Permintaan benur udang melonjak. Bagaimana ketersediaannya?
Kabar gembira datang dari si bongkok. Kekurangan pasokan udang dunia sekitar 300 ribu ton akibat wabah penyakit kematian dini (Early Mortality Syndrome, EMS) di negara-negara produsen menyebabkan harga udang melonjak.
Harga udang di Lampung sebelumnya berkisar Rp55 ribu/kg menjadi Rp95 ribu - Rp100 ribu/kg untuk ukuran 60-70 ekor/kg. Sedangkan di Serang, udang size 60 senilai Rp85 ribu/kg dari sebelumnya di bawah Rp70 ribu/kg.
Hal itu mendorong pembudidaya udang di seluruh Indonesia berlomba-lomba mengisi tambak. Akibatnya, pembudidaya udang berebut benur sehingga terjadi antrean.
Mengantre Benur
Provinsi Lampung sebagai salah satu sentra udang nasional mengalami kejadian itu. Tambak-tambak yang sebelumnya jadi sarang nyamuk kembali ditebari benur. Belum lagi di tambak bekas PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) di Kab. Tulang Bawang, diperkirakan seribuan tambak mandiri kembali beroperasi. Akibatnya terjadi lonjakan permintaan benur sejak Agustus lalu. Karena ketersediaan benur di hatchery besar tidak banyak berubah, hatchery kecil di Kec. Rajabasa, Lampung Selatan yang selama ini mati suri kembali bergairah.
Menurut Hanung Hernadi, Ketua Forum Komunikasi Praktisi Aquakultur (FKPA) Lampung, melonjaknya harga udang membawa keuntungan bagi petambak dan praktisi. Namun, ia juga mengkhawatirkan kehadiran tambak mandiri akan membesarkan benur berpenyakit bisa mematikan aktivitas budidaya udang. Untuk itu Hanung mewanti-wanti anggota praktisi agar tidak jor-joran menaikkan kepadatan tebar karena tergiur harga udang tinggi dan seleksi benur tetap diperketat.
Hanung mengakui, sejak Agustus lalu, untuk mendapat pasokan benur dari hatchery terpaksa mengantre karena permintaan meningkat. “Sebetulnya kebutuhan benur dari tambak intensif tidak banyak mengalami perubahan, hanya masa panen saja lebih cepat. Pada ukuran 60-70 ekor/kg udang sudah dipanen karena harganya tinggi, hingga Rp102 ribu/kg,” jelasnya.
Hal ini juga diutarakan Hikmat Darmawan, mitra kelompok pembudidaya udang di Pontang, Serang, Banten. “Sudah dua bulan lalu antre karena banyak tambak beroperasi lagi,” tukasnya. Hikmat pun terpaksa mengosongkan sebagian tambak udangnya lantaran kehabisan stok benur.
Membengkaknya permintaan benur di Lampung, diakui Hanung, mengatrol harga benur yang tadinya Rp35/ekor, kini jadi Rp40/ekor. Menurut Wahyudi Joko Santoso, praktisi hatchery dan Tim Iptek FKPA serta Agus Suryawinadi, Technical Service and Support Hatchery PT Suri Tani Pemuka, kenaikan harga benur disebabkan kebaikan biaya produksi yang sebagian besar masih diimpor, seperti pakan alami dan indukan. Benur, sambung Agus, naik sekitar 10% menjadi Rp35 - Rp40/ekor sejak tiga bulan lalu. Meski demikian, dengan harga udang yang saat ini di atas Rp 90 ribu/kg, margin keuntungan petambak tetap tinggi jika survival rate (SR) di atas 70%.
Permintaan Naik 20%
Bambang Nardianto, praktisi hatchery yang juga anggota Tim Iptek FKPA Lampung mengakui, terjadi kenaikan permintaan benur sejak Agustus lalu. “Ada kenaikan permintaan sekitar 20% dari sebelumnya sehingga terjadi penjadwalan pengiriman benur ke tambak,” ujar Bambang kepada AGRINA, pekan lalu.
Suwarso Darsono, teknisi backyard udang di Kec. Pagu, Tuban, Jatim ikut kebanjiran order naupli. Permintaan naupli mencapai 50 juta ekor/hari tetapi ia hanya sanggup menyuplai sekitar 25-30 juta ekor/hari. “Permintaan yang datang sampai saya tolak,” ujarnya menggambarkan.
Permintaan benur di hatchery milik pemerintah juga tak kalah banyak. “Kira-kira 15 ribu ekor induk mulai kita kirim 6 bulan terakhir inilah. Permintaan satu-dua bulan ini mencapai 10 ribu induk. Ngantri mereka,” tukas Ir. Ida Bagus Made Suastika Jaya, M.Si, Kepala Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIUUK) Karangasem, Bali. Made memprediksi, permintaan induk dan benur akan meningkat hingga Februari mendatang.
Program revitalisasi tambak yang diluncurkan pemerintah tahun lalu di Jabar - Banten dan meluas ke Jateng, Jatim, lampung, Sumsel, dan Sumut pada tahun ini juga membutuhkan benur yang seharusnya dipersiapkan sejak tahun lalu. Di Lampung sendiri terdapat sekitar seribuan ha tambak mandiri bekas PT AWS di Tulangbawang yang kembali aktif. Belum lagi adanya tebar serentak yang dipicu kenaikan harga udang di pasar internasional sejak Agustus lalu. Bahkan sebagian petambak intensif juga melakukan penambahan volume tebar hingga 20%.
Joko menaksir kebutuhan benur di Lampung, minus tambak mandiri eks PT AWS saat ini mencapai 400 juta ekor/bulan. Meski terjadi lonjakan permintaan ke hatchery lokal, pasokan benur dari hatchery sendiri stagnan sehingga dipasok dari luar daerah seperti Anyer, Banten dan Situbondo, Jatim.
Sementara Agus memberi pandangan berbeda. Menurutnya, melambungnya permintaan benur agak semu sebab hanya dialami oleh sebagian produsen yang sudah dipercaya pasar. Sementara, produsen lain tidak mengalami pertambahan permintaan lantaran menurunnya kualitas benur yang dihasilkan akibat efisiensi biaya produksi.
Terkait produksi benur, ulas Bambang, hatchery perlu waktu setahun sebelumnya. Apalagi untuk meningkatkan produksi benur, hatchery juga kesulitan indukan. Selain itu, adanya larangan memasukkan indukan dari negara-negara yang terserang EMS, seperti China, Thailand, Malaysia dan Vietnam, bikin pasokan indukan udang terbatas hanya didatangkan dari Hawaii, AS. Kendala lainnya, nilai ekonomi benur hanya antara post larvae (PL) 8 hingga PL 10. “Jadi benur itu hanya bisa jadi uang selama tiga hari saja pascapersiapan, penetasan hingga pembesaran selama 17 hari,” jelas Bambang.
Windi Listianingsih, Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)