Industri singkong nasional digoyang berbagai masalah hulu hingga hilir.
Indonesia merupakan lima besar produsen singkong dunia. Mengutip data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pada 2020 Indonesia masuk lima besar produsen singkong. Jangan sampai posisi ini bergeser karena di dalam negeri tidak berfokus meningkatkan produktivitas singkong nasional. Terlebih, ‘kerasnya’ permasalahan industri singkong nasional belum menemukan titik terang terkait hulu hingga hilir.
Dalam 17 program prioritas Kabinet Merah Putih, singkong masuk program tersebut yang disebut Pajalekong (padi, jagung, kedelai, singkong, dan tebu). Singkong juga salah satu dari lima komoditas prioritas yang akan dikembangkan di food estate. Ini waktu yang tepat untuk menjaga produksi sekaligus meningkatkan produktivitasnya.
Tren Singkong
Direktur Eksekutif Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), Achmad Rachman mengatakan, singkong masuk dalam program prioritas Kabinet Merah Putih. Prioritas utamanya adalah mencapai swasembada pangan dan energi. Hal ini merupakan tantangan semua pihak untuk mengimplementasikan program prioritas tersebut dan menjadikan singkong kembali berjaya.
“Harus mengembalikan kejayaan singkong. Indonesia pernah tertinggi ekspor singkong ke Eropa dan Amerika pada tahun 60-an. Thailand belum ada apa-apanya, apalagi Vietnam. Ini sangat penting karena momentum tepat untuk dikembangkan karena sudah dipayungi oleh Undang-undang Pangan No. 18/2012,” jelasnya saat webinar ”Pakan Ternak dari Singkong”, Kamis (27/2).
Mengutip data FAO 2020, produksi singkong per tahun di negara produsen, seperti Nigeria mampu menghasilkan 60 juta ton/tahun. Republik Kongo produksinya mencapai 41,01 juta ton. Thailand dan Ghana masing-masing sebanyak 28,9 juta ton dan 21,8 juta ton. Sedangkan, produksi singkong Brasil 19 juta ton dan Indonesia 18,3 juta dengan sentra produksi tersebar di 13 provinsi dan lima terbesar di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Achmad merinci, produksi singkong dunia terbesar pada 2014-2022 ada di Nigeria, Kongo, Thailand, Ghana, Brasil, dan Indonesia. Namun, produksi singkong Indonesia trennya mengalami penurunan (Lihat: Grafik Produksi Singkong Indonesia dan Negara Produsen Lainnya). Penurunan ini disebabkan adanya demotivasi petani untuk menanam singkong dan beralih ke tanaman lain yang lebih menjanjikan.
“Demotivasi dari petani untuk menanam singkong karena dampak harga yang tidak menguntungkan petani dan berakibat terjadi penurunan produksi secara nasional dari tahun 2014-2022. Mungkin pada 2024 ada kenaikan sedikit tapi tidak dapat kembali pada posisi 2014, produksi mencapai 20 juta ton/tahun secara nasional,” tegasnya.
Achmad menambahkan, luas pertanaman singkong juga mengalami penurunan sekitar 6% per tahun. Penurunan luas ini sangat mengkhawatirkan jika tren ini dibiarkan terus-menerus. “Petani tidak akan mendapatkan keuntungan, tidak sejahtera dari budidaya singkong. Maka dapat dipastikan tren penurunan ini akan terus terjadi di tahun-tahun yang akan datang,” ucapnya pada webinar yang diadakan Propaktani itu.
Ketua Umum MSI, Arifin Lambang menimpali, Lampung merupakan produsen terbesar, sekitar 40% singkong nasional, serta menjadi sentra industri tapioka nasional. Pemerintah perlu memikirkan cara agar industri singkong benar-benar berkembang dengan ditopang kebijakan yang menguntungkan serta memberikan rasa nyaman bagi petani, industri, maupun pihak lain yang terlibat di sektor tersebut.
Pasalnya, nilai valuasi menyeluruh industri berbasis singkong dapat mencapai Rp100 triliun. “Faktor menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri singkong perlu diminimalisir, karena produksi singkong 19 juta ton ini bisa menghidupi sekian juta orang. Belum lagi menghitung pihak-pihak yang terlibat, seperti input pertanian singkong maupun hasil olahannya. Sehingga, sangat besar sekali pengaruhnya jika tidak ditangani dengan baik,” katanya.
Permasalah Singkong
Rizani Andiwijaya, Ketua MSI Lampung mengatakan, salah satu perusahaan membeli singkong dengan harga Rp1.100/kg, ditambah potongan 20% menjadi Rp880/kg. Angka ini belum termasuk potongan ongkos kuli dan transportasi Rp180/kg sehingga sisanya Rp700/kg. “Harga Rp700/kg, hasil panen 25 ton, kurang lebih yang didapatkan petani Rp17,5 juta. Sedangkan, biaya sewa lahan dan produksi kurang lebih Rp17 juta-Rp18 juta. Alhasil, petani tidak mendapatkan keuntungan sama sekali,” bebernya.
Permasalahan ini akhirnya berlanjut ke kantor Gubernur Lampung. Saat itu perwakilan petani singkong dari 7 kabupaten serta 24 perusahaan hadir membahas pembelian singkong. Kesepakatan pada 23 Desember 2024 yaitu perusahaan membeli dengan harga Rp1.400/kg dan potongan 15%. Harga acuan singkong ditetapkan melalui SE PJ Gubernur No. 7/2025 dengan harga Rp1.400/kg. Namun, di lapangan per tanggal 30 Januari 2025 belum ada yang melaksanakan harga tersebut. Perusahaan membeli singkong Rp1.100/kg.
“Belum ada perusahaan yang melaksanakan kesepakatan tersebut. Malah sebagian besar perusahaan memilih tutup, alasannya pembelian harga tersebut tidak menguntungkan. Ada pula perusahaan membeli dengan harga Rp1.400 dengan catatan rafaksi 24%. Saat ini musih hujan kandungan pati tidak bisa mencapai 24%. Itu sama saja tidak ingin membeli singkong petani. Saat ini menunggu keputusan pusat untuk kegiatan realisasi harga ini,” paparnya.
Petani tetap menuntut harga Rp1.400-Rp1.500/kg karena biaya produksi singkong sebesar Rp25 juta/ha/musim tanam dengan keuntungan Rp2,4 juta/ha/musim atau 8-9 bulan. Di lain sisi perusahaan menginginkan harga Rp1.100/kg tapi petani mengalami kerugian. Sedangkan dengan harga Rp1.500/kg, perusahaan rugi.
Konflik berkepanjangan antara petani singkong dan pengusaha industri didengar Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman. Amran menerima kunjungan petani singkong Lampung dan perusahaan di kantor Kementerian Pertanian pada 31 Januari lalu. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa pembelian singkong petani sebesar Rp1.350/kg. Mentan meminta industri pengolahan singkong untuk mengutamakan pembelian dalam negeri serta melarang impor.
Komoditas tersebut tidak masuk dalam penerapan larangan dan pembatasan (lartas) impor. “Harga per hari ini Rp1.350/kg, melanggar berhadapan dengan saya. Kami juga telah berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan untuk menahan kebijakan impor. Impor hanya dilakukan saat bahan baku dalam negeri tidak mencukupi. Jalur ini diambil untuk memastikan petani dan pelaku industri sama-sama mendapatkan harga layak,” tegasnya di Jakarta (31/1).
Deputi Bidang Koordinasi Usaha Pangan dan Pertanian, Kemenko Pangan, Widiastuti menimpali, singkong merupakan komoditas bukan termasuk kebijakan lartas impor untuk melindungi petani dan industri tepung tapioka. Pemerintah dapat memasukkan dalam tata niaga impor dan neraca komoditas agar pembatasan impor bertujuan menjaga penyerapan dan harga singkong dalam negeri.
“Kemenko Pangan bertugas menjaga keseimbangan hulu hingga hilir. Sehingga, memasukkan singkong dalam lartas tapi diperlukan masukkan dari Kementerian terkait, dari Kementan, Kementerian Perindustrian, dalam rangka menjaga stabilitas harga di tingkat petani. Perlu menata kembali regulasi dari sisi hulu guna menekan biaya produksi singkong,” katanya.
Solusi
Achmad menjelaskan, ada lima tantangan on farm yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan produktivitas nasional. Di antaranya, penggunaan benih berkualitas, pemberian pupuk berimbang, pengendalian hama dan penyakit, mitigasi perubahan iklim, terakhir jaminan harga menguntungkan petani.
Karena itu, ia menyarankan, perlu penyediaan akses input usaha tani dan pendampingan teknologi. Pasalnya, bibit singkong yang selama ini digunakan petani bertahun-tahun tentu telah mengalami degradasi sehingga perlu diperbaharui. Inovasi teknologi dan peran penyuluh pun sangat dibutuhkan.
Kedua, perlu fasilitas akses pembiayaan dan bantuan/subsidi modal usaha tani untuk penyiapan lahan dan pembelian sarana produksi. Ketiga, meningkatkan infrastruktur dan kelembagaan usaha tani, terutama jalan usaha tani, transportasi, dan fasilitas penyimpanan hasil panen. Sedangkan, kelembagaan untuk memperkuat kelompok tani agar punya posisi tawar tinggi dalam bernegosiasi dengan industri atau pabrikan.
Keempat, regulasi yang menjamin harga singkong stabil dan menguntungkan petani serta hasilnya terserap industri. Kelima, mengintensifkan hilirisasi produk berbasis singkong dengan berbagai produk yang dibutuhkan oleh pasar domestik dan internasional. “Keenam, mendorong penelitian untuk menghasilkan inovasi unggulan yang dapat meningkatkan produktivitias dan kualitas singkong dan produk turunanya,” katanya.
Achmad menambahkan, singkong memiliki potensi meningkatkan ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan menyumbang devisa negara yang signifikan. Produk olahan singkong yang dihasilkan belum optimal, hanya sebatas pada produk camilan, kue, tapioka, tepung, dan beras singkong. “Belum sampai pada hasil akhir yang bernilai ekonomi tinggi seperti etanol, bioplastik, dekstrin, dan lainnya,” urainya.
Dari sisi akademisi, Prof. Achmad Subagio, Guru Besar Universitas Jember mengatakan, produk gula yang didapatkan dari turunan tepung tapioka memiliki potensi besar dalam hal industri. Ia mencontohkan, Indonesia yang mengimpor gula misalnya 5 juta ton/tahun bisa digantikan dengan produk turunan singkong agar memiliki nilai tambah.
“Kemungkinan tapioka menjadi kompetitif, berarti bisa me-replace gula impor dengan gula-gula cair yang dihasilkan dari singkong. Impor gula bisa replace dari gula yang diproduksi dari tapioka. Selama ini tapioka dan singkong tidak pernah diperhatikan. Saya yakin Pak Prabowo mempunyai komitmen atas singkong. Ini adalah momentum besar untuk yang terlibat dalam bidang singkong,” tandasnya.
Sabrina Yuniawati