Foto: Istimewa
Tajuk 303
Tanah Air kita menapaki usia ke-74 tahun merdeka dari penjajahan. Usia yang matang untuk menjadikan negara agraris ini mandiri pangan. Namun, ketergantungan pangan malah kian menanjak tiap tahun.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB menghimpun data itu dari Jurnal Statistik Ekspor Impor Pertanian 2001-2013, Buletin Triwulan Ekspor Impor 2015, dan Basis Data Ekspor Impor Kementerian Pertanian 2015-2018.
Selama 2000-2018 impor 8 komoditas pangan utama: beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, singkong, bawang putih, dan kacang tanah sebesar 10,82 juta ton pada tahun 2000.
Sayang, impor ini meroket seiring naiknya kebutuhan pangan. Tahun lalu total impor mencapai 27,62 juta ton dari sebelumnya 25,53 juta ton. Bahkan pada 2017 negara ini menjadi pengimpor gandum terbesar dunia sebanyak 12 jutaan ton. Impor gula juga terbesar mengungguli China dengan volume 4,45 juta ton.
Pembangunan pertanian Indonesia mengalami revolusi besar didorong tekanan global dan lokal. Krisis moneter yang memicu krisis ekonomi memaksa pemerintah mengikuti kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) membuka sistem ekonomi proteksi menjadi liberal agar beroleh dana talangan US$43 miliar.
Tata kelola pemerintahan kita juga berubah dari sentralisasi selama setengah abad jadi desentralisasi. Desentralisasi memberi kewenangan daerah untuk mengatur wilayahnya.
Niat baik mengoptimalkan peran pemerintah daerah (pemda) menjadi bumerang kala kebijakan pusat tidak menyebar ke rakyat. Pembangunan sektor pertanian mandek di atas kertas karena prioritas setiap pemda berbeda-beda sesuai hasrat sang kepala.
Desentralisasi sejatinya kekuatan besar pendorong kemajuan pertanian bangsa ketika pemda turut serta di dalamnya. Mari berkaca pada Bambang M. Yasin, Bupati Dompu, NTB dan Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo 2006-2011. Keduanya berhasil mengangkat derajat daerah mengandalkan jagung sebagai komoditas unggulan.
Bambang sukses menaikkan pendapatan daerah yang mayoritas disumbang jagung lewat program PIJAR (Sapi, Jagung, Rumput Laut). Pada 2017, nilai produksi jagungnya sebesar 134% (Rp2,12 triliun) dari angka APBD Dompu yang mencapai Rp1.073 triliun. Pertumbuhan ekonomi pun naik, sedangkan kemiskinan dan pengangguran turun.
Kejelian Bambang memilih jagung didasari keterlibatan masyarakat yang banyak sebagai pelaku usaha dan familiar bertanam jagung turun-temurun.
Potensi pengembangan lahan jagung sangat luas di lahan marginal, tegalan, tadah hujan, dan bekas perladangan. Ditambah, pangsa pasar jagung terbuka lebar sebab Indonesia membutuhkan banyak jagung.
Periode kedua kepemimpinannya, Bambang konsisten mengembangkan sektor pertanian melalui TERPIJAR (Tebu Rakyat, Sapi, Jagung, Rumput Laut).
Konsisten terhadap pertanian juga dilakukan PM India Narendra Modi sehingga perekonomian negara ini tumbuh 7,1% selama 2018 di tengah perlambatan ekonomi dunia. Modi fokus pada reformasi di seluruh siklus pertanian mulai dari benih dan tanah hingga akses pasar.
Pada 2015-2018, ia mengeluarkan 130 juta lebih kartu kesehatan tanah yang memuat rekomendasi khusus nutrisi dan pupuk untuk meningkatkan produktivitas. Ia menerapkan 100% urea berlapis nimba guna perbaikan tanah sekaligus mencegah penyalahgunaan pupuk dan menyediakan irigasi seluas 2,85 juta ha.
Pemasaran hasil panen melalui skema Pasar Pertanian Nasional (e-NAM) yang menyatukan 585 pasar di India dan memotong pedagang perantara. Ia mengubah 22 ribu haat, pasar tradisional di area terbuka pedesaan menjadi pasar pertanian Gramin yang menguntungkan 86% petani kecil dan terhubung dengan toko online.
Lalu, investasi besar di pergudangan dan rantai dingin untuk mencegah kehilangan pascapanen dan menghasilkan nilai tambah. Modi juga fokus membangun sektor terkait dengan menyediakan Rs100 miliar buat infrastruktur perikanan, akuakultur, dan peternakan.
Memang berat membuat dan mematuhi kebijakan yang konsisten pada pertanian. Namun, itu bukanlah hal yang mustahil demi kedaulatan bangsa dan kesejahteraan penduduknya. Modi sudah membuktikannya. Siapkah kepala negara kita?
Windi Listianingsih