Tanaman biotek memudahkan budidaya, biaya operasionalnya lebih murah, dan meningkatkan hasil.
Berbagai macam permasalahan pertanian selalu menghampiri mulai dari mewabahnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT), iklim ekstrem, cuaca yang tidak menentu, dan sebagainya. Jika tidak diantisipasi, akan berdampak pada penurunan produksi dalam negeri. Tentu hal tersebut perlu dihindari karena ambisi Presiden Prabowo Subianto mengharapkan Indonesia dapat swasembada jagung pada 2027, bahkan siap menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Berbagai cara dilakukan pemerintah agar mencapai swasembada pangan, salah satunya mendorong pemanfaatan PRG.
Kekhawatiran GMO
Mengutip laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), masih banyak masyarakat belum memahami produk transgenik yang memiliki istilah Genetically Modified Organism (GMO), Produk Rekayasa Genetika (PRG), atau produk bioteknologi. Contohnya, tanaman transgenik yaitu tanaman yang telah disisipi atau memiliki gen asing dari spesies tanaman yang berbeda/sama atau makluk hidup lainnya, seperti bakteri yang dirakit melalui bioteknologi modern atau disebut dengan rekayasa genetik.
Terkait pemanfaatan teknologi rekayasa genetik ini tertuang dalam Undang-undang (UU) No. 21/2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Portocol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati). Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) No. 53/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
Menurut Woro Umayi, Chairwoman Biotech Croplife Indonesia, secara global tanaman transgenik bukanlah produk baru. Produk bioteknologi ini telah diadopsi oleh 28 negara terdiri 5 negara maju dan 21 negara berkembang. Di Indonesia, produk bioteknologi cukup marak ditemukan dan bermanfaat luas. Namun, masih banyak masyarakat yang khawatir karena misinformasi. Pasalnya di era digital seperti sekarang ini, akses informasi mudah disebarluaskan tapi kebenarannya belum sepenuhnya tepat. Misinformasi yang tersebesar terkait kesehatan manusia antara lain adanya transfer gen, dapat menimbulkan penyakit kanker, AIDS, flu, dan alergi.
“Kekhawatiran ini perlu diberikan edukasi. Sudah 20 tahun edukasi tanaman transgenik ini dilakukan. Sebelum produk diedarkan, kami memberikan kesempatan masyarakat untuk berdiskusi terlebih dahulu di laman Komisi Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik (KKH-PRG). Selalu ada transparansi informasi terkait produk bioteknologi tersebut,” jelasnya saat Talkshow ‘GMO di Indonesia: Makanan Frankenstein atau Masa Depan Pertanian’, Jakarta (22/2).
Bambang Prasetya, Ketua KKH-PRG mengatakan, Indonesia juga tidak mudah menerima produk bioteknologi karena memiliki prinsip kehati-hatian. Ia merinci, pertama, setiap proposal masuk dikaji oleh tim teknis atau para pakar. Setiap data memiliki aspek bermacam-macam dari sisi kesehatan, lingkungan, dan konsumsi. Setelah itu, kajian akan ditampilkan di laman KKH sehingga publik dapat memberi respon terkait hasil kajian dalam waktu kurang lebih 2 bulan.
“Setelah mendapatkan respon dari masyarakat, akan ada sidang komisi keamanan hayati. Tim teknis memaparkan hasil kajian dan diskusi. Masyarakat yang hadir pada sidang pleno KKH terdiri atas perwakilan dari pemerintah, seperti kementerian, BPOM (Badan Pengawasana Obat dan Makanan), lembaga konsumen mewakili masyarakat, pakar-pakar dari perguruan tinggi. Untuk bahan kajian informasi dan data dikirim ke Kementan (Kementerian Pertanian) terkait pakan, BPOM terkait pangan, serta KLHK terkait keamanan lingkungan. Kementerian dan lembaga memiliki regulasi masing-masing, misalnya izin edar melepas varietas akan dikeluarkan oleh Kementan. Prinsip kehati-hatian ini diterjemahkan seperti itu,” paparnya
Peneliti Ahli Utama Riset Perakitan Varietas Unggul Padi, BRIN, Prof. Dr. Ir. Bahagiawati, AH, MSc, menimpali, tanaman bioteknologi yang diproduksi di dalam negeri maupun impor, wajib melakukan pengkajian keamanan pangan, pakan, dan lingkungan bila ingin ditanam di Indonesia. Ini merupakan penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary approach). Contohnya, izin peredaran pangan PRG didapatkan setelah dilakukan pengkajian kemanan pangan PRG berdasarkan permohonan tertulis proponen kepada Kepala BPOM.
“Hal ini tertuang dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan, lalu Perpres No. 86/2019 tentang Keamanan Pangan. Keamanan hayati PRG di Indonesia terdiri dari keamanan pangan, bahwa memastikan PRG aman dikonsumsi manusia; keamanan pakan, bahwa memastikan PRG aman dikonsumsi hewan; dan keamanan lingkungan, memastikan PRG tidak menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan,” urainya.
Tantangan Pertanian
Tri Joko Santoso, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Hortikultura, BRIN mengatakan, produk bioteknologi merupakan jawaban dari berbagai tantangan pertanian serta mendukung ketahanan pangan. Tantangan tersebut adalah pertambahan penduduk yang pada 2035 diprediksi akan mencapai 305 juta jiwa atau lebih, sehingga membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup.
Tantangan kedua, lanjutnya, dampak perubahan iklim. Terdapat beberapa aspek terkait dampak perubahan iklim, seperti cekaman yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Misalnya, cekaman kekeringan berkepanjangan, banjir, dan ancaman OPT. Ketiga, tuntutan kualitas pangan, makan sehat, bergizi, dan kandungan nutrisi tertentu.
“Keempat, sumber daya lahan, alih fungsi lahan, dan lahan suboptimal. Sehingga, tanaman transgenik perlu dimasifkan. Tanaman yang sudah dikenal Masyarakat, yaitu jagung dan kedelai PRG komersialisasinya sudah cukup masif. Dua komoditas tersebut sudah disisipi dengan gen toleran terhadap aplikasi herbisida,” jelasnya saat webinar Talk to Scientist: ‘Teknik dan Proses Perakitan Tanaman GMO di Indonesia’, Jakarta (30/1).
Senada dengan Tri, Bahagiawati menerangkan, produk bioteknologi yang telah dikaji keamanan hayatinya ada banyak. Tetapi, terdapat 63 produk yang mendapatkan persetujuan aman pangan per 2011 hingga Agustus 2023. Rinciannya, kedelai 18 produk, 26 jagung, 1 gandum, 7 kanola, 5 kapas, 1 kentang, dan 3 tebu. Produk tersebut telah mendapatkan safety approval di beberapa negara di Asean, Uni Eropa, Amerika Latin, Afrika, Australia, dan Amerika Serikat. Informasi ini terdapat dalam The Biosafety Clearing House (BCH).
“Varietas tanaman transgenik seperti tebu, kentang, dan jagung telah dilepas atau dipasarkan di Indonesia. Sedangkan bicara spesifik keunggulan, jagung transgenik ini tahan terhadap serangan hama penggerek, dapat mengurangi kadar aflatoksin, lalu tahan terhadap herbisida, toleran cekaman lingkungan (kekeringan), dan peningkatan kualitas dan kuantitas produk jagung,” jelasnya saat ditemui AGRINA di Bogor, Jabar (7/3).
Doktor lulusan Department of Entomology Purdue University, Indiana, Amerika Serikat itu menambahkan, di masa mendatang permasalahan pertanian akan lebih berat lagi sehingga tanaman transgenik perlu didorong. Seperti, populasi penduduk meningkat 1% per tahun sehingga dapat dipastikan pada 2045 kurang lebih ada 318 juta jiwa. Jagung untuk pakan ternak diperkirakan meningkat sebanyak 4% per tahun. Konsumsi protein daging ayam dan telur masing-masing naik 9% dan 3% per tahun. “Penerapan trangenik ini jangka panjangnya memperkuat kemandirian dan negara dapat ekspor jagung juga,” terangnya.
Keunggulan PRG
Menurut Bahagiawati, penggunaan jagung biotek merupakan peluang untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Pasalnya, kebutuhan jagung akan terus meningkat setiap tahunnya. BRIN memproyeksi pasar jagung Indonesia pada 2045 akan mencapai 62 juta ton. Dengan menerapkan transgenik, produksi akan meningkat menjadi 70 juta ton sehingga ada surplus 8 juta ton. Sedangkan, luas panennya sekitar 8 juta – 10 juta ha dengan produktivitas rata-rata 7-8 ton/ha. “Hal yang paling penting adalah benih, membutuhkan benih (jagung biotek) 140 ribu-175 ribu ton pada tahun 2045,” kata wanita kelahiran Tanjungpinang, Kepulauan Riau itu.
Sementara itu, produksi jagung pipilan kering pada 2023 sebesar 14,77 juta ton dan di 2024 sebesar 15,14 juta ton. Kementan menargetkan produksi jagung nasional pada 2025 sebanyak 23 juta ton. Target tersebut merupakan program swasembada pangan nasional. “Ke depan mimpi kita adalah meningkatkan produksi jagung, di mana produksi tahun 2023 berkisar 15 juta ton dan kita akan naikkan jadi 16 juta ton, bahkan target kita bisa 23 juta ton,” ujar Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman saat membuka rapat koordinasi persiapan tanam jagung serentak bersama jajaran Polri dalam upaya mewujudkan swasembada pangan, (13/1).
Bahagiawati menjelaskan, petani yang menanam jagung bioteknologi binaan produsen jagung biotek telah menikmati keuntungannya. Sehingga, tanpa disuruh pun petani lainnya ikut menanam, seperti yang dirasakan petani binaan jagung biotek di daerah NTT. Adanya pertambahan perluasan tanam turut membuktikan bahwa petani menikmati hasil dari produk GMO tersebut. “Secara nilai ekonomisnya menguntungkan, maka petani mau ikut program perusahaan yang saat itu melakukan demplot jagung bioteknologi. Sekarang yang harus diperhatikan adalah kebutuhan benihnya,” terang wanita yang hobi membaca itu.
Seed Marketing Head Syngenta Indonesia, Imam Sujono menimpali, menggunakan tanaman biotek ada tiga keuntungan yang dirasakan petani, yaitu mudah, murah, dan meningkatkan hasil. “Tanaman jagung bioteknologi cost produksi akan lebih murah. Lalu, mudah karena menggunakan herbisida selektif harus melakukan penyemprotan dua kali, di awal dan umur 75 hari setelah tanam untuk gulma. Petani bisa gunakan glifosat, tidak perlu khawatir tanaman jagung akan mati dan tanpa perlu penyemprotan kembali. Salah satu tujuan perusahaan dalam membantu petani makin mudah, murah, dan meningkatkan hasil produksi,” paparnya
Dikatakan murah biaya produksi karena penggunaan jagung biotek tidak lagi menggunakan insektisida penggerek batang. Hasil pertanaman jagung biotek di NTB, NTT, dan Sulawesi juga menunjukkan peningkatan hasil 10% dari tanaman jagung nonbiotek. (Lihat: Tabel Perbandingan Hasil Tanaman Jagung PRG dengan Non-PRG).
Menyinggung swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, Imam berharap pada 2027 sepenuhnya penjualan jagung PRG Syngenta dapat membantu swasembada pangan. Ia mengklaim, pangsa pasar jagung PRG Syngeta menempati posisi nomor satu di Indonesia, hampir 50%. Dapat dikatakan bahwa 10 dari 5 petani telah menggunakan produk bioteknya. “Mungkin dalam waktu 1-2 tahun dapat terlaksana swasembada jagung, namun tergantung dengan adopsi tanaman biotek di Indonesia,” kata pria yang hobi membaca itu.
Pengalaman Petani
Hamzan Wadi, petani di Desa Labuhan Kuris, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, NTB merasakan dampak positif budidaya jagung biotek. Menurut Hamzan, ada 4e keuntungan menggunakan tanaman trangenik yaitu efisiensi biaya, efisiensi tenaga, efisiensi waktu, dan efisiensi pupuk. Biasanya petani melakukan 4 kali semprot herbisida untuk mengendalikan rumput. Menggunakan jagung biotek cukup 2 kali semprot herbisida, yaitu sebelum dan sesudah tanam, sehingga ada efisiensi biaya dan tenaga.
Begitu juga biaya sewa tenaga semprot yang mencapai Rp100 ribu-Rp150 ribu/ha/semprot jadi berkurang separuhnya. Untuk efisiensi waktu, aktivitas semprot yang berkurang bisa dialihkan menjadi kegiatan produktif lainnya. Dalam efisiensi pupuk, pemberian pupuk dapat diserap secara utuh oleh tanaman jagung tanpa bersaing dengan gulma sehingga potensi hasil lebih tinggi.
Hamzan menjelaskan, hasil panen jagung bioteknologi mencapai 9 ton-10 ton/ha dari sebelumnya 8 ton/ha. “Petani yang lebih penting adalah pengurangan biaya produksi bisa mencapai 30%, peningkatan hasil bisa 10% karena faktor penghambat pertumbuhan bisa diatasi. Awal biaya persiapan tanam hingga panen bisa mencapai Rp15 juta/ha, menggunakan tanaman bioteknologi hanya Rp10 juta-Rp11 juta saja,” urai Ketua Kelompok Tani Jagung Untir Tui ini.
“Tanaman bioteknologi sangat bagus, dapat dikatakan salah satu cara untuk mencapai swasembada pangan. Semakin dikembangkan teknologi ini, maka faktor penghambat lainnya bisa diatasi, kemungkinan akan lebih dekat dengan swasembada,” tandas lulusan S1 Fakultas Pertanian Universitas Mataram itu.
Sabrina Yuniawati