Rapolo Hutabarat, produk sawit secara keseluruhan belum banyak dimanfaatkan dalam kerja sama BRICS
Jakarta, AGRINA-ONLINE.COM. Para pelaku usaha industri hilir sawit mendukung pemerintah untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dan percepatan swasembada pangan serta energi. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Rapolo Hutabarat menjelaskan, ada dua kunci dari sisi industri sawit dalam mendukung target pemerintahan Prabowo tersebut.
Pertama, mengoptimalkan kerja sama internasional seperti BRICS dan mendorong investasi di sektor hilirisasi sawit.
“Pertama, kerja sama ekonomi bilateral Indonesia yang saat ini dengan 9-10 negara, tetapi produk sawit secara keseluruhan belum banyak dimanfaatkan dalam kerja sama bilateral ini. Karena ada beberapa insentif yang barangkali belum diketahui oleh dunia usaha di Indonesia,” ujar Rapolo dalam acara buka puasa yang digelar di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Indonesia resmi menjadi anggota ke-10 BRICS pada 6 januari 2025. Menurut Rapolo, ini merupakan peluang besar untuk sektor sawit. Apalagi, negara-negara BRICS tidak ada satupun yang menerapkan hambatan dagang.
“Kalau dibandingkan penduduk dunia totalnya mencapai 8,1 miliar, porsi 10 negara BRICS mencapai 3,9 miliar, itu porsinya sekitar 48 persen terhadap populasi dunia. Ke-10 negara itu tidak ada yang menerapkan hambatan dagang terhadap produk sawit,” jelasnya.
Dia pun berharap kerja sama pemerintah dengan BRICS ini menjadi kunci menarik investasi untuk sektor sawit dari 10 negara itu. Kemudian, menjadi pasar utama dari produk sawit Indonesia.
“Dari sisi pendapatan per kapita rata-rata dunia itu US$14.400 dan rata-rata negara BRICS itu US$11.200-an. Jadi dari sisi ekonomi mendekati pendapatan dunia. Dari 10 itu ada dua yang melewati pendapatan per kapita rata-rata dunia, yaitu UEA dan Rusia. Tiongkok itu masih US$13.000,” ujarnya.
Kedua, yang menjadi kunci untuk mencapai target swasembada dan ekonomi 8 persen yaitu dalam perluasan hilirisasi. Menurut Rapolo, Indonesia masih mengabaikan sawit untuk bernilai tambah tinggi seperti produk fitonutrien terutama betakaroten, tokoferol, tokotrienol dan lain-lain.
Pangsa pasar dari tiga jenis produk tadi dalam 3 tahun terakhir tembus US$10 miliar. Dan, tidak ada satupun perusahaan farmasi Indonesia menjadi produsen produk sawit bernilai tambah tinggi tersebut.
Dia menyebut, potensi produk fitonutrien itu bisa mencapai US$15 miliar per tahun. Artinya, 50 persen dari total ekspor sawit yang mencapai US$30 miliar.
“Maka perlu barangkali alih teknologi, insentif dari pemerintah supaya ada investasi. Mungkin ini menjadi salah satu pokok dalam kita bernegosiasi dengan BRICS supaya investasi bisa masuk,” ujar Rapolo.
Selain itu, hilirisasi untuk biomass sawit juga belum dimasifkan di Indonesia. “Ini masih diabaikan padahal dari sisi potensi ekonomi luar biasa. Memang belum bisa kalkulasi, tapi paling tidak hilirisasi sebagai bahan organik bagi perkebunan itu sangat mendesak untuk kesuburan tanah,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengatakan pihaknya mendukung pemerintahan Prabowo yang sudah menetapkan sawit sebagai aset nasional. Hanya saja, pekerjaan rumah ke depan adalah ketidakpastian regulasi.
Misalnya, Sahat menyoroti Perpres No. 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang dikhawatirkan berdampak buruk terhadap industri sawit nasional dan usaha-usaha yang terkait dengan penggunaan lahan.
“Kalau ada perusahaan yang di luar HGU (Hak Guna Usaha)-nya diperoleh ya sudah diselesaikan saja bagaimana regulasi dan administrasi. Tapi tidak perlu diramaikan yang membuat cemas pengusaha,” ucapnya.
Sahat juga mengusulkan menyetop program Minyakita yang saat ini kerap menjadi polemik. Program minyak goreng Minyakita membuat adanya 2 harga dalam satu produk yang sama. Hal tersebut, sebutnya, akan terus menimbulkan penyelewengan.
“Makanya disamakan saja harganya dan kepada mereka tidak mampu membeli itu special case, itu diserahkan lewat Kemensos. Dananya dari mana? Bisa diambil dari levy, tidak perlu APBN,” saran Sahat.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan mengatakan pihaknya telah mendukung pemerintah dalam program biodiesel. Dia mengatakan, untuk program B35 pada 2024 penyaluran biodiesel sangat baik dengan realisasi mencapai 13,1 juta KL atau hampir 98 persen.
Untuk mendukung B50, Ernest mengungkap, dibutuhkan total kapasitas 24 juta – 25 juta KL. Namun, saat ini kapasitas terpasang hanya 19,6 juta KL atau dibutuhkan 4 juta – 5 juta KL kapasitas terpasang lagi.
“Mungkin tahun ini akan ada tambahan sekitar 1 juta KL. Diharapkan ke depan akan ada investasi di sektor ini atau existing players untuk ekspansi,” ucapnya.
Akan tetapi, ulas Ernest, ekspansi tersebut akan berjalan apabila ada kenyamanan berusaha dan kepastian hukum. Apalagi, saat ini perusahaan yang bergabung di APROBI masih ada pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung.
“Jadi, kita berharap dalam isu ini bisa segera selesai, mungkin akan menarik banyak investor untuk menaikkan kapasitas biodiesel,” tandasnya.
Windi Listianingsih