Pemerintah harus menyiapkan ekosistem swasembada pangan di setiap desa.
Presiden Prabowo Subianto memajukan target swasembada pangan, khususnya beras pada 2027 dari semula di 2029. Tahap awalnya dengan menghentikan impor bahan pokok seperti beras, jagung, serta gula dan garam konsumsi. Bagaimana target itu bisa mewujud di tengah tantangan alih fungsi lahan pertanian yang cukup tinggi, 100 ribu ha/tahun, perubahan iklim, gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), produktivitas yang rendah, dan keterbatasan infrastruktur irigasi?
Kuncinya Produksi
Sarwo Edhy, Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas) menegaskan, kunci swasembada pangan adalah produksi. “Bagaimana Kementerian Pertanian (Kementan) dapat meningkatkan produksinya secara maksimal sehingga target yang sudah ditetapkan bisa tercapai. Sehingga, sasaran target 34 juta ton beras bisa tercapai, maka sudah pasti ketahanan pangan itu ada. FAO (Food & Agriculture Organization) mengatakan 90% produksi dalam negeri sudah swasembada, tapi bisa 100% memenuhi produksi dalam negeri lebih baik,” ulasnya pada Diskusi ‘Menyongsong Swasembada Pangan 2027’ di Jakarta (6/2).
Ia menyebut, stok beras nasional di awal 2025 sebanyak 8 jutaan ton. Dengan perkiraan produksi 2025 mencapai 32,29 juta ton, sambungnya, “Pada akhir Desember 2025 kita akan punya stok awal 9,9 juta ton. Ini sangat baik, sangat aman karena kita membutuhkan 2,6 juta ton/bulan untuk masyarakat Indonesia sehingga bisa untuk 3 bulan ke depan. Februari, Maret, April sudah panen.”
Upaya mewujudkan swasembada pangan, menurut Sarwo, pertama dengan meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari IP 100 menjadi 200 dan IP 200 menjadi 300. Kuncinya tata kelola air, mengingat keterbatasan ketersediaan air dan infrastruktur irigasi. Kedua, memberikan bantuan benih unggul bersertifikat untuk meningkatkan produktivitas. Ketiga, meningkatkan efisiensi usaha tani, misalnya mengurangi kehilangan hasil. “Sekarang sudah banyak dibantu Kementan mulai dari alat olah lahan, alat tanam, panen, dan pascapanen,” ulasnya.
Kemudian peningkatan efisiensi distribusi, penyimpanan, dan sistem harga pangan. “Agar petani semangat, kita menaikkan harga GKP (Gabah Kering Panen), sekarang Rp6.500/kg. Dulu Rp3.500/kg, lalu naik Rp5.000/kg, lalu naik Rp6.000/kg, dan saat ini Perbadan No. 16/2025 Rp6.500/kg, kenaikannya 88,3%,” urainya.
Termasuk, melakukan diversifikasi pangan. Bagaimana mengubah pola pikir masyarakat bahwa kenyang tidak harus dengan nasi. Pasalnya, banyak pilihan pangan lokal sumber karbohidrat, mencapai 76 jenis komoditas, seperti porang, jagung, ubi, dan lainnya.
Lalu, penyelamatan stok pangan dari boros pangan. Hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, makanan yang terbuang mencapai 31%, terdiri dari 17% sampah masakan (food waste) dan 14% food loss dari kehilangan hasil, baik saat panen, dijemur, maupun tercecer.
“Kalau 10% kita hemat, satu tahun kebutuhan 36 juta ton beras. Kalau setahun hemat 10%, maka kita bisa berhemat 2,8-3 juta ton beras. Kalau tahun lalu impor 4 juta, harusnya impor cuma 1 juta,” jelas Sarwo.
Selain itu, ungkap pria yang pernah menjabat Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian tersebut, Indonesia memiliki 144 juta ha lahan kering yang berpotensi besar mendukung ketahanan pangan. Peluang ini makin terbuka jika teknologi seperti desalinasi yang diterapkan di negara Arab dan Ethiopia dapat diimplementasikan di Indonesia. Dengan mengubah air laut menjadi air tawar untuk irigasi pertanian, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi lahan yang ada dan mewujudkan ketahanan pangan yang kuat.
“Karena itu, cita-cita untuk menjadi lumbung pangan dunia. Sehingga, Indonesia menjadi tempat negara-negara mencari makan di dunia, itu sangat memungkinkan,” tegasnya.
Ekosistem Swasembada Pangan
Pada forum yang sama, Mulyono Machmur, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPN HKTI) menuturkan, Indonesia pernah mengalami kisah sukses swasembada beras selama 10 tahun pada 1984. “Success story kita swasembada 1984 itu bukan suatu hal yang tiba-tiba terjadi, tapi melalui perjuangan yang cukup panjang. Bahkan, dimulai tahun 1963-1964, aksi riset di lapang, dimulai oleh mahasiswa dan hasilnya luar biasa. Hasilnya dari 106 ha jadi 1.000 ha,” tukasnya.
Menurut Mulyono, ada 5 faktor esensial dan 5 penunjang atau disebut ekosistem swasembada pangan yang harus ada. Yaitu, pasar hasil pertanian, teknologi pertanian yang selalu berkembang, tersedianya sarana produksi pertanian, insentif produksi, dan pengangkutan. Hal ini ditunjang oleh penyuluhan/pendidikan, permodalan, kelompok tani, perbaikan dan perluasan, serta perencanaan pembangunan.
Prof. Soedarsono Hadisapoetro, Mentan Pertanian periode 1978-1983, bukanya, memeras 5 faktor esensial tersebut menjadi catur sarana unit desa. Pertama, BRI Unit Desa sebagai penyedia modal. “Kapan saja petani perlu modal, siap oleh BRI Unit Desa,” ucapnya. Kedua, kios. “Kapan saja petani memerlukan sarana produksi, kios standby di desa,” timpalnya. Ketiga, penyuluhan dan keempat, KUD.
“Konsep catur sarana unit desa dipakai sebagai konsep Bimas. Artinya, pertanian di pedesaan, semua datang dari luar desa, kecuali hasil pertanian yang keluar dari desa. Jadi, BRI Unit Desa hadir di desa, kios, sarana produksi didorong ke desa. Penyuluh sebagai penyedia intelektual harus ada di desa. Dan koperasi unit desa (KUD) yang membeli hasil,” urainya.
Jadi, konsep delivery system dipadukan dengan konsep peranan kepemimpinan formal. “Mulai dari gubernur, bupati, sampai kepala desa adalah aktor pengerak yang memobilisasi semua aparat. Semua persyaratan yang dibutuhkan petani hadir semua di desa,” urainya. HKTI berperan mengubah petani yang semula sebagai penerima atau bersifat pasif, dikembangkan menjadi aktif, meliputi acquiring dan achieving system.
“Swasembada ini berlangsung selama 10 tahun. Kalau mau swasembada, semua ini harus disiapkan. Kios bisa nggak 24 jam? Warung Madura saja 24 jam. Modal tidak khawatir, ada BRI Unit Desa. Begitu panen, ada yang nampung – KUD. Sekarang istilah kerennya offtaker. Sukses kita swasembada itu tidak lepas dari menciptakan ekosistem catur sarana unit desa,” kritiknya.
Kemudian, bagaimana menciptakan bupati, camat, dan perangkat desa sebagai pemimpin yang memobilisasi aparat. “Petani tidak bisa dimobilisasi. Petani dibangun partisipasinya untuk melaksanakan program pemerintah. Membangun mobilisasi dan partisipasi menjadi kekuatan mendorong dan akhirnya mewujudkan swasembada,” cetusnya.
Mulyono berpendapat, saat ini ekosistem swasembada pangan tersebut sebetulnya sudah ada di desa tapi tidak berjalan optimal. Misalnya kios di desa, bagaimana kios di desa bisa optimal seperti dulu. Dulu BRI Unit Desa petani bisa akses kredit. “Sekarang ada KUR (Kredit Usaha Rakyat), mudah nggak diakses oleh petani? Ternyata yang mudah diakses petani itu pelepas uang atau renternir,” sahutnya.
Ditambah, KUD yang dulu berperan membeli hasil panen juga sudah tidak ada. “Siapa offtaker di lapangan? RMU – rice milling unit, itu sebagai pelepas uang juga. Itu di lapang seharusnya dihidupkan lagi penyuluhnya, lembaga permodalannya,” tandasnya.
Windi Listianingsih