Sawit kian menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Produk minyak sawit membawa masuk devisa ke Tanah Air sebanyak US$18,64 miliar pada 2015. Meskipun turun dari tahun sebelumnya, US$21,1 miliar, akibat anjloknya harga minyak bumi, devisa tersebut melebihi sektor migas yang bertahun-tahun menjadi andalan negeri ini. Anjloknya harga minyak bumi juga membuat devisa dari migas melorot hanya US$12 miliar.
Begitu pentingnya komoditas sawit bagi ekonomi Indonesia termasuk untuk petani kecil dan keluarganya. Hal ini tercermin dari penelitian yang dilakukan Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI) pada 2016. Hasil riset yang melibatkan 1.350 petani kecil kelapa sawit di 96 desa dalam dua provinsi, Riau dan Sumatera Selatan, menunjukkan, sebesar 69% petani kecil tidak bersedia menerima kompensasi untuk tidak membuka lahan baru dan ada 31% petani kecil yang bersedia tidak membuka lahan baru tetapi meminta kompensasi.
Ini artinya petani amat bergantung kepada sawit sebagai sumber ekonominya. Apalagi di Riau yang menjadi provinsi dengan luasan kebun sawit terbesar di Indonesia. Masih dari penelitian UI tersebut, petani Riau termasuk yang meminta kompensasi tinggi, Rp133 juta per hektar lahan sawit bila ia tidak diperbolehkan membuka lahan baru.
Kebun sawit teramat penting bagi kawasan Riau. Di provinsi ini lebih dari 50% lahan adalah gambut. Maka ketika ada moratorium perluasan perkebunan sawit khususnya di lahan gambut, pemerintah daerah di sana cukup risau karena bagaimana pun juga sawit adalah sumber kemakmuran rakyatnya. Dalam suatu acara sawit di Jakarta, salah satu gubernurnya menyatakan kebingungannya untuk melarang warga memanfaatkan lahan gambut. “Warga kami harus berkebun di mana lagi kalau gambut dilarang dimanfaatkan?” cetusnya.
Lahan gambut memang termasuk yang dihindarkan dalam perluasan perkebunan karena dinilai berisiko menimbulkan dampak lingkungan seperti banjir, kebakaran lahan, dan menghasilkan emisi gas rumah kaca. Selain lahan gambut, hutan dan kawasannya juga terlarang bagi perluasan kebun.
Namun di Kalimantan Tengah, bukan saja kebun sawit, kantor bupati Gunung Mas dan perumahan warganya pun terletak di dalam kawasan hutan. Hal tersebut berakar dari belum diputuskannya Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Provinsi (RTRWP) yang baru.
Perluasan kebun sawit bisa dipandang sebagai pembangunan wilayah dan pertumbuhan ekonomi warga Di sisi lain, terutama oleh aktivis lingkungan hidup, perluasan kebun sawit dianggap merusak hutan. Jadi kepentingan ekonomi berhadapan dengan kepentingan lingkungan. Dua-duanya sama pentingnya karena itu perlu kompromi yang tepat sehingga negara dan rakyat tidak dirugikan akibat tidak seimbangnya porsi.
Kabar baik datang dari Kalimantan Tengah bulan lalu. Kementerian Pertanian, Pemprov Kalimantan Tengah dengan tiga kabupatennya, yaitu Seruyan, Kotawaringin Barat, dan Gunung Mas bekerja sama dengan lembaga nonpemerintah, Inobu merilis Sistem Informasi dan Pemantauan Kinerja Perkebunan Berkelanjutan (Sipkebun). Sipkebun ini sistem online yang mengintegrasikan data dan peta semua perkebunan sawit, baik yang dikelola perusahaan maupun petani swadaya. Data tersebut juga dalam pengelolaan Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian.
Melalui Sipkebun pemerintah mengetahui siapa yang menanam, di mana, dan bagaimana kelapa sawit berkembang. Sistem ini memungkinkan Pemerintah memantau semua kebun kelapa sawit dan mengidentifikasi kebun yang menerapkan praktik yang berkelanjutan maupun praktik yang melanggar peraturan, misalnya yang membakar lahan dan membuka hutan yang dilindungi.
Dengan data tersebut, semua unsur pemerintah, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Bappenas, juga DPRD dapat berkoordinasi dalam urusan RTRWP yang baru. Legalitas kebun menjadi lebih terang benderang, konflik sosial terhindarkan, dan lingkungan bisa lebih terjaga, semoga.
Peni Sari Palupi