungan kebijakan pangan nasional. Kelemahannya, kualitas dan produktivitas rendah, kurangnya SDM terlatih, pendanaan terbatas, iklim tropis. Ancamannya yaitu persaingan produk impor, perubahan iklim, fluktuasi harga pakan, wabah penyakit hewan, dan permodalan terbatas.
Untuk susu sapi skala industri, kekuatannya kebutuhan pasar tinggi, dukungan pemerintah, dan kesadaran gizi. Peluangnya permintaan naik, pengembangan teknologi dan inovasi, kemitraan publik-swasta, ekspansi pasar lokal dan regional, serta dukungan kebijakan pangan nasional. Tetapi kelemahannya ketergantungan impor, infrastruktur terbatas, kuaitas dan produktivitas rendah. Ancamannya persaingan produk impor, perubahan iklim, fluktuasi harga pakan, wabah penyakit hewan, dan permodalan terbatas.
Secara umum, UGM merekomendasikan strategi pemenuhan daging sapi melalui sektor hulu, budidaya, hilir, dan sarana prasarana serta aspek lainnya. Sektor hulu berupa ketersediaan dan peningkatan produktivitas lahan, penyediaan input produk daging, penyediaan material genetik ternak, penyediaan hijauan konsentrat dan teknologi pengolahan pakan. ”Untuk budidaya itu memanfaatkan lahan yang potensial, kemudian peningkatan jumlah dan produktivitas ternak dalam negeri,” tuturnya.
Di sektor hilir ada pengembangan pengolahan produk daging dan diversifikasi produk olahan daging. Sektor sarana dan prasarana serta aspek lainnya berupa pengembangan sarana produksi dan pengolahan, penambahan rumah potong hewan (RPH) di setiap daerah, pengembangan jaringan distribusi, baik pergudangan, penampungan daging, maupun akses jalan, peningkatan kapasitas SDM, dukungan regulasi, akses pembiayaan untuk peternak, dan penguatan kerja sama internasional. Strategi pemenuhan susu sapi hampir sama, dengan memperhatikan aspek perbaikan dan peningkatan rantai pasok susu di sektor hilir.
Regulasi
Agung menguraikan strategi percepatan penyediaan susu dan daging sapi dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk jangka pendek, Kementan menyusun beberapa regulasi. Yaitu, revisi kedua Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan dan aturan turunannya, yaitu Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan.
Kedua, penyediaan informasi lahan dan link & match investasi peternakan. ”Untuk calon investor yang akan membangun peternakan integrasi, lokasinya kita daftarkan ke Bappenas untuk masuk menjadi proyek strategi nasional (PSN). Karena, pasti akan banyak kemudahan kalau ini menjadi proyek strategis nasional,” kata pria kelahiran 25 November 1976 itu.
Kemudian, membuka impor sapi perah dan pedaging dari Australia, Brasil, dan negara lainnya. Menurut Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Imron Suandy, pertimbangan Brasil sebagai negara asal pemasukan ternak sapi karena status zona bebas dari PMK yang diakui oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (World Organisation for Animal Health, WOAH). Selain itu, menilik tingginya populasi sapi di negeri samba sebagai sumber pasokan berkelanjutan. Brasil sebagai eksportir daging sapi terbesar dunia punya pangsa pasar 30% dari total ekspor daging sapi dunia pada 2022.
Langkah berikutnya, Agung meneruskan, ”Mendorong model kerja sama bussiness to bussiness, baik yang sifatnya kemitraan maupun bisnis murni dengan perusahaan peternakan Indonesia.” Lalu, mengadakan forum investasi bisnis yang mempertemukan calon investor. Terakhir, mengusulkan PSN untuk peningkatan produksi daging dan susu sapi. Kementan mengusulkan 30 lokasi PSN sehingga investor yang membangun peternakan akan mendapat dukungan kementerian dan lembaga terkait meliputi infrastruktur dan sarana pendukung.
Strategi jangka menengah-panjang yakni link & match investasi peternakan. ”Kita sudah mengidentifikasi lahan sebanyak 1,7 juta ha di 3.346 titik, ini by name by address-nya ada dan ternyata lahan kita banyak yang idle, kita punya banyak lahan dan kondisinya belum maksimal digunakan,” tambahnya.
Kemudian, dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan umum, fiskal, dan operasional. Kebijakan umum terkait regulasi importasi sapi perah dan sapi betina produktif, kewajiban menyerap susu dan daging sapi lokal oleh hotel, restoran, dan katering, mengusulkan susu sebagai bahan pokok penting, dan aturan pelabelan susu. Dari sisi kebijakan fiskal di antaranya mendorong tax allowance, skema pembiayaan bunga 3% dan masa tenggang di atas 3 tahun, bea masuk dan PPN impor sapi perah dan betina produktif 0%, dan asuransi.
Selain mengusulkan PSN, Kebijakan operasional berupa penyediaan infrastruktur dan logistik, akselerasi penyediaan hijauan pakan ternak. ”Baik bibitnya kita impor dari negara-negara yang baru maupun juga optimalisasi hijauan pakan ternak yang ada di Indonesia,” kata Agung. Kemudian, mekanisasi dan digitalisasi, lalu membangun eksosistem investasi yang menguntungkan bagi investor, termasuk konsumen yang merasakan hasilnya.
Windi Listianingsih