Minggu, 9 Maret 2025

Produksi Turun, GAPKI Beberkan Strategi Berikut!

Produksi Turun, GAPKI Beberkan Strategi Berikut!

Foto: DOK. GAPKI
Eddy Martono (kiri), pemerintah harus menghilangkan segala hambatan

Jakarta, AGRINA-ONLINE.COM. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkap ekspor sawit tahun lalu melemah karena penurunan produksi. Sementara, konsumsi dalam negeri menguat lantaran permintaan biodiesel.

 

Eddy Martono, Ketua Umum GAPKI mengungkap, pproduksi minyak sawit (crude palm oil, CPO) dan minyak inti sawit (palm kernel oil, PKO) tahun 2024 mencapai 52,762 juta ton. Atau, lebih rendah 3,8% dari produksi tahun 2023 yang sebesar 54,84 juta ton.

 

“Ini banyak dipengaruhi el nino tahun sebelumnya yang mempengaruhi produksi, begitu juga dengan adanya beberapa tanaman-tanaman yang rusak sehingga berkontribusi pada rendahnya produksi. PSR masih belum bisa digenjot karena masalah-masalah klasik yang menghambat,” ujar Eddy Martono, Ketua Umum GAPKI dalam konferensi pers dan syukuran HUT GAPKI ke-44 di Jakarta, Kamis (6/3).

 

Secara rinci, produksi CPO bulan Desember 2024 sebesar 3,876 juta ton sedangkan produksi November 2024 mencapai 4,333 juta ton. Produksi PKO juga turun menjadi 0,361 juta ton dari 0,412 juta ton pada November.

 

Sementara itu, konsumsi CPO dan PKO tahun 2024 mencapai 23,859 juta ton atau naik 2,78% dari konsumsi tahun 2023 yang sebesar 23,213 juta ton. Kenaikan konsumsi ini karena kontribusi biodiesel yang terus meningkat, yaitu sebesar 11,447 juta ton. Angka ini lebih tinggi 7,51% dari konsumsi biodiesel tahun 2023 yang sebanyak 10,647 juta ton.

 

Hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi untuk pangan dan oleokimia yang melemah. Secara total tahun 2024, konsumsi untuk pangan mencapai 10,205 juta ton, lebih rendah 0,90% dari konsumsi tahun 2023 yang sebesar 10,298 juta ton. Sedangkan, konsumsi oleokimia sebesar 2,207 juta ton atau lebih rendah 2,69% dari 2,268 juta ton pada 2023,   

 

Di lain pihak, ekspor tahun 2024 juga turun 8,44% dibandingkan tahun sebelumnya. “Nilai ekspor yang dicapai pada tahun 2024 adalah US$27,76 miliar (Rp440 triliun), yang lebih rendah 8,44% dari ekspor tahun 2023 sebesar US$30,32 miliar (Rp463 triliun). Penurunan nilai ekspor terjadi untuk semua jenis produk, kecuali oleokimia, meskipun dari segi harga FOB rata-rata dalam US$/ton semua produk mengalami kenaikan,” terangnya.

 

Secara tahunan terjadi penurunan ekspor sebesar 2,680 juta ton, yaitu dari 32,215 juta ton pada tahun 2023 menjadi 29,535 juta ton. Penurunan terbesar terjadi untuk tujuan China sebanyak 2,381 juta ton, India 1,136 juta ton, serta Bangladesh, Malaysia, USA, dan EU dalam jumlah yang lebih kecil. Sementara itu, yang mengalami kenaikan terbesar adalah Pakistan sebesar 486 ribu ton dan Timur Tengah sebesar 164 ribu ton sedangkan Rusia dan beberapa negara lain naik dengan jumlah yang lebih kecil.

 

Dengan produksi, konsumsi, dan ekspor seperti itu, lanjut Eddy, stok CPO dan PKO diakhir 2024 sebesar 2,577 juta ton yang lebih rendah 18,06% dari stok akhir 2023 sebesar 3,145 juta ton. Mempertimbangkan kecenderungan produksi dan konsumsi dalam negeri, khususnya kebijakan penggunaan biodiesel serta kecenderungan harga serta suplai dan permintaan minyak nabati dunia, produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan mencapai 53,6 juta ton, konsumsi 26,1 juta ton, termasuk untuk biodiesel B40 sebesar 13,6 juta ton. Dengan perkiraan tersebut, ekspor akan turun menjadi 27,5 juta ton yang lebih rendah dari ekspor tahun 2024 sebesar 29,5 juta ton.

 

Eddy menambahkan, dalam 5 tahun terakhir produksi minyak sawit cenderung stagnan, berkisar 51,2 juta – 54,8 juta ton. Sedangkan, konsumsinya cenderung naik rata-rata 7,4% per tahun. Melihat kondisi ini, ia menjelaskan strategi GAPKI membantu percepatan Program PSR.

 

”Strategi GAPKI sekarang membantu percepatan peremajaan sawit rakyat, tapi ternyata sampai saat ini masih terkendala. Apapun kita harus bersama pemerintah. Artinya, pemerintah harus menghilangkan segala hambatan itu agar percepatan PSR bisa lebih cepat. Yang otomatis dengan peremajaan ini produksi pasti akan naik,” terangnya.

 

Jika produksi tidak didongkrak sementara program biodiesel sawit terus ditingkatkan, ulas Eddy, akan berimbas penurunan ekspor. ”Selama produksi tidak naik kalau dengan mandatori (biodiesel) itu naik terus, pasti ekspor akan dikorbankan, akan berkurang pasti,” tandasnya.

 

Eddy menyebut cara lain di samping PSR untuk mendukung pemenuhan program mandatori biodiesel. ”Ada juga cara lain dengan melakukan ekspansi khusus untuk energi di areal-areal yag terdegradasi, misalnya banyak areal di kawasan yang tidak berhutan atau area yang sudah dibuka, bekas apa, sekarang tidak dimanfaatkan, nah itu ditanam sawit khusus untuk energi. Misalnya ditugaskan BUMN untuk menanam itu. Itu cara yang kedua, itu lebih cepat dibandingkan menunggu PSR. Kenapa, karena kadang-kadang PSR, si petaninya yang nggak mau ditebang. Saya makan apa nanti,” ucapnya menirukan keluhan petani.

 

Namun, Eddy mengungkap, rencana penanaman kebun sawit khusus untuk energi belum ada tindak lanjut konkret dari pemerintah. ”GAPKI sudah mendorong. Bisa jadi mungkin rencana ada survei di Papua tapi saya nggak tahu akan dilaksanakan tidak,” pungkasnya.

 

Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain