Minggu, 3 Nopember 2013

LIPUTAN KHUSUS : Siap Menyambut Strain Baru

Seiring meningkatnya permintaan benur udang vaname F1, benur produksi vaname domestikasi juga menanjak. Bagaimana performanya?  

Menurut Ir. Ida Bagus Made Suastika Jaya, M.Si, Kepala Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIUUK) Karangasem, Bali, momen harga udang tinggi membuat pembudidaya bersemangat untuk melakukan penebaran udang vaname. “Sekarang kebutuhan benur meningkat sangat cepat. Namun demikian, kita upayakan menyuplai induk-induk yang diproduksi dengan cara benar, bertanggung jawab, dan bebas virus,” ungkap Made.

BPIUUK tengah mengembangkan induk udang vaname hasil domestikasi yang disebut strain Karangasem. Pembuatan induk strain Karangasem dimulai pada 2011 dan sudah dikeluarkan sejak 2012 lalu sebanyak 17 ribu ekor induk. Distribusi induk vaname strain Karangasem ini telah mencapai Lampung; Situbondo, Banyuwangi, Tuban, Probolinggo (Jatim); Jepara, Cilacap (Jateng); Anyer (Banten); hingga Makassar (Sulsel).

Strain Karangasem

Made menjelaskan, udang vaname strain Karangasem mulanya berasal dari 9 induk perpaduan lokal dan impor. “Kita mencoba memadukan antara induk impor dan lokal dari berbagai sumber termasuk Situbondo (Vaname Nusantara I), Banyuwangi, Global Gen, dan Kona Bay. Kita punya 9 sumber tapi setelah diuji, yang punya heterozigositas tinggi itu hanya dari dua turunan,” paparnya. Ia berharap, dalam sebelas bulan ke depan akan ada induk terbaik yang berhasil diidentifikasi dari kedua turunan itu.

Kualitas induk dinilai berdasarkan empat parameter, yaitu kecepatan matang gonad dari proses ablasi, fekunditas, variabilitas, dan pertumbuhan benur setelah ditebar di tambak. “Heterozigositasnya sekitar 0,7-0,8. Standar kita maturasi itu dua minggu setelah dipindah dari bak induk ke tempat maturasi, terus menghasilkan nauplius satu minggu setelah ablasi. Variabilitas ukuran dari nauplius ke post larvae (PL) selama 6 hari. Fekunditas minimal satu ekor menghasilkan 100 ribu telur. Kemarin pembuktiannya ada yang 150 ribu di Banyuwangi, di Tuban hanya 100 ribu telur,” terang Made. Harga induk ini dibandrol cukup murah, “Induk betina hanya Rp25 ribu/ekor, induk jantan Rp15 ribu/ekor, sepasang Rp40 ribu,” imbuh mantan Kepala Balai Budidaya Laut Lombok tersebut.

Permintaan induk strain Karangasem mencapai 15 ribu ekor selama 6 bulan terakhir. Sementara induk yang diproduksi sepanjang tahun ini sebanyak 30 ribu ekor. Salah satu pengguna induk strain Karangasem adalah Suwarso Darsono, teknisi backyard udang di kawasan Panyuran, Kec. Pagu, Kab. Tuban, Jatim yang sudah tiga kali membeli induk dari BPIUUK. Selama menggunakan induk Karangasem, ungkap Warso, begitu ia disapa, “Nggak ada masalah, pertumbuhannya bagus, tingkat kematiannya di bawah 5%.”

Saat ini, imbuh Made, BPIUUK tengah bekerja sama dengan tim peneliti Kona Bay Marine Resource, Hawaii untuk mengembangkan indukan vaname di Indonesia. “Dia nanti bawa sumber genetik dari negara asal, dia produksi di Karangasem, menyuplai induk untuk masyarakat di sini dengan harga lebih murah tanpa biaya angkut lebih tinggi. Itu akan mempercepat proses kelangkaan induk untuk memproduksi benih di Indonesia,” ulasnya.

Keberhasilan VN1

Made menambahkan, ramainya pembudidaya dan pembenih memilih benur domestikasi atau lokal lantaran kesuksesan budidaya udang di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, Jabar yang menggunakan strain Vaname Nusantara (VN) 1. Strain VN1 ini dirakit oleh tim perekayasa di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jatim pada 28 Juni 2009 silam. “Hasil Vaname Nusantara 1 yang sudah dicoba di Karawang produksinya tidak kalah dengan F1 dari induk impor. Produktivitasnya di tambak dapat 18-20 ton/ha dengan sistem intensif,” ucap pria asli Tabanan, Bali, ini. Jadi, masyarakat sudah mulai yakin bahwa induk lokal hasilnya tidak kalah dengan induk impor.    

Hal ini dibenarkan Gemi Triastutik, S.Pi, perekayasa BBAP Situbondo, Jatim. “Di Karawang baru mencoba satu siklus, ini sekarang yang kedua. Hasilnya keseragaman sudah bagus, mungkin menyamai F1 (induk impor). Survival rate (SR, kelangsungan hidup) kurang lebih 90%. Performance (keragaan) benurnya setara F1,” ungkap Gemi. Meski dari segi ukuran induk VN1 lebih kecil daripada induk F1, fekunditasnya mencapai 100 ribu-150 ribu telur/ekor induk. “SR telur ke naupli 90%, dari naupli ke benur bisa 60%-70%, dan untuk petakan di tambak, SR kurang lebih 80%-90%,” imbuhnya.

Keberadaan VN1 ini, sambung Gemi, sebagai alternatif benur berkualitas yang dijual di pasar dengan harga terjangkau, mendampingi benur F1. Benur VN dijual seharga Rp20/ekor, sedangkan benur F1 berkisar Rp35-Rp40/ekor. Harga induk VN sekitar Rp25 ribu/pasang, sementara induk F1 mencapai Rp500 ribu-Rp700 ribu/ekor. “Ke depan kami akan membuat vaname yang tahan virus. Ini sedang proses riset untuk menyiapkan induk yang spesifik tahan terhadap virus tertentu, mungkin sekitar 50% dikerjakan,” papar Gemi. Jadi, makin banyak pilihan induk dan benih udang berkualitas bukan?

Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain