Foto: Windi Listianingsih
Pengembangan food estate meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa
Pengembangan food estate perlu dukungan mekanisasi dan modernisasi pertanian.
Presiden Jokowi membatalkan impor 1 juta ton beras hingga Juni 2021. Apa lacur, harga gabah terkadung hancur demi mendengar rencana impor saat kondisi panen akbar.
Lalu, pemerintah berbondong-bondong menyerap gabah agar stok aman hingga lebaran. Bagaimana sebenarnya rencana membangun ketahanan pangan ke depan?
Berbasis Food Estate
Menurut Sarwo Edhy, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian (Kementan), pemerintah mengembangkan food estate (lumbung pangan) untuk mengangkat produktivitas padi dengan memanfaatkan lahan rawa di Kalteng.
“Program food estate ini ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan dan lahan rawa merupakan masa depan bangsa Indonesia,” ujarnya.
Target kawasan food estate di lahan rawa Kalteng seluas 164.598 ha. Tahun lalu food estate Kalteng menjangkau 30 ribu ha lahan sawah eksisting melalui program intensifikasi.
Tahun ini, kata Foyya Y. Aquino, Kasubdit Optimasi dan Rehabilitasi Lahan, Ditjen PSP, target intensifikasi seluas 55.456 ha di lahan irigasi yang mengalami perbaikan dan ekstensifikasi 73.500 ha di lahan yang mengalami peningkatan jaringan irigasi.
Komoditas utama yang dikembangkan yaitu padi. Komoditas lain seperti hortikultura sayuran dan buah, peternakan itik, dan perkebunan sebagai pendukung.
“Saat ini sedang dilakukan verifikasi terhadap CP/CL (Calon Petani/Calon Lokasi) kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan tahun anggaran 2021 oleh Dinas Pertanian Kab. Kapuas dan Kab. Pulang Pisau,” ucapnya pada webinar “Food Estate Dukung Ketahanan Pangan”.
Sarwo menjelaskan, food estate melibatkan peran teknologi mulai dari aplikasi benih padi unggul bersertifikat hingga alat mesin pertanian (alsintan). Alsintan membantu petani meningkatkan indeks pertanaman.
Dalam pengembangan food estate, kata Sahara, Kadep. Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University, mekanisasi dan modernisasi pertanian atau digitalisasi ialah salah satu simpul penting yang harus diperkuat baik di on farm (budidaya) maupun off farm (nonbudidaya).
“Penggunaan alat dan mesin pertanian saat pengolahan lahan akan meningkatkan produktivitas pertanian. Pada pengolahan hasil, diperlukan penggilingan padi (Rice Milling Unit, RMU) yang merupakan titik sentral agroindustri padi,” tukasnya.
RMU
Untuk meningkatkan mutu dan rendemen beras, Sahara menyarankan, perbaikan kinerja RMU dengan meningkatkan penggunaan kapasitas terpasang, mengurangi biaya, dan meningkatkan nilai tambah produk yang memberi dampak positif pada usaha jasa RMU, petani, serta memantapkan kelembagaannya.
“Perlu strategi usaha penggilingan padi secara terpadu, yaitu beras menjadi bentuk keuntungan dan pendapatan dari hasil samping serta limbah yang terolah minimal dapat menutup biaya operasional proses produksi,” urainya.
Boediman Widjaja, SMB Manager PT Buhler Indonesia menganjurkan, pemerintah lebih mendukung penyediaan alat pascapanen seperti RMU dan fasilitasi kredit lunak. “Karena percuma hasil gabah bagus tapi kalau tidak diolah dengan bagus juga hasilnya tidak akan maksimal,” tukasnya, Selasa (6/4).
Menurut Boediman, kebanyakan penggilingan padi kecil menggunakan mesin pecah kulit (husker) dan pemoles (polisher) murah yang menghasilkan beras kualitas medium.
“Penyediaan mesin pecah kulit, mesin pemilah batu yang lebih baik tentunya rendemen banyak kemudian beras pecah sedikit. Itu akan membantu penggilingan padi menghasilkan beras yang lebih berkualitas,” urainya.
Jika memperoleh kredit lunak, penggilingan padi kecil akan mampu membeli mesin berkualitas meski harganya tinggi.
“Memang beberapa kali lipat dari mesin yang saat ini mereka pakai tapi hasil bisa dinikmati setiap hari. Misalnya kadar pecahnya turun 3%, otomatis dapat beras kepala lebih banyak. Harga jual berbeda beras kepala dengan beras pecah. Dalam satutahun sudah balik modal,” timpalnya.
Serap Gabah
Seiring panen raya, Kementan melalui Komando Strategi Penggilingan Padi (Kostraling) bekerja sama dengan Perum Badan Urusan Logistik (BULOG) aktif menyerap panen padi. Mentan Syahrul Yasin Limpo menegaskan, serap padi akan terus dilakukan untuk mengantisipasi jatuhnya harga di lapang.
Pihaknya membentuk Tim Terpadu Gerakan Serap Gabah Petani melalui surat Menteri Pertanian No. 28/TP.100/M/03/2021. Tim ini terdiri dari Kementan, BULOG, Dinas Pertanian, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kodim, Polres, Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), serta Kostraling.
Menurut Suwandi, Dirjen Tanaman Pangan, Kementan, target serap gabah tahun ini 918 ribu ton. Realisasi serap gabah Januari – Maret 2021 mencapai 188 ribu ton (77,44%).
“Komitmen di 10 provinsi, 86 kabupaten, akan diserap 918 ribu ton gabah selama April – Mei. Ini komitmen bersama menjadikan cadangan pangan yang cukup ke depan,” katanya di webinar “Gerakan Serap Gabah: Angkat Harga, Peduli Petani”, Rabu (7/4).
Ia menyarankan petani untuk memenuhi persyaratan seperti kadar air dan kadar hampa agar gabah dibeli sesuai harga pembelian pemerintah. Ia juga meminta penggilingan padi mengakses KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk menambah modal serap gabah. “Ada 160 ribu lebih penggilingan se-Indonesia. Yang sudah dapat KUR tahun lalu 18 ribu lebih,” tandasnya.
Infrastruktur
Saat umumnya petani panen raya, padi di Pamanukan, Subang, Jabar justru baru berumur 15 hari atau sebulan karena harus tanam ulang akibat banjir Januari – Februari lalu. Sekitar 3.000 ha lahan di Pamanukan terimbas banjir akibat rusaknya irigasi.
“Harusnya Maret mulai panen tapi nggak bisa karena tanam ulang. Akhirnya, kita mundur paling tidak Mei – Juni baru panen,” buka Yoyo Suparyo, praktisi pertanian di Subang.
Mundurnya panen berdampak pada mundurnya Musim Tanam (MT) II. “Kita mulai lagi MT II di Juli – Agustus, berarti panennya di Desember. Kalau panen di Desember, itu musim banjir lagi. Ini kejadian berulang kali setiap tahun,” keluh Yoyo, Sabtu (3/4).
Banjir karena irigasi rusak membengkakkan biaya produksi. Ongkos membersihkan lahan dari sampah banjir Rp2 juta–Rp6 juta. Biaya produksi padi, jelasnya, “Yang tadinya hanya Rp12,5 juta–Rp15 juta, sekarang bisa Rp25 juta–Rp30 juta dengan keadaan banjir.”
Yoyo meminta pemerintah segera membenahi infrastruktur. “Jadi, harga beras mahal karena produksi kita jelek. Artinya, kualitasnya kurang bagus, kuantiti-nya juga kurang akibat masalah infrastruktur, kebanjiran terus,” kritiknya. Ketika dikonfrimasi AGRINA, Dirjen PSP menjawab via pesan singkat, “Setiap tahun ada anggaran yang dialokasikan ke daerah untuk kegiatan-kegiatan dimaksud.”
Windi L, Brenda A, Sabrina Y, Try SA