Pusaran masalah udang nasional mulai dari biosekuriti, tata ruang, dan jalan panjang menuju pasar global.
Industri udang nasional berada di tengah pusaran tantangan yang kompleks, mulai dari isu biosekuriti yang kian meluas hingga masalah klasik yaitu tata ruang tambak. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengakui tidak ada jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan ini, tapi terus berupaya semaksimal mungkin mengerjakannya. Seperti apakah upaya pemerintah dan pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya untuk memperbaiki industri udang nasional?
Dinamika Permasalahan Udang
TB Haeru Rayahu, Dirjen Perikanan Budidaya, KKP mengatakan, dinamika udang saat ini memang sangat kompleks. Hal ini diperparah dengan gejolak penyakit yang kini naik kelas. Awalnya, isu utama hanya seputar residu antibiotik. Namun, sekarang meluas ke masalah biosekuriti dan mencuat lagi penyakit lama.
Isu penyakit memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan keterkaitan yang sangat kuat dengan sektor lainnya sehingga menyebabkan proses penanganan menjadi lambat. “Sebenarnya kenapa penanganan ini lama karena tingkat kompleksitasnya, keterkaitan dengan yang lain menjadikan lambat,” jelasnya saat memberikan sambutan di acara Farm 2025 bertema ‘Make Farmers Great Again’ di Jakarta (25/9).
Secara garis besar, KKP memetakan tujuh isu utama dalam industri udang nasional. Isu tata ruang menepati posisi utama. Dirjen mencontohkan, di Maros, Sulses persoalan tata ruangnya luar biasa. Masalah ini sangat krusial karena total lahan tambak yang ada hanya sekitar ribuan lebih digunakan untuk budidaya udang. Namun yang memprihatinkan, sebanyak 82% lahan budidaya udang tersebut adalah tambak tradisional.
“82% tidak dibina dan tidak dipandu, maka pasti akan berdampak kepada lainnya yang 3% intensif dan 15% semiintensif. Sehingga, harus menerapkan pada tambak semi intensif atau intensif,” terangnya pria yang biasa disapa Tebe ini.
Isu lainnya yang mendesak, lanjut Tebe, yaitu, biosekuriti, ekonomi global, ketertelusuran (traceability) yang menjadi tuntutan pasar ekspor, terutama Amerika Serikat. Lalu kesejateraan hewan (animal welfare), dengan catatan penting bahwa ablasi mata dalam pembenihan sudah tidak lagi menjadi anjuran di masa depan. “Selanjutnya, penerapan best practices dan penggunaan BNT (Bahan Non Teknis),” urainya.
KKP merancang strategi sektor hulu dan hilir. Tebe merinci, hulu fokus perbaikan atau penyusunan regulasi seperti percepatan penyelesaian isu tata ruang yang melibatkan dua peraturan pemerintah, yaitu PP No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Lalu, adopsi best practices mendorong pembudidaya terutama yang tradisional untuk mengadopsi teknologi, salah satunya melalui inovasi probiotik.
“Selanjutnya, dukungan pendanaan. Pemerintah membuka peluang sinergi perbankan. Satu minggu yang lalu, salah satu pimpinan perbankan datang ke KKP, memiliki dana Rp55 triliun yang bisa dimanfaatkan dan bunganya hanya 5% saja. Perbankan bingung mau disalurkan ke mana dana itu, sehingga para pembudidaya bisa menfaatkan dana segar tersebut,” terangnya.
Di sisi hilir, Tebe menerangkan, strateginya meliputi diversifikasi produk, membuka pasar ekspor ke kawasan baru seperti Timur Tengah, dan penguatan asosiasi atau kelembagaan. Terkait penguatan kelembagaan, ia mengkritisi asosiasi agar tidak hanya fokus pada pembudidaya besar saja. Pasalnya, ini untuk sinergi, kekompakan, dan mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen udang kelima dunia. “Ternyata belum semua UPI (Unit Pengelohan Ikan) itu masuk dalam asosiasi,” katanya.
Belajar dari Vietnam
Che Wen Wei, Sales Manager Uni-President Vietnam mengatakan, masalah di Indonesia, Vietnam, dan Thailand memiliki kesamaan. Masalah tersebut seperti penyakit, pasar lokal, harga, impor dan ekspor, serta keamanan pangan. Ia menjelaskan berbagai protokol yang telah diterapkan di Vietnam untuk membantu para pembudidaya sehingga dapat mengurangi masalah tersebut. Tantangan besarnya adalah penyakit dan biaya budidaya udang.
Produksi udang di Vietnam mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Ia merinci, pada 2022 sekitar 700 ribu ton, tahun 2023 sekitar 600 ribu ton, pada 2024 mencapai 550 ribu ton, sedangkan di 2025 hanya 500 ribu ton. “Penurunan ini mencapai 10% setiap tahunnya dan menjadi tantangan besar. Tantangan utama bukan pada kompetisi tapi penyakit, meliputi cuaca buruk setiap tahun yang mengalami perubahan begitu cepat,” urainya.
Che Wen mengatakan, sekitar 70% masalah utama penyakit di Vietnam didominasi oleh Early Mortality Syndrome (EMS), Enterocytozon Hepatopenaei (EHP), dan Green Vibrio Colony (GVC). Sebagian besar produksi udang berada di Vietnam Selatan dengan 70% petambak kecil. Dalam satu area, 1-3 petambak memiliki 20-30 tambak. Hal ini dapat menyebabkan sebaran penyakit lebih mudah. Cara mencapai 100% bebas penyakit dan pengendaliannya yaitu protokol pengendalian risiko dengan poin pertama biosekuriti dan benih. Sangat penting mengikuti protokol biosekuriti 100% dan memilih benih berkualitas lebih utama.
Kedua, kontrol air dan desain tambak. Petambak mengganti air 50%-60% setiap hari. Padahal , tidak perlu ganti air jika masih aman. Ganti air saat dibutuhkan saja. Lalu, desain baru tambak diberikan sistem CTSS (Central Toilet Siphoning System) dengan tujuan menghilangkan endapan. Sehingga, dapat meningkatkan kapasitas kesehatan udang karena endapan memiliki kapasitas penyakit lebih tinggi.
“Lakukan sifon sebanyak 2-6 kali sehari serta mitigasi terhadap adanya bangkai udang. Udang mati adalah sarangnya penyakit. Sedangkan, CTSS merupakan sistem otomatis yang menyedot lumpur di dasar tambak dan membuang langsung ke outlet di sisi samping tambak. Lalu, pengawasan penyakit udang, screening dengan cara PCR (Polymerase Chain Reaction) setiap 1-2 minggu,” paparnya.
Kolaborasi
Tidak hanya secara teknis dalam menangani masalah di tambak. Namun, perlu kolaborasi agar produksi tetap optimal dan sesuai standar global. Di tempat yang sama, Rektor IPB University, Arif Satria menyoroti pentingnya kolaborasi antara akademisi dan industri perikanan budidaya. Kolaborasi merupakan kunci untuk mendongkrak daya saing sekaligus mengatasi persoalan krusial. Pasalnya, jurang pemisah antara riset kampus dan aplikasi di lapangan masih terasa.
Arif tak menutupi fakta bahwa posisi Indonesia di tingkat global sedang dihantui tantangan. Merujuk pada rilis Global Innovation Index (GII) September 2025, posisi Indonesia turun dari peringkat 54 menjadi 55. Padahal, uji korelasi statistik menunjukkan bahwa semakin tinggi skor GII sebuah negara, kian tinggi pula input kapital dan semakin baik pula perekonomiannya.
Penurunan ini menempatkan Indonesia di urutan keenam di Asia Tenggara. Indonesia kalah dari negara-negara tetangga. Menelusuri lebih dalam indikator GII, ditemukan satu komponen penting yang harus kembali digenjot, yaitu kolaborasi antara industri dan akademisi. Kolaborasi ini pernah membawa Indonesia ke peringkat lima terbaik dunia pada indikator tersebut di tahun 2020. Sayangnya, capaian itu melorot hingga hanya berada di peringkat ke-13. Bagi IPB sebagai institusi yang kaya akan riset dan kompetensi di bidang kelautan dan perikanan, pintu kolaborasi selalu terbuka. “Kita harus mengembalikan semangat kolaborasi itu,” tegasnya.
Di samping itu, IPB telah menyiapkan sejumlah riset andalan yang siap menjadi solusi R&D bagi industri perikanan, utamanya udang. Pertama, bioteknologi dan probiotik. Dalam menghadapi tantangan seperti penolakan antibiotik di Amerika Serikat, probiotik menjadi alternatif penting. Riset mendalam diperlukan untuk menghasilkan inovasi probiotik dengan harga yang efisien atau lebih murah. Probiotik hasil riset IPB diharapkan dapat menghasilkan berbagai manfaat seperti agen antivibrio, identifikasi probiotik perusahaan, peningkatan kesehatan udang serta penagganan penyakit yang setara dengan fungsi antibiotik.
Kedua, teknologi digital dan monitoring. Pemanfaatan sensor dan Internet of Things (IoT) di tambak udang sudah mulai dipakai, namun belum merata. Untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi, IPB telah mengembangkan teknologi monitoring berbasis kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini mampu memotret kondisi penyakit dan pertumbuhan udang tanpa pengukuran manual yang memakan waktu.
Ketiga, pakan efisien. Biaya pakan adalah isu klasik yang membutuhkan solusi efisien. Sebagian besar bahan baku pakan masih bergantung pada impor. Inovasi pakan lokal dan substansi impor menjadi krusial untuk menekan biaya produksi. Selain itu, IPB juga fokus pada teknologi lingkungan dan pengelolaan limbah sejalan dengan konsep ekonomi sirkular.
“Inovasi tidak boleh berhenti dipublikasi, melainkan harus memberi dampak nyata di lapangan. Kesenjangan antara riset kampus dan industri di mana dunia riset banyak fokus pada riset dasar, kurang aplikatif. Sementara, industri tidak mau melirik riset kampus. Menjembatani jurang itu, IPB memiliki mekanisme yang berfungsi sebagai penghubung antara industri dan dunia riset. Mekanisme ini memastikan bahwa agenda riset kampus didasarkan pada masalah nyata yang dihadapi para petambak di lapangan. Dengan demikian, hasil riset dapat memberikan solusi dan memiliki dampak langsung pada kemajuan tambak,” ujarnya.
Pengembangan ini, lanjut Arif, sejalan dengan tren global. Doktor dari Universitas Kagoshima, Jepang itu mencontohkan, pendanaan R&D nasional di Thailand, Korea, dan negara-negara maju lain, sebagian besar sudah berasal dari sektor swasta, mencapai lebih dari 50%. Indonesia saat ini baru 12% sehingga harus bergerak ke arah yang sama. “Mari kita melihat persoalan sama-sama, berkelompok, kemudian menyelesaikan masalah bersama-sama. Tidak ada lagi saling menyalahkan, saatnya untuk berkolaborasi,” terangnya.
Senada dengan Arif, Gerry Kamahara, Ketua Farmers Learning Club mengatakan, kolaborasi industri untuk menghadapi tantangan besar di pasar global kunci kesuksesan. Kondisi industri saat ini sangat bergantung pada citra dan performa di pasar Amerika Serikat yang merupakan pasar terbesar. “Harus ada peningkatan baik pada kuantitas maupun kualitas yang dipasarkan. Industri tidak boleh salah langkah dalam berbudidaya dan penggunaan produk. Dampak buruknya kemungkinan tahun depan tidak bisa lagi ekspor karena sudah tidak punya market-nya,” tegasnya.
Sabrina Yuniawati







