Rabu, 2 September 2020

HORTIKULTURA : Waspada Embun Tepung pada Melon

HORTIKULTURA : Waspada Embun Tepung pada Melon

Foto: Dok. Agricon
Tanaman melon terserang penyakit embun tepung

Penyakit embun tepung dapat mengakibatkan petani melon gagal panen.
 
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) menjadi penghalang dan momok yang menakutkan bagi petani melon karena berdampak pada kualitas dan hasil panen. Tindakan preventif perlu dilakukan untuk mengendalikan OPT.
 
Menurut pengalaman Prapto, petani melon premium asal Desa Sendang Agung, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, “OPT yang sering muncul dan menjadi mimpi buruk adalah cendawan, kutu kebul, dan thrips.” Ia menyarankan, untuk melakukan penyemprotan pestisida dan menghindari lahan yang sudah ditanami melon sebelumnya.
  
 
Mengendalikan Embun Tepung
 
Salah satu penyakit yang dominan dan sering menjadi momok petani melon adalah penyakit embun tepung (powdery mildew), petani biasanya menyebutnya trotal.
 
Penyakit ini disebabkan cendawan Podosphaera xanthii. Patogen penyakit ditularkan melalui angin. Gejala serangan ditandai adanya bercak putih seperti tepung pada permukaan atas dan bawah daun. Daun yang terserang menguning, mati, lalugugur.
 
Kondisi optimum untuk perkembangan penyakit ini adalah pada suhu 15,6-32°C dan ternaungi. Keadaan seperti ini biasanya berlangsung ketika kemarau basah seperti sekarang ini.
 
“Tingkat kerugian yang ditimbulkan penyakit ini diawali dengan mengganggu proses fotosintesis tanaman, selanjutnya cendawan berkembang secara cepat sehingga  tanaman layu bahkan bisa mematikan tanaman alias gagal panen,” ungkap Agung Udara Permana, Manajer Produk Sayuran PT Agricon Indonesia.
 
Proses penyebaran embun tepung, lanjut Agung, melalui spora tanaman terinfeksi.  Dengan bantuan angin, spora itu terbang ke tanaman sehat dan menginfeksinya begitu seterusnya.
 
Ia menjelaskan, biasanya petani melon mencegah serangan penyakit embun tepung menggunakan fungisida Captive 200 SP. “Petani melon wilayah pantura (pantai utara Pulau Jawa) menceritakan kisah suksesnya menggunakan produk Captive 200 SP dengan hasil yang memuaskan,” katanya.
 
Pria yang biasa disapa Ara ini mengungkapkan, petani senang menggunakan fungisida sistemik tersebut karena dapat menjadi salah satu pencegah serangan embun tepung.
 
“Captive diaplikasikan petani pada tanaman berumur 2 – 8 minggu setelah tanam, dengan dosis 1 – 2 ml/l atau satututup botol per tangki. Spora cendawan yang menempel tidak bisa menginfeksi karena tanaman sudah dilindungi fungisida,” jelasnya.
 
Lebih lanjut Ara menjabarkan, “Fungisida Captive berbahan aktif dimetomort 200 g ini sebenarnya kami rekomendasikan untuk mencegah penyakit busuk daun yang disebabkan cendawan Phytopthora infestans pada kentang.” Patogen ditularkan melalui udara dan air. Gejala awal berupa bercak kebasah-basahan pada bagian tepi atau tengah daun. Bercak selanjutnya melebar dan terbentuk daerah nekrotik yang berwarna cokelat.
 
Bercak dikelilingi oleh spora yang berwarna putih dengan latar belakang hijau keabu-abuan. Serangan dapat menyebar hingga ke bagian batang dan umbi kentang.
 
“Tindakan preventif pengendalian penyakit busuk daun kentang ketika tajuk tanaman kentang muncul. Kami rekomendasikan aplikasinya pada minggu ke 3 – 7. Aplikasinya dengan mencampur dua jenis fungisida, yaitu fungisida kontak Bazoka berbahan aktif mankozep dengan konsentrasi 2 – 4 gr/liter dan  fungisida sistemik Captive 1 – 2 ml/l,” ungkap Ara menutup penjelasannya.
 
 
 
Sabrina Yuniawati, Untung Jaya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain