Hilir pertanian masih sangat bergantung pada impor bahan baku.
Pengembangan sektor pertanian dalam upaya mendorong kekuatan ekonomi nasional merupakan langkah strategis mengingat banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pertanian. Anton J. Supit, Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, hampir 30% angkatan kerja ada di sektor pertanian. “Kalau kita mau ekonomi kita kuat ya perkuat pertanian ini agar dia bisa mendapat hasil lebih baik,” terangnya.
Namun, tantangan dalam dunia pertanian tidak pernah ada habisnya. Dalam perjalanannya, perlu dukungan semua elemen untuk mendorong industri pertanian Indonesia lebih berkembang dan berkelanjutan. Dimulai dari hulu sebagai pemasok bahan baku hingga hilir yang menghasilkan produk jadi harus menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, dibutuhkan identifikasi peluang serta permasalahan dari sisi hulu dalam mendukung hilirisasi pertanian. Ini sangat diperlukan mengingat persaingan global yang semakin sengit.
Untuk itu, Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB bekerja sama dengan Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI) menggelar FGD Jilid Tiga: “Hilirisasi Pertanian dan Reindustrialisasi Perekonomian Indonesia: Hilirisasi Butuh Huluisasi”, Sabtu (22/2). Kegiatan yang merupakan rangkaian acara 80 tahun Prof. Bungaran Saragih pada 17 April 2025 ini menghadirkan akademisi, pelaku usaha, dan asosiasi yang berkecimpung dalam sektor hilir pertanian, khususnya perkebunan.
Ketergantungan Bahan Baku Impor
Indonesia lama dikenal sebagai negara agraris, pemasok beragam komoditas pertanian ke segala penjuru dunia. Ironisnya, sekarang sangat bergantung pada impor bahan baku demi kelancaran industri pertanian yang sudah terbangun selama ini. Seperti yang diungkap Yeni Wati Tanuraharja, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia pada FGD, “Jadi bisa dibilang kalau kita dulu pengekspor biji kakao sekarang terbalik jadi pengimpor biji kakao.”
Pada masa jayanya, Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga di dunia di bawah Pantai Gading dan Ghana. Momen itu terjadi sebelum 2010 saat kakao masih diekspor dalam bentuk biji mentah. Namun, produksi biji kakao terus merosot. “Jadi sejak 2015 sampai sekarang produksi terus menurun. Data aktual dari pelaku usaha dan Internasional Cocoa Organization, produksi kakao Indonesia tidak lebih dari 200 ribu ton di tahun lalu,” jelas pemilik wajah oriental ini. Sedangkan, kebutuhan untuk industri pengolahan kakao kurang lebih 450 ribu ton/tahun. “Biji lokalnya mungkin kurang dari 200 ribu ton, sisanya dari impor,” sambungnya.
Menurut Yeni, penggunaan biji kakao impor berimbas pada harga produk olahannya yang kurang berdaya saing untuk pasar dalam negeri. “Kalau kita jual produk olahan kakao, contohnya bubuk kakao yang mengandung biji impor ke perusahaan dalam negeri, maka akan dikenakan tarif bea masuk atas biji yang diimpor sebesar 5%. Tapi kalau perusahaan itu membeli bubuk kakao dari luar negeri misalnya Malaysia, tidak dikenakan bea masuk karena AFTA. Jadi, kita sudah kalah 5% setidaknya dari harga. Jadi ini yang membedakan, kurang berdaya saing,” urainya.
Kondisi serupa terjadi pada komoditas singkong. Kurangnya pasokan bahan baku dan harga dalam negeri yang tidak bersaing menjadi alasan impor tapioka kerap dilakukan. Helmi Hasanuddin, Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mengatakan, kebutuhan tapioka dalam negeri selama setahun kurang lebih 3 juta ton sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 1,5 juta ton. “Kita nomor dua importir dari Thailand. Kenapa kita selalu impor karena waktu impor ini masuk, Thailand itu memproduksi pada saat musim kemarau dan masuknya pasti pada saat Lampung musim hujan. Jadi, ada perbedaan rendemen. Jadi sudah pasti kalah harga hampir kurang lebih Rp1.500/kg. Ada disparitas harga maka terjadilah impor,” bebernya.
Walaupun begitu, Helmi mengatakan, impor tapioka sah dilakukan. Tapi, perlu diatur sedemikian rupa agar petani tidak kehilangan gairah dalam berpoduksi. “Seperti larangan terbatas impor pada saat petani panen, saya rasa sudah cukup. Bukan tidak boleh impor tapi sambil memberikan napas kepada petani,” jelasnya.
Produktivitas Rendah
Kurangnya pasokan bahan baku tidak lepas dari minimnya produktivitas. Salah satu penyebabnya ialah banyak tanaman yang sudah melewati usia produktif. “Pohon kakao kami mayoritas sudah tua dan produksinya sangat rendah,” terang Yeni.
Sependapat dengan Yeni, Adi Haryono dari Dewan Kopi Indonesia mengeluhkan hal yang sama. Usia pohon yang sudah tua tentu menghambat produktivitas kopi. Rata-rata produktivitas kopi per hektar di Indonesia hanya sepertiga dari Vietnam. “Di Vietnam per hektar bisa mencapai 2 ton, di sini 0,7 ton,” bukanya.
Di samping kualitas tanaman yang baik, pemberian pupuk yang teratur juga sangat memengaruhi produktivitas tanaman. Menurut Helmi, terjadi penurunan produktivitas singkong sebanyak 5%-10% saat dikeluarkannya Permentan No. 10/2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.
Pasalnya, singkong tak lagi termasuk ke dalam peruntukan dan alokasi pupuk bersubsidi. “Karena memang singkong ini terkenal untuk mendapat hasil yang baik itu butuh pupuk yang berimbang. Jadi kalau tidak dipupuk, mustahil mendapat produktivitas bagus,” tandasnya.
Dengan begitu, pendapatan petani kurang maksimal di samping pasokan ke hilir pun tersendat. Sehingga, peningkatan produktivitas bukan hanya kepentingan hulu saja tapi menjadi perhatian seluruh pelaku dari hulu sampai hilir.
Strategi Meningkatkan Produksi
Banyak cara mendongkrak produktivitas tanaman, seperti penggunaan bibit unggul, pupuk yang tepat dan seimbang, peremajaan tanaman, sampai perluasan lahan. Adi berpendapat, peningkatan hulu kopi sebaiknya bukan dengan pengembangan lahan lagi, melainkan pada perbaikan cara pemeliharaan sehingga produktivitas bisa naik dari 0,7 ton/ha jadi 2 ton/ha. “Kemudian, pupuk lebih bagus karena sekarang kalau ada subsidi, baru pupuk. Atau ada uang, baru dipupuk,” terangnya.
Selain itu, Adi mengusulkan agar peningkatan di hulu bisa dilakukan bersama produsen atau sisi hilir. Menurutnya, sebagian besar kebun kopi dikelola petani kecil yang sulit mendapatkan pendanaan sehingga peran produsen diperlukan. Dengan produsen menjadi offtaker (penjamin pasar), sebagai jaminan agar KUR (Kredit Usaha Rakyat) bisa dicairkan petani. Namun, tentu melalui sebuah kontrak perjanjian sebelumnya.
“Bank tidak mau memberikan pinjaman kepada petani karena memang selama ini kalau KUR diberikan, pengembaliannya bermasalah. Bank pemerintah kecendurangan menolak. Persyaratan dari bank waktu itu disampaikan perlu ada offtaker. Kalau memang ada offtaker maka kita bisa membuat suatu perjanjian. Di produksi diberikan support dana selama hasilnya diambil. Jadi, ini memang jaminan yang perlu dilaksanakan,” jelasnya.
Adi menambahkan, jika program itu berjalan lancar dengan produktivitas meningkat dan petani sudah punya uang, baru dilanjutkan peremajaan tanaman. “Katakan produksi sudah mencapai 2 ton, misalnya seperempat dihilangkan dan ditanami yang baru, masih ada 1,5 ton, lebih baik dari pada 0,7 ton semua. Sehingga, dia bisa survive, bisa replanting bertahap. Ini fokus kami. Dengan begitu, pohonnya meningkat, densitinya lebih baik per hektar sehingga produksinya juga lebih meningkat,” paparnya.
Butuh Sinergi
Walau swasta memiliki kemampuan lebih besar dibanding petani, tetap saja ada keterbatasan. Yeni mengungkap, berbagai upaya sudah dilakukan pelaku industri olahan kakao sesuai kemampuannya masing-masing. Kendati demikian, ia berharap adanya sinergi dengan pemerintah agar upaya itu bisa dilakukan masif. “Karena swasta seberapa banyak pun kemitraan yang dilakukan, training dan lainnya tetap memliki keterbatasan kemampuan sehingga perlunya pemerintah supaya lebih masif,” jelasnya.
Di samping itu, swasta siap bekerja sama, baik sebagai offtaker maupun transfer teknologi. “Mungkin pemerintah mempunyai lahan tidak terpakai yang bisa ditanam kakao dan bisa kerja sama dengan swasta sehingga swasta bisa sebagai offtaker-nya hingga transfer teknologi, karena swasta juga memliki riset kakao di beberapa sentra produksi. Sinergi ini yang perlu dilakukan dalam rangka peningkatan prosuksi,” tambahnya.
Lain halnya dengan singkong, Helmi menuturkan, kebanyakan petani adalah penggarap yang belum tentu memiliki lahan. Sehingga, permasalahan yang mencuat ialah harga sewa lahan yang terlalu memberatkan dan berujung kenaikan biaya produksi. “Karena yang punya lahan belum tentu menjadi petani, jadi menyewakan lahannya. Pada saat harga singkong baik, dia akan menyewakan lahan mahal sekali, bisa sampai Rp6 juta-Rp7 juta. Ketika harga singkong Rp2.000, harga sewa ikut naik,” keluhnya.
Helmi mengatakan, alangkah baiknya jika ada regulasi pemerintah mengatur sewa lahan pertanian. “Jadi, harusnya ada UU sewa lahan yang tidak terlalu tinggi, misalnya hanya membayar pajak dan kontribusi. Kalau memang pemilik lahannya tidak mau, mereka harus tanam. Jadi jangan disewakan, mengeluarkan modal. Karena mereka lebih bankable untuk mengelola lahan,” sarannya.
Adi tidak mau ketinggalan. “Kalau secara keseluruhan yang kita lihat campaign antara peningkatan produktivitas ataupun replanting perlu suatu kesinambungan dari pemerintah. Sehingga, sektor hulunya bisa meningkat dan sektor hilirnya bisa bertumbuh seiring dengan peningkatan kapasitas,” terangnya.
Anton mengingatkan, sinergi dengan pemerintah baik dalam bentuk bantuan maupun kerja sama hendaknya tidak digeneralisasi. Harus diperhatikan terlebih dahulu detail permasalahan apa pada tiap komoditas dan daerah. “Karena kesalahan pemerintah tidak tanya ke UKM. Itu you problem apa sih sebenarnya. Lantas kita ini (regulasi) berlaku nasional. Huluisasi ini sangat penting karena kalau kita tidak konsisten atau kontinuitas tidak terjamin, belum bicara kualitas bagaimana kita bikin hilirisasi,” imbuhnya.
Peluang Ada
Di tengah berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi, ternyata masih ada celah dan peluang yang bisa diambil. Contohnya, ungkap Yeni, harga biji kakao dunia yang melonjak tajam sejak tahun lalu. Momen harga tinggi ini diambil sebagai penyulut meningkatkan produksi biji kakao dalam negeri. Apalagi, industri pengolahan kakao Indonesia menduduki posisi empat dunia. “Diperkirakan harga tahun berikutnya akan tetap tinggi sehingga kami rasa momen harga tinggi ini bisa kita ambil untuk lebih meningkatkan produksi kakao dalam negeri,” ujarnya.
Singkong ikut mendapat angin segar. Seperti penurutan Helmi, dengan dikeluarkanya Permentan No. 4 Tahun 2025, singkong masuk dalam kategori tanaman pangan. “Praktis untuk di hulunya, petani singkong sudah tidak lagi menjadi anak tiri karena sudah menjadi tanaman pangan dan akan mendapatkan pupuk subsidi,” imbuhnya.
Supaya huluisasi dan hilirisasi ini berjalan lancar, Anton berpendapat, ada baiknya dimulai dari dasar, selangkah demi selangkah. Jadi yang lebih diperhatikan adalah sektor hulunya terlebih dahulu sebelum mencapai hilir. “Sekarang kalau mau memperkuat, perkuat di hulu. Bagaimana mengembangkan hilir kalau produksinya malah menurun,” tegasnya.
Pada ujungnya agar industri pertanian bisa terus berkembang, hilirisasi menjadi tujuan akhir. Bungaran Saragih, tokoh agribisnis Indonesia memiliki pandangan, hilirisasi harus dilihat sebagai bisnis modern dengan paradigma sustainability (keberlanjutan) yang bukan hanya memikirkan untung semata. “Sustainability di mana prosperity (kesejahteraan) penting, people juga penting, baik dalam dan luar perusahaan, kemudian lingkungan juga menjadi sangat penting,” jelasnya.
Bungaran menilai, hilirisasi jangan hanya terobsesi impor, malahan mengisi kebutuhan dalam negeri jauh lebih penting. “Kalau tidak, nanti hasil industri dari negara lain yang mengisi pasar kita yang sangat besar ini,” pungkasnya.
Arfi Zulfa