Foto: Windi Listianingsih
“Untuk menemukan sesuatu yang baru itu nggak harus peneliti. Siapa pun bisa menemukan.”
ABI mendorong pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Asosiasi itu sempat mati suri. Kehadiran Gunawan Sutio membawa Asosiasi Bio Agro Input Indonesia (ABI) kembali bersemangat menyebarkan teknologi pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bagaimana upaya Ketua Umum ABI dua periode itu menyelamatkan “perahu” ABI?
Teknologi Mutakhir
Gunawan menjelaskan, ABI dideklarasikan pada 26 Maret 2008 oleh produsen bio agro input dan kelompok profesional untuk membentuk organisasi layanan masyarakat.
Asosiasi ini bertujuan meningkatkan penggunaan bio agro input pada budidaya pertanian, menghimpun dan mengkoordinasikan semua potensi industri bio agro input atau bahan input biologis dan input pertanian organik, serta pengembangan bioteknologi pertanian sebagai sumber daya pembangunan pertanian.
ABI ingin berperan sebesar-besarnya untuk memajukan industri dan menyalurkan bio agro input guna menunjang pembangunan pertanian dalam subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan serta sektor lainnya.
"Kita dorong pemerintah untuk melibatkan ABI sebagai sumber informasi pemerintah terkait regulasi yang sifatnya ramah lingkungan. Kita punya teknologi yang sudah tersertifikasi, bisa dong menjadi salah satu acuan pemerintah, bantuan (pupuk) itu jangan selalu kimia,” tuturnya.
Gunawan menilai teknologi pupuk subsidi di Indonesia sudah kedaluwarsa. “Kita mau maju, mau agriculture 4.0. Industri 4.0 itu bagaimana mekanisasi, kualitas benih dan bibit yang lebih baik, sarana input produksi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Itu tujuan ABI dalam mendorong industri 4.0 yang siap bersaing,” ungkap Gunawan kepada AGRINA.
Membangkitkan ABI
Gunawan mengaku, ABI sempat vakum sekitar dua tahun. Akhirnya ia ditunjuk secara aklamasi sebagai Ketua Umum pada 2017.
Ayah dua anak ini pun mulai berbenah secara internal, mengumpulkan dan menanyakan komitmen anggota untuk memajukan ABI. “Tantangannya waktu itu nggak ada perusahaan yang berkompeten jadi tulang punggung. Tulang punggungnya ‘kan pendanaan,” ucapnya blak-blakan.
Setelah urusan “rumah tangga” ABI beres, Gunawan melangkah membuat program kerja berupa audiensi ke Kementerian Pertanian tentang keberadaan ABI, mengadakan pameran dan mendorong teknologi pertanian bebas residu salah satunya melalui gelar teknologi.
Momentum besar itu datang ketika merebaknya hama wereng batang cokelat (WBC) di Pantura Jawa pada 2018. Pemerintah mengadakan gerakan pengendalian (gerdal) wereng di Bekasi, Jabar.
ABI pun diminta kesediaannya mengatasi WBC dengan produk organik biopestisida. “ABI ngambil 80 ha di Bekasi. Kita berhasil dan di situ diperhitungkan.
Itu serangan berhenti, panen, kita tanam ulang dan hasilnya 8 ton lebih per hektar,” ulas Gunawan dengan bangga.
Sejak itulah gaung ABI kembali bersinar di dunia pertanian, khususnya padi.
Gelar teknologi saat itu juga dilaksanakan di Karo, Sumut. Di lahan yang terpapar abu vulkanik letusan Gunung Sinabung itu ABI berhasil memanen 1,5 kg kentang per batang dari 2.000 batang kentang.
Biasanya tanaman konvensional hanya mampu panen sekitar 0,7 kg per batang. ABI juga berhasil memanen padi gogo sebanyak 6,08 ton/ha dari sebelumnya 3-4 ton/ha.
Program ABI terus bergulir. Gelar teknologi tahun ini ada di lahan berpirit di daerah Musi Rawas, Sumsel. Hasil panen pada 8 ha demplot itu mencapai 7 ton/ha.
“Pemerintah mendorong lahan rawa. Kita lihat pemerintah terlalu fokus terhadap teknologi yang sudah agak ketinggalan atau itu-itu saja. Kita juga berharap dikasih kesempatan 20% teknologi yang digunakan itu teknologi yang lebih bagus, minimal mendidik petani. ‘Kan zaman berubah,” kritiknya dalam.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 300 yang terbit Juni 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/