Foto: Windi Listianingsih
Jagung harus segera dikeringkan dengan mesin agar aflatoksin rendah
Belum banyak petani yang melirik, padahal kebutuhan jagung rendah aflatoksin (JRA) mencapai 1 juta ton/tahun.
Produksi jagung dalam negeri pada 2020 diklaim Kementerian Pertanian mencapai 20 juta ton lebih. Kendati begitu, pemenuhan akan kebutuhan jagung rendah aflatoksin (JRA) bagi industri makanan dan minuman sebanyak 1 juta ton/tahun masih sulit untuk dipenuhi.
Perusahaan yang tergabung dalam Perkumpulan Produsen Pemurni Jagung Indonesia (P3JI) membutuhkan JRA sebagai bahan baku corn starch (pati jagung), pemanis rendah kalori (sweetener), dan bihun jagung.
Gatut Sumbogodjati, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP), Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, menjelaskan, JRA diproduksi melalui penanganan pascapanen yang baik sehingga kadar aflatoksinnya maksimal 20 ppb (part per bilion). “Sejauh ini terdapat dua provinsi yang bisa memasok jagung untuk kebutuhan tersebut,yakniNusa Tenggara Barat dan Lampung,” sebutnya.
Harga Jual Lebih Tinggi 10%-20%
Lebih lanjut Gatut berujar, dalam memproduksi JRA, jagung basah dipipil oleh petani dan dalam waktu kurang dari 4 jam langsung dikeringkan menggunakan mesin pengering (dryer). Berdasarkan hasil pengujian laboratorium pada jagung pipil yang dalam waktu 4 jam langsung dikeringkan hingga kadar air 14%, terbukti tidak mengandung aflatoksin.
Aflatoksin adalah racun yang dikeluarkan oleh cendawan terutama Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Keuntungan lainnya, imbuh Gatut, lantaran jagung dipanen lebih tua, bonggol jagung (corncob) yang dihasilkan dapat diolah dan bisa diekspor.
Sementara itu, Dean Novel, petani jagung di Lombok Timur sekaligus Direktur PT Datu Nustra Agribisnis (DNA)mengatakan, dalam duatahun terakhir pihaknya memproduksi dan menyuplai JRA ke industri pangan dan susu (dairy). Tahun ini, Dean mengirim 220 ton ke PT Miwon Indonesia dan telah menerima order juga dari PT Arena Agro Andalan.
Dalam memproduksi JRA, pihaknya bermitra dengan petani jagung di Kec. Pringgabaya dan Kec. Sambelia, Lombok Timur. “Pola kemitraan sudah berjalan 8 tahun. Untuk petani yang memproduksi JRA,kami beli dengan harga lebih tinggi 20%. Sebab ada penundaan umur panen yang berdampak kepada rendemen. Jadi harus ada kompensasi,” bebernya.
Senada dengan Dean, M. Solihin, petani jagung Lampung Selatan mengamini harga jual JRA lebih tinggi ketimbang jagung biasa atau jagung pakan. Ketua Kelompok Tani Maju ini mengungkap, kelompoknya berhasil mengirim 30 ton jagung ke PT Tereos FKS Indonesia. “Harga yang kami terima berdasarkan rumus harga di gudang pakan ditambah 10%,” tuturnya.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 327 terbit September 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.