Rabu, 28 Agustus 2019

Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati

Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati

Foto: Windi Listianingsih
Pertanian bukan hanya untuk kepentingan saat ini, tetapi juga kepentingan generasi yang akan datang

Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Pada saat ini maupun ke depan, arus utama pembangunan pertanian adalah berkelanjutan. Dalam pengertian mampu bertumbuh terus, bersahabat dengan lingkungan, dan tanggung jawab secara sosial. Karena itulah dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian harus memperhatikan dimensi keberlanjutan.
 
Aplikasi teknologi organik dan hayati merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang bukan hanya untuk kepentingan saat ini tetapi juga kepentingan generasi yang akan datang. Pertanian yang bisa menghasilkan produk-produk yang bebas residu sesuai standar ekspor.
 
Pada tanaman pangan, terutama di lahan sawah pasang surut, pirit (FeS2) merupakan salah satu masalah yang ditakuti petani. Bila mineral ini tersingkap dan bersentuhan dengan oksigen, tanah kian masam. Derajat keasaman tanah (pH) bisa anjlok di bawah 3,5. Dalam kondisi ini, padi sulit menyerap hara. Padi kurang subur dan berwarna kekuningan. Padi nyaman tumbuh di lahan ber-pH 5-6.
 
Biasanya, untuk meningkatkan pH tanah berpirit diperlukan sekitar satu ton kapur dolomit. Hal ini menyulitkan petani. Tetapi dengan teknologi organik, hanya diperlukan beberapa kg bahan organik sebagai anti pirit dan pembenah tanah.  
 
Selain itu, petani juga menghadapi wereng batang cokelat (WBC). Secara langsung, hama ini menghisap cairan tanaman padi. Daun menguning, kering, dan mati. Secara tidak langsung, hama ini bisa membawa virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput. Kedua virus ini dapat menyerang tanaman padi. Petanipun rugi.
 
Untuk mengendalikan WBC dapat menggunakan bahan kimia sintetis. Tapi kadangkala pengendalian dengan bahan kimia sintetis ini belumlah cukup. Diperlukan biopestisida untuk menekan risiko kerusakan tanaman padi karena serangan WBC. Biopesitisa ini antara lain menggandung jamur Metharizium spp. dan Beauveria bassiana, yang efektif sebagai biokontrol WBC pada tanaman padi.
 
Ada lagi cendawan Fusarium oxysporum. Cendawan ini tidak hanya menyerang tanaman pangan, tapi juga hortikultura dan perkebunan. Inang dari patogen ini antara lain bawang, pisang kentang, tomat, kubis, lobak, petsai, sawi, temu-temuan, semangka, melon, pepaya, salak, krisan, anggrek, kacang panjang, cabai, ketimun, jambu biji, dan jahe. Atau juga sawit, kelapa, lada, vanili, dan kapas.
 
Pengendalian cendawan ini dapat dilakukan dengan bahan kimia sintetis. Tapi dalam aplikasinya, petani sering kurang memperhatikan lima tepat: tepat dosis, waktu, cara, jenis, dan sasaran sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan produk-produk pertanian yang dihasilkan.
 
Pengendalian dengan teknologi hayati seperti menggunakan bakteri antagonis dapat menekan penyakit tersebut. Di sisi lain tetap dapat mendorong pertumbuhan tanaman tersebut. 
 
Berkenaan dengan hal di atas, Asosiasi Bio-Agroinput Indonesia (ABI) mengadakan Seminar Nasional dan Mini Expo bertema, Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati di Jakarta (28/8).
 
Acara ini sebagai salah satu upaya mendorong pertumbuhan dan perkembangan produksi dan aplikasi teknologi organik dan hayati dari produksi dalam negeri.
 
Menurut Gunawan Sutio, Ketua Umum ABI, “Tujuan diadakan seminar ini adalah untuk mengomunikasikan dan menyosialisasikan teknologi organik dan hayati dari produksi dalam negeri dalam pengendalian pirit, wereng batang cokelat, dan layu fusarium.
 
Selain itu juga untuk mendapatkan dukungan pemerintah dan parlemen terhadap pertumbuhan dan perkembangan produksi dan aplikasi teknologi organik dan hayati dari produksi dalam negeri. Kegiatan seminar ini juga dilengkapi dengan mini expo anggota ABI yang bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk organik dan hayati produksi dalam negeri.”
 
Seminar menghadirkan tiga kelompok pembicara, yakni akademisi pakar ilmu tanah dan proteksi tanaman dari Fakultas Pertanian IPB Bogor, anggota Komisi IV DPR RI dan pejabat pemerintah terkait, serta petani dan Pengamat Oganisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) serta petani yang mempraktikkan cara pengendalian hama penyakit dengan teknologi organik dan hayati.
 
Pada sesi pertama, tampil tiga pakar ilmu tanah dan proteksi tumbuhan IPB dengan moderator Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc., Dosen IPB Bogor, yakni:
 
1. Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr., Dosen IPB Bogor, “Pengelolaan Pirit pada Lahan Sawah Pasang Surut dengan Teknologi Organik dan Hayati, Terutama dari Produksi dalam Negeri”
 
2. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc., Dosen IPB Bogor, “Pengendalian Wereng Batang Cokelat pada Padi dengan Teknologi Organik dan Hayati, Terutama dari Produksi dalam Negeri”
 
3. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr., Dosen IPB Bogor, “Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Hortikultura dengan Teknologi Organik dan Hayati, Terutama dari Produksi dalam Negeri”
 
Pada sesi kedua, tampil lima pembicara dengan moderator Prod. Dr. Agus Kardinan, M.Sc. dari Badan Litbang Pertanian, yaitu:
 
1. Drs. Ibnu Multazam, anggota DPR RI dari Fraksi PKB, “Dukungan Parlemen terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Aplikasi Teknologi Organik dan Hayati, terutama dari Produksi dalam Negeri, pada Budidaya Pertanian Berkelanjutan dan Bebas Residu, untuk Mendukung Pengembangan Potensi Pasar Ekspor”
 
2. Endang Suparman, SP, MM, POPT Madya, Pusat Karantina Tumbuhan dan KHN, Badan Karantina Pertanian, Kementan, “Dukungan Perkarantinaan untuk Akselarasi Ekspor Komoditas maupun Sarana Pertanian”
 
3. Endah Susilawati, SP, Kasubdit Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, “Dukungan dan Regulasi terhadap Perizinan dan Pengembangan Biopestisida Produksi dalam Negeri”
 
4. Deddy Ruswansyah, Kusubdit OPT Serealia, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal, Tanaman Pangan, Kementan, “Pengembangan Aplikasi Teknologi Organik dan Biopestisida pada Tanaman Pangan, terutama dalam Pengendalian Wereng Batang Cokelat dan Pengelolaan Pirit”
 
5. Ir. Kurnia Nur, Kasubdit Data dan Kelembagaan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementan, “Pengembangan Aplikasi Teknologi Organik dan Biopestisida pada Tanaman Hortikultura untuk Mendukung Pencapaian Sasaran Mutu Ekspor Produk-Produk Hortikultura”
 
Pada sesi ketiga, tampil petani dan Pengamat OPT dengan moderator Dr. Ir. Wiwik Eko Widayati, MS, Dosen Sekolah Pasca Sarjana Prodi Bioteknologi UGM, yakni:
 
1. Farihin, Ketua Gapoktan Bina Tani Sejahtera, Banyuasin, Sumsel, “Aplikasi Pengelolaan Pirit di Lahan Sawah Pasang Surut dengan Teknologi Organik dan Hayati, Terutama dari Produksi dalam Negeri”
 
2. Ayi Mahmudin, POPT Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jabar, “Aplikasi Pengendalian Wereng Batang Cokelat pada Padi dengan Teknologi Organik dan Hayati, Terutama dari Produksi dalam Negeri”
 
3. Eko Suwasono, POPT Kecamatan Puger, Jember, Jatim, “Aplikasi Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Hortikultura dengan Teknologi Organik dan Hayati, Terutama dari Produksi dalam Negeri”.
 
Galuh Ilmia Cahyaningtyas
 
Editor: Peni Sari Palupi
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain