Selamat Tahun Baru. Tahun 2018 dengan segala suka dukanya telah kita lalui. Sepanjang 2018 ada beberapa hal dalam dunia agribisnis yang bisa menjadi catatan. Catatan itu bisa baik, bisa pula kurang baik sehingga perlu evaluasi.
Betapa senang melihat angka-angka hasil kerja keras pemerintah dan jajarannya. Nyaris target-target utama yang dicanangkan tahun sebelumnya tercapai. Komoditas utama padi, jagung, dan kedelai yang diupayakan secara khusus, hanya kedelai yang belum memenuhi harapan.
Namun hingga kini masih saja ada sebagian masyarakat kurang meyakini keabsahan data pemerintah. Kita ingat debat hangat soal produksi padi yang dikoreksi Badan Pusat Statistik. Badan satu-satunya yang berhak merilis data pangan tersebut memperbarui metodenya dengan menggandeng instansi lain yang juga berkompeten. Hasilnya dirilis 22 Oktober 2018. Data perkiraan produksi padi yang baru ternyata 32% lebih ketimbang data kementerian terkait.
Data jagung juga memicu perdebatan karena ketika klaim surplus 12 juta ton mengemuka, di sisi lain peternak unggas, khususnya ayam petelur berteriak kekurangan jagung untuk pakan ayam mereka. Apalagi pemerintah juga mendorong ekspor jagung ke negara tetangga.
Soal hitung-menghitung ini memang buntutnya panjang. Pun soal populasi sapi, perlu data yang lebih rinci di lapangan terkait umur dan jenis kelamin ternak. Dan lebih akurat lagi, para pelaku usaha mengusulkan pemasangan chip pada tubuh ternak. Chip ini memuat data kelahiran, silsilah, pemilik, alamat, sejarah vaksinasi, dan sebagainya. Kalau memungkinkan lagi, ada data kapan target waktu penjualan atau pemotongannya.
Tujuannya, tidak terjadi hitungan ganda, seekor sapi terhitung dua karena pindah ke lokasi lain. Tidak terjadi perkawinan sedarah bila sapi itu untuk indukan. Data ketersediaan sapi yang siap potong lebih mudah dicari dan lebih andal. Apalagi saat jelang hari-hari besar yang meningkatkan permintaan. Selama ini data produksi daging sapi acap tidak cocok dengan kondisi lapangan. Sapi yang didata siap potong ternyata hanya dipelihara sebagai tabungan yang tidak jelas kapan akan menjadi daging. Walhasil, perhitungan meleset, harga daging melesat.
Kita tentu tak ingin perdebatan tentang data selalu terjadi tanpa penyelesaian yang meyakinkan. Kita ingin pihak yang paling berkepentingan juga dilibatkan dalam perbaikan metode hitung BPS.
Selain itu, kita juga melihat koordinasi antarinstansi pemerintah belum padu benar. Masih ada egosektoral yang merugikan masyarakat. Misalnya data legalitas lahan. Tiga instansi: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional perlu duduk bersama memutuskan sesuai kepentingan nasional.
Ketidakpaduan ketiga instansi itu mengakibatkan banyak kasus peta lahan yang tidak cocok dengan fakta lapangan. Di peta masih tercatat sebagai hutan, sementara di lapangan bukan lagi hutan, bahkan kantor bupati. Ini berdampak ke hukum juga. Kalau itu perkebunan sawit, bisa jadi statusnya ilegal. Kebun ilegal tidak akan bisa menjalani sertifikasi. Pun kalau itu kebun petani yang tanamannya sudah layak diremajakan, tanpa sertifikat lahan di tangan, petani tak akan bisa ikut program peremajaan. Persoalan lahan ini kiranya perlu campur tangan presiden agar segera terselesaikan.
Catatan lain adalah terpuruknya harga sawit yang berkepanjangan. Kendati faktor internasional juga berpengaruh setidaknya sejumlah pilihan jalan keluar dari dalam negeri bisa dieksekusi. Pemerintah, swasta, termasuk petani mengerjakan pekerjaan rumah masing-masing agar komoditas andalan nasional ini kembali kencang meraih devisa.
Di sektor perikanan, ganjalan terutama terkait perizinan tambak dan adanya pungutan yang tidak jelas payung hukumnya. Pembudidaya juga mengeluhkan pelarangan operasional keramba jarring apung di perairan umum dengan cemaran alasan cemaran pakan. Padahal sekarang sudah ada teknologi pakan apung dan minim fosfor yang minim pencemaran.
Peni Sari Palupi