Komunitas bisa menjadi penentu harga dan arah pasar.
Di tengah tren urbanisasi dan gemerlap dunia teknologi, pria muda bernama Vizzca Indra Pratama memilih jalan yang tak biasa. Pada usia 31 tahun, pria asal Desa Muneng, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur ini memutuskan meninggalkan karier mapan dan kembali ke desa. Pilihannya bertani melon dan membangun komunitas pertanian Sobotani.
Mencari Arah Baru
Berawal dari rasa jenuh bekerja di kota dan keinginan untuk hidup lebih dekat dengan alam, Indra, sapaan akrabnya memutuskan kembali ke kampung halaman di Ponorogo. Modalnya hanya pengetahuan dari internet dan tekad kuat untuk belajar. “Saya sudah lama di dunia IT (informasi & teknologi). Dari SMK saya ambil jurusan RPL (Rekayasa Perangkat Lunak), lanjut kuliah Teknik Informatika di ITS. Lulus, saya kerja di bidang itu juga. Tapi ya itu, ada masa di mana saya merasa kehilangan arah,” ujarnya kepada AGRINA.
Sejak kuliah ia sudah berambisi membangun startup. “Timnya gonta-ganti, sempat gagal beberapa kali, sampai akhirnya dapat partner yang cocok. Dari 2 orang sampai 40 orang. Tapi ya itu, pas di titik puncak saya merasa hampa,” kenangnya.
Perasaan tertekan setiap Minggu malam menjadi alarm baginya. Ia berdiskusi dengan sang istri untuk mengambil langkah besar: berhenti kerja dan kembali ke desa bertani melon. “Saya belajar dari YouTube, dicatat, dijalankan. Terus, ikut pelatihan untuk validasi. Nggak ada mentor, nggak ada yang ngajari langsung,” ucapnya.
Setelah ke kampung halaman, Indra tak langsung bertani. Ia mencoba berbagai opsi usaha dari tahun 2002. Mulai dari ayam petelur, kambing Boer, baru kemudian tahun 2023 beralih ke melon. Pilihan pertama gagal karena kendala bau dan lingkungan. Pilihan kedua gagal karena kurangnya pengetahuan manajemen peternakan dan masalah kematian kambing. Akhirnya, ia menetapkan hati ke melon.
“Saya suka konsep integrated farming (pertanian terintegrasi). Daun hasil pruning dari melon bisa jadi pakan kambing. Tapi ya itu, implementasinya tidak semudah teorinya. Kambingnya nggak mau makan, malah ada yang keracunan. Akhirnya fokus saya ke melon,” jelasnya.
Hasil panen pertama sukses. Bahkan, dalam sehari akun TikTok-nya @sobotani mencatat pertambahan seribu pengikut. Ini menjadi titik balik yang menyemangati langkah berikutnya.
Dari Kebun Riset hingga Komunitas Petani
Mulanya, Sobotani berfokus pada penjualan melon hasil panen pribadi. Seiring waktu, minat masyarakat yang datang ke kebun tidak hanya untuk membeli melon, tetapi ingin tahu cara bertaninya justru membuka peluang baru. Dari sinilah komunitas kecil ini tumbuh menjadi ekosistem pertanian yang lebih luas.
“Awalnya orang datang ke kebun cuma beli melon. Lama-lama tanya ini tanamnya pakai apa. Terus ada yang minta dibangunkan greenhouse. Dari situ berkembang,” ceritanya.
Kini Sobotani memiliki 3 lini usaha utama. Pertama, produksi dan penjualan buah melon dengan sistem hidroponik. Kedua, jasa pembangunan greenhouse dan instalasi sistem vertigasi. Ketiga, pengembangan pasar mandiri sebagai upaya terlepas dari ketergantungan tengkulak.
Tak berhenti di situ, Sobotani juga menyediakan perlengkapan hidroponik, media tanam, serta layanan edukasi teknis untuk petani pemula. Semua dilakukan untuk membangun jaringan pertanian yang mandiri, berkelanjutan, dan saling menguatkan.
Komunitas Sobotani telah menjangkau Ponorogo, Madiun, Menganti, hingga Trenggalek. Tujuannya bukan hanya berbagi ilmu tapi membangun ekosistem petani yang kuat dan independen. Indra tidak ingin petani hanya menjadi pemasok untuk tengkulak. “Saya nggak mau sistem tengkulak. Harga ditekan, petani rugi. Kalau kita kuat secara komunitas, kita bisa buat pasokan rutin. Misalnya, minggu ini panen dari A, minggu depan dari B. Jadi mitra besar seperti Sunpride bisa dilirik,” jelasnya.
Sarat Risiko
Menurut Indra, bertani melon tak bisa dilakukan sembarangan. Meski harga pasar modern bisa mencapai Rp60 ribu-Rp70 ribu/kg, tantangan teknisnya sangat besar. “Melon itu high risk, high value. Kalau padi mungkin low risk, low value. Tapi melon, gagal sedikit bisa rugi besar,” ujarnya.
Salah satu tantangan terbesarnya iklim. Meski di dalam greenhouse, faktor kelembapan, jamur, dan musim masih sangat memengaruhi hasil panen. “Musim hujan, jamur mudah menyerang. Musim kemarau, panen raya bikin harga anjlok. Belum lagi kalau greenhouse dibangun di lokasi yang tidak cocok, bisa gagal total,” jelasnya.
Ada sejumlah faktor lingkungan yang wajib diperhatikan sebelum memulai usaha. “Kalau melon, itu pasti harus lihat dulu kondisi lingkungan yang mau dijadikan usaha,” ujar bapak beranak satu ini. Ia menjelaskan, setidaknya ada 2 faktor utama yang menjadi penentu awal: kualitas air baku dan karakteristik lingkungan sekitar. Air yang digunakan dalam sistem hidroponik harus benar-benar bersih, bahkan memiliki nilai ppm (part per million) sangat rendah, mendekati nol.
Faktor kedua, lingkungan tempat greenhouse dibangun. Bukan hanya soal ruang terbuka atau berada di permukiman namun juga vegetasi di sekitarnya. “Kalau terbuka itu harus dilihat lagi, sampingnya itu ditanam apa. Tanaman sekitar itu bisa enggak jadi inangnya hamanya melon,” jelasnya.
Pengalaman Indra membangun Sobotani membuatnya sadar bahwa tiap lokasi punya karakter berbeda. Ini pula yang memperkaya pemahamannya terhadap proses pematangan buah yang bisa sangat bervariasi. “Proses pematangan buah melon itu bisa beda antara satu tempat dengan tempat lain. Itu menarik dan sedang saya formulasikan. Karena ternyata enggak bisa copy-paste,” tambahnya.
Menurut perhitungan kasar Indra, biaya membangun greenhouse dari bambu berkisar Rp60 ribu – Rp100 ribu/m2, tergantung desain, kualitas material, belum termasuk blower dan sistem lainnya. Sedangkan, yang berbahan galvanis mencapai Rp350 ribu – Rp450 ribu/m2.
Dalam hitungannya, biaya produksi melon hidroponik masih cukup kompetitif, berkisar Rp10 ribu – Rp12 ribu/kg meski sistem kerja yang ideal belum sepenuhnya tercapai. Ia menerapkan sistem kerja paruh waktu melibatkan tetangga sekitar.
Omzet Puluhan Juta Sekali Panen
Tampak dari luar, Greenhouse di lahan 600 m2 milik Indra mungkin terlihat biasa. Tapi siapa sangka, lahan mungil ini bisa menghasilkan omzet puluhan juta rupiah dalam satu kali panen. Berbagai jenis melon premium yang ditanam, mulai dari Golden Emerald, Inthanon, Dalmatian, hingga Kirin, Lavender, Sweet Hami, dan Sweet Net 9 asal Thailand.
“Satu lengkung greenhouse-nya itu bisa menghasilkan sekitar Rp15 juta. Total ada tiga lengkung, jadi bisa Rp45 juta sampai Rp60 juta sekali panen,” tutur Indra.
Dalam kalkulasi kasarnya, satu lengkung greenhouse bisa menyumbang omzet hingga Rp20 juta/musim. Ini menjadikan usaha melon hidroponik sebagai peluang yang menjanjikan, terutama bagi pemula. Salah satu kunci keberhasilannya manajemen tanam bergilir. “Lengkung pertama dulu panen, lalu baru yang tengah, terus paling kiri. Jadi tidak panen serempak. Supaya cash flow tetap jalan,” tukasnya.
Untuk menjaga arus kas, Sobotani kini mengandalkan sistem open farm — pengunjung bisa datang langsung dan memetik buah lalu membayar di tempat. Jika panen melimpah dan open farm tak cukup menampung, ia membuka penjualan ke reseller di Jabodetabek. “Harga di sana bagus. Kalau di sini Rp25 ribu/kg, di sana bisa dapat bersih Rp23 ribu/kg. Tapi kalau dijual ke tengkulak, cuma Rp17 ribu/kg,” jelasnya.
Ia juga menyiapkan Plan B jika gagal panen. “Kita bisa jual dalam bentuk salad, jus, atau potongan buah. Pokoknya jangan sampai rugi total,” tambahnya.
Dari pengalamannya di startup, Indra paham bahwa tidak ada yang instan. “Saya ingin komunitas petani kita kuat, bukan cuma sebagai penghasil tapi juga penentu harga dan arah pasar,” tutupnya.
Indah Retno Palupi







