Senin, 2 Maret 2020

PERIKANAN : Waspada Penyakit Udang Baru!

PERIKANAN : Waspada Penyakit Udang Baru!

Foto: Dok. Qui et al
Udang yang terserang SHIV berwarna pucat dan cangkangnya lunak

Jangan pernah meremehkan penyakit karena bisa tiba-tiba muncul dan mewabah di tambak. 
 
 
Selain “melahirkan” virus Covid-19 yang tengah mewabah, menurut Dr. Heny Budi Utari, MKes, Head of Animal Health Service PT Central Proteina Prima, Tbk.
 
China juga menyimpan penyakit baru yang mematikan buat si bongkok. “Saya sebut baru karena semuanya sama di tahun 2009 dan semuanya dari China. Ada apa dengan China? Hati-hati lho,” ujarnya mewanti-wanti.
 
 
AHPND 
 
Saking merugikannya dampak Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) membuat penyakit ini berulang kali disinggung dalam setiap pertemuan pelaku industri udang.
 
AHPND hadir di China pada 2009 kemudian menyebar ke Vietnam di 2010, Malaysia di 2011, Thailand di 2012, dan Filipina di 2015. Tanda klinis AHPND, Heny menjelaskan, mirip vibriosis.
 
Yaitu, hepatopakreas mengkerut lalu pucat, usus dan lambung kosong, warna tubuh pucat, mortalitas (kematian) di dasar dalam jumlahnya banyak. 
 
Selain itu, Vibrio parahaemolyticus (VpAHPND) penyebab penyakit yang juga disebut Early Mortality Syndrome (EMS) ini bukanlah vibrio biasa. V. parahaemolyticus mengandung plasmid baik dan jahat.
 
“Plasmid jahat itu mempunyai racun yang mirip dengan racun yang ada di insect (serangga), Pir (Photorhabdus insect-related–Pir). Jadi ada 2: PirAvp and PirBvp,” ulasnya. 
 
Selain itu, penyebaran AHPND juga mengkhawatirkan. Sebanyak 11 dari 25 provinsi di Thailand terdampak AHPND dengan produksi tersisa 30%. Sedangkan, di Malaysia hampir semua provinsi kena AHPND.
 
“2011 cepat sekali. Pola penyebarannya itu terus kemudian terjadi penurunan. Walaupun prevalensi di Malaysia dinyatakan menurun, jangan salah, menurun itu jangan-jangan laten. Muncul lagi, muncul lagi,” paparnya seraya mengingatkan. 
 
Terlebih, posisi Malaysia begitu dekat dengan Indonesia. Sabah dan Serawak yang menyatu dengan di Pulau Kalimantan, sudah terserang AHPND pada 2012/2013.
 
Belum lagi peluang masuknya penyakit dari Thailand atau Vietnam. Heny meminta daerah-daerah yang ada di wilayah perbatasan untuk berhati-hati akan penularan penyakit melalui penyebaran induk, artemia hidup, probiotik, polichaeta, cumi-cumi, udang, hingga pergerakan air laut, sungai, dan lumpur.
 
“Iuranlah kalau nggak ada dana tapi jangan berhenti (pengawasan). Karena mereka menyatakan vigilant (waspada). Artinya sesuatu yang sangat-sangat merah, harus kita lihat,” tandasnya. 
 
 
CMNV 
 
Ancaman berikutnya Covert Mortality Nodavirus (CMNV) yang mirip IMNV atau myo. Tanda klinisnya berupa hepatopankreas mengecil atau pucat, otot badan memutih, lambung dan usus kosong, serta cangkang lunak dan pertumbuhan lambat.
 
Pola kematiannya tersembunyi karena itu disebut covert. “Tahu-tahu ada di dasar. Tahu-tahu ada di sifon. Kematiannya langsung banyak,” kata Heny.  
 
Kematian dimulai pada DOC (day of culture) 30 hari lalu kematian kumulatif terjadi hingga DOC 60-80 hari. Udang yang hampir mati dan sudah mati ditemukan hampir setiap hari.
 
Setelah DOC 60-80 hari, penyakit diperparah dengan meningkatnya NO2- dengan suhu di atas 28°C dan mortalitas mencapai lebih dari 80%. Penyebarannya di China bagian barat dari sepanjang Liaoning hingga Yunnan sedangkan di sebelah timur ada di Gansu hingga Qinghai.
 
“Jadi sudah banyak dan saya melihat beberapa negara sudah mulai khawatir, termasuk Indonesia dan Thailand, Vietnam karena dekat,” jelasnya. 
 
CMNV masuk dalam kelompok Iridovirus dengan target organ sasaran hepatopakreas, organ limfoid, dan otot, yang diperparah oleh kondisi suhu dan nitrit yang tinggi.
 
Heny mengingatkan pembudidaya agar mewaspadai 11 invertebrata yang bisa menjadi carrier (pembawa) penyakit.
 
Yaitu, Artemia sinica, barnacle atau trisipan (Balanus sp), Rotifer Brachionus urceus, Amfipod Corophium sinense (H) Zhang dan Hyperiid amphipod, Parathemisto gaudichaudii (H) dan Gammarid amphipod yang tidak bisa diidentifikasi, kerang pasifik Crassostrea gigas, kepiting hermit Diogenes edwardsii, kepiting hantu Ocypode cordimundus (H), Clam Meretrix lusoria, dan fiddler crab Tubuca arcuata (H).
 
“Kepiting, copepod, artemia kalau bisa jangan sampai hidup. Begitu ada, akan sulit untuk dieliminasi. Nah, virus itu mampu kontaminasi silang dari invertebrata ke vertebrata. Potensi carrier vector yang tinggi dan kemampuan perpindahan menyebabkan kita harus khawatir. Kemampuan perpindahan host dari udang ke ikan sangat berbahaya sehingga penting dilakukan tindakan pencegahan dan isolasi dari area terdampak,” paparnya. 
 
 
SHIV 
 
Terakhir, Shrimp Haemocyte Iridescene Virus (SHIV) yang muncul pada 2014 di Zhejiang, China. Penyakit ini juga ditemukan di Thailand dengan prevalensi rendah.
 
Tanda klinisnya mirip CMNV sehingga pengecekan utama melalui tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Gejala penyakitnya berupa warna udang dan hepatopakreas agak pucat, lambung  dan usus kosong, cangkang lunak, serta kadang ditemukan tubuh kemerahan. 
 
Heny menekankan agar tidak meremehkan penyakit baru karena bisa jadi tiba-tiba muncul dan mewabah di tambak. “Perlu monitoring, screening, surveillance,” tegasnya.
 
Penyakit ini tidak bisa dianggap remeh sebab pada 2018 produksi udang China turun dari 567 ribu ton menjadi 512 ribu ton akibat terserang AHPND dan SHIV.
 
Ada beberapa cara menyiasati penyakit baru ini. Pertama pahami dulu penyakit udang yang baru, jenis patogennya, cara menginfeksi udang, dan tingkat keganasannya.
 
Kedua, menerapkan budidaya dengan biosekuriti dan CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik). “Ada teman-teman (pembudidaya) yang tidak menggunakan desinfeksi. Kalau untuk area yang baru, area yang oke, ya ndak apa. Tapi kalau untuk area yang sudah endemik, jangan coba-coba. Pasti kena (penyakit),” tukasnya. 
 
Ketiga, evaluasi dan pengamatan kualitas air harian, terutama kestabilan plankton. “Semua penyakit muaranya adalah kestabilan plankton. Selama plankton stabil, dia (penyakit) tidak akan muncul,” ucap Heny.
 
Keempat, pertimbangkan daya dukung (carrying capacity) kolam. Kelima, menimimalisir stres udang dan menjaga imunitasnya selama budidaya. Yang tidak kalah penting, pembudidaya selalu berpikir positif bahwa budidaya udang adalah kegiatan dinamis dan penuh usaha untuk lebih baik. 
 
 
 
Windi Listianingsih, Peni Sari Palupi, Try Surya Anditya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain