Cara paling efektif untuk menyampaikan kebenaran adalah komunikasi yang tepat dengan bahasa sederhana.
Energik. Itulah kata yang pertama terngiang ketika bersua dengan Kanya Lakshmi Sidarta. Perempuan berparas manis ini juga sangat bersemangat mengulas geliat industri sawit di Bumi Pertiwi. Bahkan melalui kiprahnya di dunia kerja, organisasi, hingga kehidupan pribadi, ia gencar menyuarakan karunia atas keberadaan kelapa sawit di Indonesia. Mengapa Lakshmi, sapaan akrabnya, begitu antusias akan emas cair itu? Temukan jawabannya dalam perbincangan seru bersama AGRINA.
Kenyataan Menggemaskan
Bermula dari keinginan menjadi “organ tubuh” dalam sebuah perusahaan justru mengantarkan Lakshmi pada kenyataan yang membuat gemas setengah mati. Setelah malang-melintang memulai kerja sebagai staf akuntan pada 1992, berlanjut menjadi auditor, hingga menempati posisi Head of Corporate Finance & Investor Relation di PT Bakrie Sumatera Plantations, Tbk. pada 2004. Perjalanan karir di Bakrie inilah yang mengawali kegemasannya pada kenyataan yang menimpa dunia sawit.
Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) itu, industri sawit Tanah Air mendapat banyak perhatian seiring maraknya tekanan. Sebelum 2006, sawit cenderung dipandang sebelah mata dan kalah pamor dari sektor minyak dan gas (migas). Bahkan, negara luar pun biasa saja melihatnya. Tetapi begitu sawit Indonesia menjadi nomor satu dunia pada 2006 hingga saat ini, banyak pihak geger dan merasa gerah.
Sejak memimpin produksi minyak nabati dunia, sawit semakin mendapat perhatian dan menjadi anak kesayangan di dalam negeri. Pasalnya, dibedah dari sisi neraca perdagangan, tanaman suku palma itu menyumbang penerimaan negara terbesar, mencapai US$23 miliar atau setara Rp380 triliun. Sedangkan pendapatan dari sektor migas terus turun seiring melemahnya harga minyak dunia. “Andai kata sawitnya dilewat, (neraca perdagangan) kita njungkel. Kita itu negatif. Jadi, neraca perdagangan kita terdongkrak menjadi tetep surplus karena adanya bantuan dari sawit,” kata perempuan yang memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman di bisnis sawit sebagai Independent Director PT Golden Plantation, Tbk..
Bermacam tekanan lantas datang dari luar negeri, khususnya negara-negara produsen minyak nabati (vegetable oil) lain. “Orang luar itu bereaksi setelah bertahun-tahun (menguasai pasar). Orang itu melihatnya ke depan bagaimana ini,” ungkap Lakhsmi. Banyak juga orang yang menilai sawit tidak sehat dan merusak lingkungan karena minim pengetahuan. “Sementara yang saya bawakan, yang saya jalani di dalam kehidupan seharian, di dalam data, nggak ada yang jelek. Dibanding vegetable oil yang lain kita the best (terbaik),” ulasnya geregetan.
Bahkan, sawit memberi manfaat kepada banyak orang di kota dan desa. Lahan kosong tanpa kehidupan pun menjadi bergeliat karena sawit. “Dulu Kisaran (Kab. Asahan, Sumut) kota mati. Kota itu tumbuh setelah ada perkebunan (sawit). Apa nggak mulia?” tegasnya.
Setelah berjalan bertahun-tahun, orang luar masih menuduh sawit menggunakan tenaga kerja anak-anak di bawah umur dan ibu-ibu. “Kok, saya nggak lihat semua itu. Saya geram. Kita yang ngelihat sendiri, kita yang ngejalani sendiri,” lanjut lulusan Magister Manajemen IPB itu.
Bagi Lakhsmi, memperjuangkan sawit berarti menjaga kebanggaan menjadi merah-putih. “Ya bayangin aja, bangsa kita sudah kayak dijajah. (Jual sawit) ke sini nggak boleh, ke situ nggak boleh. Jadi, kenapa saya berjuang kayak orang gila karena sudah mulai terusik kebangsaannya,” tandasnya.
Komunikasi dan Senyum
Dia menuturkan, cara paling efektif untuk menyampaikan kebenaran tentang sawit adalah komunikasi yang tepat menggunakan bahasa sederhana ke lingkungan terdekat hingga masyarakat dunia. “Kita sampaikan dalam ‘bahasa kita’. Nggak usah jauh-jauh, ke lingkungan kita dulu dong, anak kita, tetangga kita,” katanya. Jika semua orang yang ada dalam industri sawit menyampaikan hal itu tentu pengaruhnya akan sangat besar.
Bahkan, ibu bagi Putri Laras Kamila dan Dimas Abyan Tamir ini melakukan komunikasi tentang sawit dengan kedua anaknya. “Pelan-pelan gue ajarin anak gue. Berupaya bagaimana bisa menjelaskan dalam bahasanya anak-anak,” jawabnya dalam bahasa gaul. Ketika sang anak diminta membuat prakarya tentang hutan hujan tropis (rain forest) dan menemukan gambaran sawit yang dinilai buruk, Lakhsmi mengarahkannya pada sawit yang bagus. “Nih pohon sawit hijau ‘kan? Tinggi nggak? Tinggi. Terus kira-kira yang dimaksud rain forest apa? Jadi lama-lama dia berkembang dalam bahasa dia,” ujarnya menirukan pengalaman bersama anak.
Lakhsmi menilai, berbagai seruan negatif yang datang merupakan tantangan untuk menjadi lebih kreatif, salah satunya melawan dengan senyum. “Kalau orang marah, lawanlah dengan senyum. Kita santai aja, senyumin aja,” ucapnya sambil tertawa. Sebab, lama-kelamaan energi orang yang marah itu akan habis dengan sendirinya tanpa kita repot meladeni.
Apalagi, gencarnya seruan negatif juga membawa hikmah dengan banyak orang yang bertanya dan penasaran perihal sawit. Tinggal, tugas pelaku industri sawit adalah menjelaskan sesuai pertanyaan yang diminta. “Nggak usah semua dijelasin, kita ‘kan bukan manusia super. Balik lagi, lu maunya apa, gue jelasin deh,” cetus penikmat masakan Sunda dan Manado itu sederhana.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 288 yang terbit Juni 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/