1. Home
  2. »
  3. Berita
  4. »
  5. Optimalisasi Perhutanan Sosial untuk Swasembada Jagung

Musim Hujan, Penyakit Unggas Mengganas

Meski terkendala penyakit, beternak layer kian menjanjikan.

 

Penyakit unggas pada musim hujan melonjak luar biasa. Penyebabnya, kelembaban udara naik, curah hujan tinggi, dan populasi lalat meningkat sehingga bakteri dan virus cepat menular. Terutama, penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD), New Castle Disease (ND), Avian Influenza (AI) dan Infectious Bronchitis (IB).

 

Penyakit

Menurut Ir. Eka Kurniawan, S.Pt, IPU, peternak ayam petelur di Desa Tanjungjaya, Kecamatan Bangunrejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, kondisi tersebut menyebabkan produksi telur turun, sementara kebutuhan obat-obatan meningkat. “Sampai-sampai saya inden untuk mengorder vaksin,” ujarnya kepada AGRINA pekan lalu.

Ia menyebut, IB disebabkan virus yang menyerang organ reproduksi sehingga ayam ngorok dan produksi telurnya berkurang karena indung telur mengecil. “Penyakit ini yang bikin peternak boncos dan produksi telurnya susah untuk naik lagi. Dan bahayanya, penyakit ini tidak pandang bulu alias menyerang di semua usia. Karena menyerang organ produksi maka akan terlihat signifikan pada ayam petelur. Walau ayamnya kelihatan sehat tapi telurnya jarang. Penyakit ini juga banyak variannya. Kalau di manusia, IB ini kayak Corona,” urainya.

Untuk flu burung atau AI, Eka mengaku masih ada. Terdapat dua varian AI yang berjangkit, yaitu high pathonegic dan low pathogenic. “Yang high, ayam langsung mati. Tapi yang low, virus AI masih bertahan di dalam tubuh ayam hingga ayam itu afkir,” ulas pemilik populasi 10 ribuan ekor layer itu.

Eka Kurniawan, jangan jadi penonton. – SYAFNIJAL DS

Tuan rumahnya flu burung, tamunya CRD, kolera, ND, dan lain-lain. Meski diobati, ayam tidak sembuh sebab AI merusak sistem imun. “Kalau pada ayam kampung sudah banyak yang mati karena flu burung. Di layer agak bertahan dari kematian karena sudah divaksin. Cuma, IB paling susah penanganannya. Pada musim hujan ini dari umur satu hari, ayam sudah harus divaksin secara berkala dan lebih sering dibandingkan musim kemarau,” sambung pria yang sebelumnya 20 tahun bekerja di PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk.

Menurut Eka, saat ini peternak layer mengeluh bukan karena harga pakan, tetapi kondisi lingkungan yang kurang bersahabat sehingga ayam banyak sakit. Yang agak tertolong pada kandang tertutup (closed house) karena tidak terkontaminasi udara luar. Udara di dalam kandang dari cooling pad juga sudah mengandung disinfektan.

 

Lalat

Pengusaha obat-obatan hewan itu menerangkan, lalat yang banyak pada musim hujan menjadi penular berbagai penyakit. Lalat ini seperti gunung es. Yang muncul di permukaan adalah lalat dewasa dan di bagian bawah tanah adalah telurnya berjumlah ratusan ribu.

Yang paling susah penanganannya, lalat berbentuk larva. Jika lalat dewasa disemprot mati, lalat berbentuk kepompong tidak mati meski disemprot. Kepompong lalat bisa masuk 3 cm ke dalam tanah atau kotoran ayam. Yang bisa dilakukan yaitu membakar kepompong. Hanya pada musim kemarau lalat musnah karena lapisan tanah panas dan padat.

Makanya, lebih baik mencegah lalat dari awal. Penanganannya dengan membersihkan kotoran setiap hari kemudian menyemprot larva. Sebab jika awalnya tanah basah lalu kering, larva akan masuk ke tanah dan berubah jadi kepompong sehingga tidak mati meski disemprot.

Eka mengakui, ada obat yang dicampurkan ke pakan sehingga kotoran ayam langsung padat tapi lalat sudah resisten. Dari penularan lalat ini muncul penyakit ND, IB, AI, cacingan, kolera dan lainnya meski media untuk minum ayam sudah menggunakan niple. Cacingan juga bisa bersumber dari air minum yang kotor.

“Lalat juga membuat masyarakat terkecoh. Ini berhubungan dengan lingkungan. Asumsinya jika ada kandang petelur, maka lalat banyak dan bau. Untuk bau memang, tapi lalat memakan protein tinggi. Lalat tidak akan meninggalkan sumber makanannya di kandang. Jika lalat hijrah ke rumah penduduk, maka bisa jadi rumah penduduk lebih kotor dibanding kandang layer. Tetapi pada ayam broiler, setelah panen dan kandang dibersihkan, maka lalat pindah mencari tempat lain yang ada sumber makanan,” bebernya.

 

Menjanjikan

Kendati terkendala penyakit, Eka menguraikan, beternak layer kian menjanjikan. Selain pakan melimpah, masa produksi layer bertambah panjang. Kalau dulu di bawah tahun 2014 umur 75-80 minggu ayam sudah afkir, sekarang di atas umur 100-120 minggu masih produksi karena perbaikan genetik. Pada minggu ke-80 masih bisa produksi 80%.

Eka Kurniawan (paling kanan) bersama sebagian karyawannya – SYAFNIJAL DS

Bahkan, peternak kecil masih memelihara layer hingga 120 minggu. Hanya dengan kondisi cuaca ekstrem, peternak dituntut memperbaiki cara beternak dengan aplikasi obat-obatan secara kontinu.

Suami Risa Oktaria ini menerangkan, sekarang sudah ada kandang tertutup buat layer sehingga lebih efisien. Aplikasi obat bisa ditekan karena ayam jarang sakit. Produksi telurnya lebih bagus. Kematian karena penyakit rendah, di bawah 10% hingga 5%.

Pada kandang otomatis, pemakaian tenaga kerja juga bisa diminimalisir. Dengan populasi 25 ribu ekor cukup 1-2 orang karena pemberian pakan dan pengambilan telur sudah otomatis. Belum lagi dari sisi pakan yang lebih hemat karena ayam nyaman. Sementara di kandang konvensional, seorang tenaga kerja hanya bisa mengelola 5 ribu ekor.

Persoalannya, biaya investasi kandang tertutup mahal, mencapai Rp170 ribu/ekor sedangkan kandang terbuka Rp75 ribu/ekor. Agar pengembalian modal di kandang tertutup otomatis lebih cepat, minimal memelihara 27 ribuan ekor. Sementara untuk kandang semiintensif sistem tertutup dengan blower dan cooling pad, minimal 12 ribu ekor karena pengambilan telur dan pemberian pakan masih manual.

Selain itu, ada pola lainnya, yakni mengedepankan animal welfare (kesejahteraan hewan) dengan memperluas kandang baterai. Tetapi bagi peternak kecil dan lahan terbatas, sulit dijalankan dan produksi kandang yang terlalu luas juga tidak bagus. Apalagi jika ayam diumbar, produksinya rendah karena energi lebih banyak terpakai untuk gerak. Termasuk, peternakan layer organik tidak bisa mencapai puncak produksi.

Selama 20 tahun terakhir, pria kelahiran 23 Desember 1982 ini menambahkan, perkembangan peternakan broiler dan layer di Lampung luar biasa. Diperkirakan ada 17 jutaan ekor populasi unggas Lampung. Sejumlah pabrik pakan unggas raksasa sudah berdiri pula, di antaranya Charoen, Japfa, Samsung, New Hope, dan Haida.

“Berkembangnya pabrik pakan unggas menjadi peluang usaha broiler dan layer di mana kita membuka usaha mendekati sumber makannya, sehingga biaya transportasi bisa ditekan. Lampung sudah menjadi lumbung ternak dengan sumber pakan melimpah. Di antaranya, bekatul, onggok, jagung dan singkong. Pasar juga lebih bagus dan posisi Lampung dekat dengan pasar utama Jabodetabek. Meski belakangan untuk menjual telur ke Jabodetabek, peternakannya harus memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner),” jelasnya.

Namun, peluang emas peternakan unggas di Lampung banyak dimanfaatkan pendatang. “Sebagai orang Lampung kita jangan jadi penonton. Makanya, saya resign dan mencoba merintis usaha. Saya beranikan diri keluar dari zona nyaman,” tandasnya yang mengawali usaha dengan beternak bebek petelur pada 2022 itu.

 

Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)

Tag:

Bagikan:

Trending

Perum BULOG Salurkan 1,3 Juta Ton Beras SPHP
Perum BULOG Salurkan 1,3 Juta Ton Beras SPHP Hingga Akhir 2025
Kementan Gandeng Swasta dan BUMN Dorong Investasi Sapi Perah
Swasta dan BUMN Investasi Sapi Perah Terintegrasi Di Jabar
Program GENIUS Perkuat Literasi Pangan dan Gizi Siswa
Program GENIUS Perkuat Literasi Pangan dan Gizi Siswa
Kementan Pantau Proses Penanganan dan Pengolahan Daging Dam
Kementan Pantau Proses Penanganan dan Pengolahan Daging Dam
NFA Usulkan Anggaran Rp16,10 Triliun Pada 2026
NFA Usulkan Anggaran Rp16,10 Triliun Pada 2026
Scroll to Top