Revitalisasi tambak akan menghasilkan nila salin berstandar premium sebanyak 1,18 juta ton/tahun dengan nilai Rp30,65 triliun, mendukung swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Untuk mendorong produk tilapia Indonesia menembus pasar global, pemerintah mencanangkan program revitalisasi tambak Pantura Jawa Barat sebagai menjadi motor penggerak budidaya tilapia yang berkelanjutan. Bagaimana tanggapan para stakeholder menyambut program spektakuler tersebut?
Menaikkan Level
Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TB Haeru Rahayu menjelaskan, pemerintah menginginkan ikan nila atau tilapia Indonesia hadir di pasar global dengan kualitas tinggi dan bukan sekadar memenuhi aspek kuantitas. “Oleh karena itu, aspek keberlanjutan, keamanan pangan, hingga branding akan terus kita dorong bersama seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya dalam acara Outlook Tilapia Indonesia 2025: “Budidaya Ramah Lingkungan & Hilirisasi Tilapia Perluas Pasar Global” di Jakarta, Kamis (28/8).
Menurut pria yang disapa Tebe itu, produksi nila pada 2024 mencapai 1,5 juta ton dengan nilai berkisar Rp4,2 triliun. “Tilapia ini kita coba ingin naikkan kelasnya. Yang tadinya levelnya itu pasar tradisional, kita ingin naikkan minimal kayak Alfamart, Indomart, setelah itu naik sedikitlah, naik ke (level) mal,” sambungnya. Sementara itu, sentra produksi tilapia masih terpusat di Jawa, khususnya Jawa Barat sebesar 300 ribu ton dan Sumatera, terutama Sumatera Utara sebanyak 170 ribuan ton.
Di lain pihak, ada sekitar 78.550 ha tambak idle tersebar di Pantai Utara (Pantura) Jawa. Tambak ini berumur lebih dari 30 tahun, masih dikelola secara tradisional tanpa tandon dan IPAL (instalasi pengolahan air limbah), dan produktivitasnya cukup rendah, rerata 0,6 ton/ha/tahun. KKP menargetkan pengelolaan 20 ribu ha tambak modern di 4 kabupaten meliputi Bekasi, Karawang, Indramayu, dan Subang dengan konsep integrasi dan berkelanjutan yang mencakup pembangunan tandon, IPAL, rekonstruksi kolam, penggunaan benih unggul, pakan berkualitas, serta pemanfaatan teknologi terkini.
Tilapia dipilih sebagai komoditas yang dikembangkan karena memiliki beberapa keunggulan. Yakni, dapat dibudidayakan di air payau dengan salinitas hingga 20 ppt, pertumbuhannya cepat dan tahan penyakit, proses budidayanya relatif sudah bisa dikuasai, bisa dilakukan monosex culture atau bisa dijantankan semua, serta pasar domestik dan ekspor sangat terbuka.
Doktor lulusan Universitas Indonesia ini melanjutkan, rencana revitalisasi 78.550 ha tambak Pantura berjalan dalam tiga fase. Fase 1 seluas 20 ribu ha di tahun 2026 dengan target produksi 1,56 juta ton nila salin. Fase 2 luasannya 30 ribu ha pada 2027 dan targetnya 2,34 juta ton. Fase 3 sebanyak 28.550 ha pada 2028, targetnya menghasilkan 2,22 juta ton.
Revitalisasi Tambak
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Ikan Air Laut, Ditjen Perikanan Budidaya, Ikhsan Kamil menerangkan, program revitalisasi akan berfokus pada budidaya terintegrasi meliputi hulu, on farm, dan hilir dalam satu ekosistem terintegrasi, berkolaborasi dengan sektor swasta, pemerintah daerah, masyarakat pengarap, dan industri pendukung.
Revitalisasi tambak nila di Pantura Jawa Barat dilaksanakan pada areal dengan skema pengelolaan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 274 Tahun 2025. Areanya tersebar di Kabupaten Bekasi seluas 8.188,49 ha yang mencakup 4 kecamatan, yaitu Muara Gembong, Tarumajaya, Babelan, dan Cabangbungin; Kabupaten Karawang di 5 kecamatan yaitu Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Cibuaya, dan Cilamaya Wetan seluas 6.979,51 ha.
Kabupaten Subang di 4 kecamatan: Blanakan, Sukasari, Legonkulon, dan Pusakan Agara seluas 2.369,76 ha. Kabupaten Indramayu seluas 2.875,48 ha melingkupi 5 kecamatan, yaitu Kandang Hawur, Losarang, Cantigi, Sindang, dan Pasekan. “Harapannya produktivitasnya meningkat, dari awalnya 0,6 ton/ha kita bisa meningkatkan menjadi 140 ton/ha/tahun,” ucapnya.
Setiap kabupaten dikembangkan melalui sistem klaster budidaya modern dan mandiri yang dilengkapi industri hulu dan hilir, seperti hatchery (pembenihan) untuk penyediaan benih unggul, pabrik pakan, pabrik pengolahan, fasilitas rantai dingin, dan industri lainnya. Target luasan klaster sekitar seribu hektar.
Program revitalisasi tambak juga menerapkan manajemen berbasis teknologi terkini, seperti autofeeder, pemecah gelombang, hingga root blower. Tahapan budidaya dimulai dari pendederan awal berukuran 0,2–5 g/ekor, pendederan akhir 5–100 g/ekor, hingga pembesaran 100–1.000 g/ekor. “Kita bisa menebar lebih kurang dengan kepadatan 10-15 ekor/m2. Target produksi sekitar 140 ton/ha/tahun dengan lama pemeliharaan sekitar 5-6 bulan. Jadi, ada dua siklus setahun untuk pemeliharaan,” lanjut Emil, sapaannya.
Revitalisasi tambak nila salin berorientasi pada produksi tilapia premium standar ekspor dengan ukuran panen 1 kg/ekor untuk memenuhi kebutuhan pasar global. Dampak revitalisasi tambak akan meningkatkan produktivitas menjadi 144 ton/ha/tahun dengan volume produksi mencapai 1,18 juta ton/tahun dan nilai produksi sebesar Rp30,65 triliun, mendukung kebijakan swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional, juga berkontribusi menciptakan pertumbuhan ekonomi secara langsung. Kegiatan ini akan menyerap 119.100 tenaga kerja dari hulu ke hilir, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Di samping itu, revitalisasi tambak juga menjadi sarana edukasi masyarakat untuk mengelola tambak dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Program ini pun diharapkan memberikan dampak signifikan terhadap produksi dan ekspor perikanan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan masya pesisir, dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kewenangan Pemerintah Daerah
Mewakili pemerintah daerah, Rinny Cempaka, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat menegaskan dukungannya terhadap program revitalisasi tambak Pantura Jawa Barat. Salah satunya melalui perjanjian kerja sama dengan empat kabupaten/kota yang terlibat di proyek strategis nasional (PSN) tersebut.
Menurut Rinny, revitalisasi tambak akan menyerap banyak tenaga kerja pembudidaya ikan yang saat ini jumlahnya mencapai 500 ribuan orang sehingga menjadi 100 ribu pembudidaya. Belum lagi tenaga kerja di sektor onfarm dan hilir. Kemudian, produksi nila di Jawa Barat akan bertambah. Sehingga, seluruh aktivitas hulu-hilir industri tilapia itu akan meningkatkan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) provinsi.
Di lain pihak, ia mengungkap, pemenuhan produksi ikan di Jawa Barat masih kurang. “Kalau kita lihat selisihnya antara produksi dengan konsumsi ikannya sendiri kurang lebih di 825 ribu ton ini masih kekurangan untuk di internal (Jawa Barat) per tahunnya,” bukanya.
Kemudian, ia juga mencatat perlunya mengevaluasi keseimbangan kewenangan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait adanya Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Karena hal ini berdampak pada pengelolaan balai pemuliaan dan pembenihan ikan di tingkat daerah yang berperan menghasilkan benih unggul.
“Kami juga harapkan supaya jelas antara kewenangan tadi, apa yang dilakukan oleh pusat, kemudian provinsi di bagian mananya, dan kabupaten/kota mendukung dari sisi yang mana. Tentunya dengan kejelasan seperti di pertanian, siapa yang menyediakan menyediakan benih unggulnya, siapa yang melakukan pembesaran, dan lain-lain,” terangnya.
Pasar Lokal
Dari sisi pasar, Helwijaya Marpaung, Ketua Tim Kerja Analisis Pasar Luar Negeri, Direktorat Pemasaran, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), KKP menerangkan, konsumsi ikan terbanyak di Indonesia itu berasal dari tilapia. Konsumen Nusantara menghendaki tilapia berukuran 300 – 500 g/ekor. “Jadi, tilapia itu serapannya sampai 721 ribu ton pada tahun 2024, itu untuk konsumsi ikan masyarakatnya. Dan dari segi serapannya, serapan tertinggi memang benar di Jawa Barat, kedua Jawa Timur, lalu nomor tiga Sumatera Utara, lalu ada Jawa Tengah,” urainya.
Sebab itulah, pria yang disapa Helwi ini menilai, program revitalisasi tambak di Pantura Jawa akan sangat layak karena menyesuaikan preferensi konsumen. Kemudian, Direktorat Pemasaran juga mengupayakan tilapia dimasukkan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Harapannya, produksi tilapia dari revitalisasi tambak bisa mendukung Program MBG.
Berdasarkan analisis data Badan Mutu KKP, tilapia dari Pulau Jawa banyak yang dikirim ke wilayah timur Indonesia. Ada yang dikirim ke Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Papua Tengah. Pengiriman tilapia itu dalam rangka pemenuhan konsumsi pekerja-pekerja yang ada di wilayah timur.
“Jadi ada pekerja petambang segala macam di sana, masyarakatnya banyak. Jadi membutuhkan konsumsi ikan dan itu mayoritas itu dikirim dari Pulau Jawa: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan juga Jawa Timur. Jadi ini juga bisa menjadi salah satu peluang dalam rangka penyerapan nanti ikan tilapia dari program revitalisasi,” paparnya.
Pasar Global
Tekait pasar ekspor tilapia, ulas Helwi, dari tahun 2019 hingga 2024 terus meningkat. Rinciannya, nilai ekspor tahun 2019 sekitar US$66,96 juta dan mencapai US$93,51 juta di tahun 2024. Kenikan nilai ekspornya sebesar 7,8% per tahun. Posisi Indonesia menempati urutan ketiga eksportir terbesar di dunia di bawah China dan Kolombia. Pangsa tilapia China sebesar 40,9%, Kolombia 10,7%, dan Indonesia 10,4%.
Mayoritas ekspor tilapia menuju pasar Amerika Serikat (AS) sekitar 64,8%, lalu Kanada 11,8%, Uni Eropa 7,8%, Inggris 3,7%, dan ASEAN 3,0%. “Yang menjadi tantangan adalah berdasarkan data kami memang ekspor tilapia ini mayoritas 99,5% itu diekspor dari provinsi Sumatera Utara. Nah, ini indikasinya berarti masih mayoritas dari Danau Toba,” buka Helwi.
Secara keseluruhan, AS merupakan konsumen terbesar tilapia dengan pangsa pasar sebanyak 46,8%. Tahun 2024 nilai perdagangan tilapia dunia mencapai US$1,71 miliar sedangkan AS sudah sebesar US$800 juta. “Jadi, sudah 45% (serapannya) diikuti oleh Meksiko 14,7%,” tambahnya.
Eksportir tilapia terbesar ke AS adalah China yang menguasai 51,7% persen pasar. Dengan pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden Donald Trump, Indonesia berpeluang merebut pangsa pasar China yang dikenakan tarif 34% dan diancam menjadi 200%. sedangkan, Indonesia hanya dikenakan tarif resiprokal sebesar 19%.
“Tapi memang ada juga yang menjadi ancaman kita, salah satunya adalah Brasil. Brasil ini peningkatannya di Amerika Serikat lumayan besar, sampai 123,6% ekspor di tahun 2024 dibandingkan tahun 2023. Dan mereka juga dikenakan tarif resiprokalnya hanya 10%. Jadi ini juga mungkin menjadi salah satu kompetitor utama untuk kita merebut pasar Tiongkok nantinya,” tukas Helwi.
Berikutnya, Uni Eropa bisa menjadi peluang pasar ekspor tilapia. Saat ini perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership (EU-CEPA) sudah dalam tahap finalisasi. Perjanjian dagang itu membuat tarif ekspor tilapia Indonesia menjadi 0% dari sebelumnya 8%-9% untuk tarif Most Favored Nation (MFN) dan 4,5% – 5,5% untuk tarif General Scheme of Preferences (GSP).
“Untuk fillet beku Indonesia itu kita supplier nomor 2 ke Uni Eropa. Kita share-nya hanya 12,6%, sedangkan China itu 82,1%. Kalau nanti ada finalisasi untuk tarif tilapia setelah adanya penyelesaian perundingan Indonesia-EU-CEPA, jadi tarif yang sudah disepakati oleh Uni Eropa untuk tilapia menjadi 0%. Mudah-mudahan ini bisa menjadi peluang bagi tilapia Indonesia untuk masuk terus ke pasar Uni Eropa,” jelasnya.
Di pasar Kanada, Indonesia merupakan pemasok nomor satu untuk fillet beku dengan pangsa pasar 54,1%, sedangkan China 41,3%. Kita juga tengah melakukan perundingan Indonesia-Kanada-CEPA dengan target tarif tilapia sebesar 0%. Helwi mewanti-wanti para eksportir agar berhati-hati terhadap China yang mungkin akan menggeser pasar ekspor tilapia dari AS ke negara lain, seperti Kanada.
Ia menambahkan, sustainability alias keberlanjutan menjadi isu utama ekspor tilapia karena menjadi seperti syarat mutlak yang tidak hanya dipersyaratkan negara tetapi juga pasar retail untuk memasuki wilayah mereka.
Perluasan Akses Pasar
Terkait rencana revitalisasi, tutur Helwi, KKP terus melakukan upaya membuka akses pasar ekspor yang lebih luas. “Tarif masih jadi kendala. Tarif resiprokal juga ternyata saat ini malah jadi turun ekspor Indonesia. kami saat ini masih butuh informasi ini kenapa, padahal China itu lebih besar (tarifnya) dari kita. Memang segmen kita di pasar Amerika itu segmen premium, harganya lebih tinggi,” paparnya.
Pemerintah juga sudah mengusulkan agar tilapia dikecualikan dari tarif resiprokal. Namun, usul itu belum disetujui karena AS menganggap dirinya merupakan salah satu produsen produk perikanan. Pasar potensial lainnya yang dijajaki adalah Inggris tapi persyaratannya serumit Uni Eropa.
“Inggris dan Uni Eropa ini memang CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) sudah menjadi kewajiban. Untuk 4 komoditas budidaya ada monitoring residu plant, jadi akan terus disampling tambaknya mengenai antibiotik. Keamanan pangan juga harus terus dilaporkan ke pemerintah Uni Eropa dan Inggris agar kita bisa terus melanjutkan ekspor kita ke Uni Eropa dan Inggris. Kita ajukan negosiasi tarif dan juga terkait approval number, penambahan baru ke sana,” jabarnya. Helwi juga memastikan pemerintah terus berkolaborasi dengan eksportir dalam rangka meningkatkan ekspor tilapia.
Harapan dan Kekhawatiran Pembudidaya
Dari sisi pembudidaya, Ketua Asosiasi Tilapia Indonesia (ATI), Alwi Tunggul Prianggolo, menegaskan, revitalisasi tambak Pantura menjadi momentum penguatan nila sebagai komoditas industri. “Kami mendorong hasil panen diarahkan ke industri pengolahan sehingga menghasilkan fillet berdaya saing global dengan tetap melibatkan pembudidaya lokal,” katanya.
Tidak lupa, ia mengingatkan kesiapan industri pendukung revitalilsasi, seperti kesiapan benih dan induk berkualitas. “Kalau tadi dijelaskan densitinya itu 10-15 ekor/m2, berarti kan benihnya itu satu siklus bisa tiga miliar. Tiga miliar benih yang bagus itu dari mana?” kritis Alwi.
Sementara, para pembudidaya kini jarang yang menggunakan benih rakitan balai pemerintah karena performanya di lapang meragukan. “Jadi, bingung (benih) ini kenapa ya belum sempat gede sudah beranak dan lama sekali pertumbuhannya, itu salah satu contohnya,” beber pembudidaya tilapia asal Indramayu, Jawa Barat ini.
Kemudian, ketersediaan indukan berkualitas untuk mendukung program revitalisasi apakah sudah siap. “Itu harus benar-benar kita pikirkan bareng-bareng dari teman-teman UPR (unit pembenihan rakyat) atau swasta yang bisa lebih lincah dan dari pemerintah yang bisa mendukung untuk program-program pemuliaan itu supaya jadi lebih cepat dan terus berkembang. Jangan sampai kita ini istilahnya harus belajar atau melihat indukan atau benih berkualitas harus ke Thailand,” pesannya.
Berikutnya, pemilihan lokasi tambak yang direvitalisasi harus betul-betul dipikirkan. Pasalnya, ada tambak-tambak milik Kementerian Kehutanan yang produktif berisi komoditas ikan lainnya, seperti bandeng imlek dan rumput laut. Apakah mereka mau untuk dialihkan menjadi nilai salin. Yang tidak kalah krusial, posisi pembulidaya existing akan seperti apa dengan adanya revitalisasi. Selain itu, janngan sampai produksi tilapia hasil revitalisasi yang sedianya untuk ekspor malah membanjiri pasar lokal dan menyebabkan harga jatuh terpuruk karena kelebihan pasokan.
“Jangan sampai kita nanti produksi banyak melimpah ternyata enggak keserap, akhirnya masuk pasar lokal. Jadi malah kayak jadi bumerang, untuk petani existing saat ini yang ada kayak gitu, harganya jadi jatuh kayak gitu. Itu pun juga, maaf kembali lagi ke benih, jangan sampai program ini malah menjadikan teman-teman pembudidaya yang existing itu malah gulung tikar atau malah bingung,” ulasnya tajam.
Windi Listianingsih







