Pengembangkan sistem market intelligence bertujuan mempermudah para pelaku usaha perikanan untuk mengakses pasar luar negeri.
Kabar menggembirakan bagi perekonomian Indonesia hadir dari subsektor perikanan saat menyambut awal tahun 2025. Pasalnya, tidak hanya produksi perikanan budidaya andalan ekspor yang meningkat, ekspor perikanan juga naik di tengah pelemahan ekonomi global. Apa rahasianya?
Ekspor dan Produksi
Menurut Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Budi Sulistiyo, kinerja ekspor hasil perikanan Indonesia periode Januari – Oktober 2024 membuahkan nilai positif, volumenya mencapai 1,15 juta ton yang senilai US$4,81 miliar. Nilai ekspor hasil perikanan ini naik sebesar 4,37% year on year (yoy), tepatnya US$4,61 miliar dengan volume 0,99 juta ton.
“Ini mengalami peningkatan pada periode yang sama tahun lalu dan kami berharap di akhir tahun atau sampai bulan Desember itu bisa mencapai lebih dari angka 5,” ujarnya pada konferensi pers Capaian Kinerja KKP Akhir Tahun 2024 di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Dari sisi tujuan ekspor, Budi merinci, ada lima negara utama, yaitu Amerika Serikat (AS) senilai US$1,56 miliar, lalu diikuti China US$0,99 miliar, ASEAN US$0,65 miliar, Jepang US$0,49 miliar, dan Uni Eropa (UE) US$0,35 miliar. Sedangkan dari sisi komoditas, ulasnya “Masih didominasi oleh udang (US$1,36 miliar), kemudian disusul tuna-tongkol-cakalang (US$0,86 miliar), selanjutnya cumi-sotong-gurita (US$0,68 miliar), dan kepiting-rajungan (US$0,43 miliar), serta rumput laut (US$0,29 miliar).”
Pun halnya dengan produksi perikanan budidaya, khususnya lima komoditas unggulan ekspor, semakin menguat 13,64% dari tahun 2023. Dirjen Perikanan Budidaya, KKP, TB Haeru Rahayu menguraikan, pada 2024 produksi ikan budidaya mencapai 6,37 juta ton atau naik 13,64% dari tahun 2023, dan produksi rumput laut mencapai 10,80 juta ton, yang juga naik 10,82%. ”Jadi kalau digabung, total kurang lebih sekitar 16 juta ton produksi perikanan budidaya,” ujar Tebe, sapaan akrabnya di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Lima komoditas perikanan budidaya unggulan ekspor, yaitu udang, nila, lobster, kepiting, dan rumput laut. Produksi udang pada 2024 sebesar 1,13 juta ton, naik dari tahun 2023 yang sebesar 941 ribu ton. Lalu, produksi nila naik menjadi 1,38 juta ton dari sebelumnya 1,36 juta ton. Meski sedikit, produksi lobster juga meningkat dari 437 ton menjadi 481 ton. Tidak ketinggalan, produksi kepiting naik menjadi 6.446 ton dari sebelumnya 5.860 ton di tahun 2023.
Penguatan Pasar
Peningkatan ekpor hasil perikanan bisa dicapai berkat strategi penguatan pasar. Di antaranya, penguatan akses pasar luar negeri melalui pameran atau ekspo berskala internasional, inovasi pengembangan sistem market intelligence (intelijen pasar), dan penguatan jaminan mutu produk kelautan dan perikanan.
Sepanjang 2024, Budi menerangkan, pihaknya melibatkan para pelaku usaha perikanan mengikuti 5 pameran di dalam dan luar negeri meliputi Jakarta dan Banten-Indonesia, Boston-AS, serta Barcelona-Spanyol. Dari pameran tersebut, tercapai realisasi kontrak dagang sebesar US$50,03 juta. ”Jadi selama ekspo ini, para pelaku usaha yang mengikuti ekspo tersebut melakukan komunikasi dagang dengan mitra-mitranya. Ini tentu membawa angin segar bagi penguatan akses pasar luar negeri produk perikanan kita,” ulasnya.
Pengembangkan sistem market intelligence bertujuan mempermudah pelaku usaha mengakses pasar luar negeri. Sistem market intelligence tersebut berisi data, informasi, dan analisis yang menggambarkan posisi Indonesia dengan negara-negara lain, baik sebagai tujuan pasar maupun kompetitor produk perikanan di pasar global. Saat ini analisis pasar diprioritaskan untuk enam komoditas utama, yakni udang, tuna, rumput laut, lobster, kepiting, dan tilapia atau nila. “Ini bagian inovasi untuk melihat peluang pasar ekspor khususnya komoditas prioritas,” katanya.
Budi menjabarkan hasil analisis sistem market intelligence pada komoditas tuna-tongkol-cakalang (TTC) dan nila. Pada tahun 2023 ada 3 pasar ekspor utama TTC. Pertama, AS dengan posisi Indonesia di urutan ketiga dan pangsa pasar 12,24%. Kedua, pasar UE dengan pangsa pasar 2,33% dan Indonesia berada di posisi 13. Terakhir, Indonesia menempati posisi keempat di pasar Jepang dengan pangsa pasar 8,77%.
Sementara, proyeksi permintaan TTC di AS tahun ini mencapai 382 ribu ton dalam bentuk produk unggulan utuh beku. ”Jadi, ada kenaikan permintaan sekitar 19% dari bentuk tersebut,” kata Budi. Kemudian, permintaan TTC di UE akan menjadi 889 ribu ton atau naik 9,9% dalam bentuk kaleng, dan Jepang sebesar 249 ribu ton atau naik 4% dalam bentuk fillet, olahan, beku/segar/dingin.
Untuk nila, tiga pasar utama ekspor Indonesia adalah AS, UE, dan Kanada. Nilai impor tilapia di AS pada 2023 sebesar US$686,87 juta dengan pangsa pasar Indonesia 8,32% di posisi 3. Pasar UE impornya senilai US$106,83 juta dan pangsa pasar Indonesia 6,34% di posisi 4. Untuk Kanada, nilai impornya US$106,83 juta dengan pangsa pasar Indonesia 9,04% di posisi 3.
Pada 2025, prediksi permintaan nila di pasar AS, UE, dan Kanada berturut-turut sebesar 185 ribu ton (naik 14,1%), 29 ribu ton (naik 7,6%), dan 13 ribu ton (26,4%). Produk unggulan tilapia yang diminati ketiga pasar utama itu dalam bentuk fillet.
Jaminan Mutu: Sertifikasi dan Registrasi
Dari sisi penguatan jaminan mutu produk kelautan dan perikanan, Ishartini, Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP), KKP menerangkan, pihaknya melaksanakan penerbitan belasan ribu sertifikat berstandar internasional bagi para pelaku usaha di sektor hulu dan hilir. Sertifikat di sektor produksi primer atau hulu meliputi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB), Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik (CPOIB), Cara Distribusi Obat Ikan yang Baik (CDOIB).
Sertifikasi di sektor hilir atau pascapanen terdiri atas Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP), dan layanan Sertifikat Pengelolaan Distribusi Ikan (SPDI). ”Sertifikasi Penerapan HACCP sebagai bagian dari pemenuhan standar atau persyaratan negara tujuan. Sampai Desember 2024 telah diterbitkan sertifikat HACCP terhadap 1.201 Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan 4.380 produk,” terang Ishartini.
Kemudian, BPPMHKP memfasilitasi penerbitan 2.324 nomor registrasi unit usaha perikanan ke negara mitra tujuan ekspor sejak Januari hingga 16 Agustus 2024. Negara mitra itu meliputi UE dan Norwegia, Korea Selatan, Arab Saudi, China, Vietnam, Eropa Timur, dan Kanada. Ada pula penerbitan 1.499 nomor registrasi untuk UPI yang terdaftar di negara nonmitra melalui otoritas kompeten. Negara nonmitra ini meliputi Taiwan, Kamboja, Thailand, Panama, Malaysia, Singapura, dan India.
“Nomor registrasi ini diperlukan pelaku usaha yang ingin menyasar pasar ekspor. Berdasarkan data kami, pada semester kedua 2024 produk perikanan telah diterima di 140 dari 190 negara anggota PBB. Ini yang harus terus kita perluas. Tidak hanya pasar-pasar yang tradisional tapi kita perluas ke seluruh negara di dunia,” paparnya di kesempatan yang sama, Senin (16/12/2024).
Strategi Produksi
Strategi dari sisi produksi, Tebe menuturkan, ada program modeling lima komoditas unggulan ekspor, budidaya tuna, dan Program Kampung Perikanan Budidaya (KPB). Pada Modeling Budidaya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah seluas 75 ha, mampu menghasilkan nilai produksi mencapai Rp18,4 miliar per November 2024 dari volume 379 ton serta menciptakan lapangan kerja untuk 3.161 orang. Lalu, Modeling Budidaya Ikan Nila Salin (BINS) di Karawang, Jawa Barat seluas 84 ha. Produksinya sebanyak 319,12 kg dengan nilai mencapai Rp6,76 miliar dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk 785 orang.
Di Wakatobi, Sulawesi Tenggara ada modeling budidaya rumput laut seluas 50 ha. Nilai produksinya mencapai Rp1,09 miliar dengan volume 64,67 ton rumput laut kering dan 31,55 ton bibit basah serta melibatkan tenaga kerja langsung sebanyak 72 orang. Sementara, modeling budidaya rumput laut di Rote Ndao, NTT dan Maluku Utara masih dalam proses pembangunan.
“Konsep ini kami kembangkan karena pendekatannya end to end. Mulai dari hulu, pembibitannya itu sudah menggunakan tissue culture (kultur jaringan) sehingga kita memiliki bibit yang bagus, tidak mudah kena penyakit. Kami mendapat dukungan untuk melakukan hilirisasi dalam bentuk pengolahan. Harapannya, nanti tidak lagi menjual bahan mentah tapi minimal setengah jadi atau dijual dalam skema lain, contoh untuk pupuk, biofarmakologi, dan seterusnya,” tukas Tebe.
Kemudian, modeling budidaya lobster di Batam, Kepulauan Riau seluas 0,5 ha yang baru diresmikan. Targetnya, meningkatkan produktivitas lobster dari 1,1 ton/ha/tahun menjadi 2,3 ton/ha/tahun dan menciptakan lapangan kerja untuk 25-50 orang. Terakhir, modeling budidaya kepiting di Pasuruan, Jawa Timur seluas 30 ha yang baru selesai dibangun. Kegiatan beranggaran Rp10,48 miliar ini targetnya mengangkat produktivitas kepiting menjadi 14 ton/ha/tahun dari 0,5 ton/ha/tahun dan meningkatkan ekspor kepiting Indonesia.
Untuk pengembangan budidaya tuna, ungkap Tebe, rencananya berada di Perairan Biak, Papua. ”Saat ini sedang proses pemasangan 8 KJA budidaya tuna rencananya, 3 sudah berjalan, menggunakan teknologi terbaru yang tahan terhadap arus laut dan angin di kawasan Biak,” katanya. Kegiatan ini diharapkan meningkatkan produksi tuna Indonesia yang saat ini mencapai 18% dari 8,27 juta ton produksi tuna global.
Pada Program KPB, ada 210 KPB lima komoditas strategis dan komoditas unggulan lainnya seperti lele, bandeng, bawal bintang, patin, mas, gurami, kerapu, ikan hias, kakap, teripang/mutiara, dan ikan lokal.
KPB akan dikembangkan sebagai KPB modern sehingga menjadi kawasan budidaya komoditas unggulan yang mandiri, menerapkan teknologi tepat guna, dan mengintegrasikan bisnis hulu-hilir dengan manajemen profesional.
Lokasi KPB modern di OKU Timur-Sumatera Selatan dengan komoditas patin, Pati-Jawa Tengah berupa nila, Boyolali-Jawa Tengah dengan lele, Pangkep-Sulawesi Selatan dengan bandeng, dan Nunukan-Kalimantan Utara dengan rumput laut. Bedanya KPB modern dengan tidak, ”Yang pertama adalah inisiatif dari kelompok atau masyarakatnya. Kedua, ada inovasi-inovasi umpama dengan digitalisasi dan seterusnya,” pungkas Tebe.
Windi Listianingsih