Minggu, 14 September 2014

Memperbesar “Kue” Ekonomi dari Sawit

Agaknya Sang Pencipta lebih "berpihak" ke Indonesia dengan menganugerahkan "tanaman ajaib" kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit telah membawa Indonesia termasyur sebagai produsen crude palm oil (CPO) terbesar dunia dan bahkan  produsen terbesar minyak nabati dunia.

Bukan sekadar terkenal di dunia, sawit juga memberi "kue" ekonomi yang cukup besar bagi Indonesia. Dari ekspor minyak sawit, Indonesia meraup devisa (net ekspor) sekitar US$20 miliar setiap tahun. Tidak ada komoditas ekspor Indonesia  saat ini yang mampu meraup devisa bersih sebesar sawit. Selain itu penerimaan pemerintah dari bea keluar ekspor minyak sawit secara akumulatif selama lima tahun terakhir sudah mencapai Rp100 triliun atau Rp20 triliun setiap tahun. Ini berarti dari bea keluar minyak sawit saja dapat atau bahkan lebih, membiayai APBN Kementerian Pertanian setiap tahun.

Menurut Bank Dunia dan para peneliti Indonesia, perkebunan sawit yang berkembang pada 185 kabupaten di Indonesia berperan penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan tingkat kemiskinan. Palm Oil Agribusiness Policy Institute - PASPI  (2014) mengungkapkan, peningkatan produksi CPO mampu melecut pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi kemiskinan secara signifikan di sentra-sentra sawit. Bahkan para petani sawit yang jumlahnya sekitar 2 juta rumah tangga telah naik kelas menjadi golongan berpendapatan menengah (middle class economy) di kawasan pedesaan.

Produk dari minyak sawit, seperti minyak goreng, mentega, sabun, deterjen, shampo, pasta gigi, dan kosmetika makin tersedia dan mudah diperoleh. Dapat dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki kebun sawit yang cukup luas, maka  kita terpaksa harus mengimpor produk tersebut.

Perkebunan sawit juga berfungsi ekologis dan menghasilkan jasa lingkungan global (Henson, 1999; PPKS, 2004). Setiap tahun perkebunan sawit Indonesia  menyerap 300 juta ton gas karbondioksida yang merupakan emisi dari industri dan kendaraan bermotor global dan menghasilkan oksigen sekitar 15 juta ton. Gas karbondioksida yang diserap tersebut disimpan dalam biomassa (standing biomass) perkebunan sawit yang saat ini diperkirakan berjumlah 700 juta ton. Jasa lingkungan tersebut diberikan gratis untuk kehidupan di bumi.

Selain itu, Indonesia juga sudah menjadi produsen biodiesel berbahan baku minyak sawit dengan kapasitas sekitar 5.6 juta ton. Industri biodiesel tersebut merupakan langkah awal membangun kemandirian energi, mengurangi impor solar fosil, mengurangi devisa untuk impor solar dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Kue" ekonomi dari sawit masih bisa diperbesar dan diperluas di masa yang akan datang. Caranya melalui dua strategi  Big-Push, yakni Peningkatan Produksi CPO (khususnya produktivitas) dan Hilirisasi  3- Jalur (jalur oleofood, oleokimia, biodiesel) yang dipercepat. Strategi tersebut perlu ditopang kebijakan antara lain penyelesaian tataruang, pertanahan, infrastruktur dan pelabuhan, penguatan petani sawit, penurunan tingkat suku bunga, dukungan R&D, penyederhanaan perizinan usaha dan investasi, perdagangan internasional, dan percepatan mandatori biodiesel.

Jika kebijakan strategis tersebut dapat dijalankan, Indonesia akan mudah melengkapi prestasi raja CPO dunia yang telah diraih dengan "raja": oleopangan, surfaktan, pelumas dan biodiesel dunia. "Kue" ekonomi dari sawit akan makin besar dan meluas. Percepatan pertumbuhan ekonomi daerah terpencil dan pengurangan kemiskinan akan meluas ke 190 kabupaten. Penyerapan tenaga kerja akan meningkat menjadi sekitar 8 juta orang dan jumlah petani sawit akan naik menjadi 2,5 juta rumah tangga. Peningkatan penggunaan biodiesel akan mengurangi impor solar fosil  sekitar 10 juta ton per tahun dengan nilai sekitar US$11 miliar. Devisa yang kita peroleh akan mencapai sekitar US$35 miliar. Dan emisi gas rumah kaca Indonesia akan berkurang hampir 400 juta ton.

Sentuhan "tangan dingin" dari pemerintahan baru Jokowi-JK sedang ditunggu. Sebagaimana janji kampanyenya mendengarkan rakyat dan melaksanakannya, Jokowi-JK diharapkan dapat melihat masa depan yang gemilang itu dengan mengeksekusi kebijakan strategis Big-Push tersebut dalam lima tahun ke depan. Pelaku bisnis persawitan juga jangan “tunggu bola”, namun perlu lebih proaktif  ke depan.

Harap waspada! Banyak negara yang tidak menghendaki Indonesia menjadi bangsa yang besar, berdaulat, dan mandiri termasuk pada industri minyak sawit. Gerakan kampanye hitam (black campaign) antisawit global secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan meminjam tangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti yang  terjadi dalam 10 tahun terakhir, akan berupaya menghadang Indonesia ke depan. Negara-negara produsen minyak nabati global yang telah dikalahkan Indonesia jelas tidak legowo jika Indonesia makin berjaya dan akan mengambil "kue" ekonomi yang lebih besar dari industri minyak nabati global termasuk industri energi nabati global.

Tungkot Sipayung

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain