Melawan mikotoksin seperti menghadapi perang gerilya. Awalnya tidak tampak, tahu-tahu efeknya terlihat jelas.
Masih ingat kisah Perang Troya dalam mitologi Yunani? Ide cemerlang dari Odisseus, salah satu pahlawan Yunani, untuk membangun kuda raksasa sebagai tempat persembunyian tentara Yunani, membuahkan hasil manis. Pasukan Troya yang menyangka kuda tersebut merupakan pernyataan kalah dari Yunani, bersukacita membawanya masuk ke jantung kota dan merayakan kemenangan mereka atas Yunani. Namun, pada malam harinya pasukan Yunani yang bersembunyi di dalam kuda keluar dan menghabiskan kota Troya.
Mikotoksin, yang merupakan metabolit sekunder dari cendawan, diasosiasikan dengan kuda raksasa Yunani kuno itu karena dampaknya nyaris sama besar. “Sifat serangannya memang betul seperti itu. Silent, tidak tampak. Tapi efeknya sangat terlihat. Tahu-tahu produksi telur turun, tahu-tahu berat badan tidak naik, atau tahu-tahu ada gangguan pada hati,” tutur Agus Suryanto, Manajer Mutu, Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, dalam seminar Mycotoxins: The New Age Trojan Horse, di Jakarta, awal Oktober lalu.
Batasan MikotoksinTidak hanya pada ayam atau kelompok unggas, cemaran mikotoksin juga menyasar ikan, mamalia, bahkan manusia. Bahkan, kandungannya dapat bertahan pada produk yang dihasilkan seperti telur, susu, ataupun daging. Agus mencontohkan, produk susu dari Indonesia pernah ditolak di Eropa karena cemaran mikotoksin yang di atas ambang batas toleransi.
Keamanan produk ternak ini sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam UU tersebut dijelaskan, sudah ditetapkan batas tertinggi kandungan bahan pencemar fisik, kimia, dan biologis pada pakan dan/atau bahan pakan. Diatur pula pakan yang diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik.
“Dalam standar nasional Indonesia (SNI) ada dua mikotoksin yang diatur, yaitu aflatoksin dan okratoksin, sedangkan yang lainnya masih dalam proses. Ada pula pengaturan berupa Persyaratan Teknis Minimal (PTM),” papar dokter hewan lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut. Dalam SNI, rentang kandungan aflatoksin yang diizinkan sekitar 20-200 ppb, tergantung jenis ternak (lihat tabel Batas Maksimal Aflatoksin SNI Pakan).
Pengaruhi Imun Ternak
Bahaya mikotoksin memang tidak main-main. Menurut Teguh Prajitno, Managing Director Vaccine Production Unit, PT Vaksindo Satwa Nusantara, salah satu yang membahayakan dari mikotoksin adalah kestabilannya dalam suhu panas. “Jadi, walaupun diformulasikan pada pakan, dia sangat stabil. Bahkan pakai bahan kimia pun sangat sulit dihilangkan,” tandasnya dalam kesempatan yang sama.
Cemaran mikotoksin digolongkan bersifat karsinogenik karena langsung menyerang DNA yang bertanggung jawab menurunkan sifat dari induk ke keturunannya. Teguh mencontohkan, pada ayam, cemaran aflatoksin dapat menimbulkan gangguan syaraf, hati, hormon, fertilitas rendah, dan merusak fungsi ginjal. Gangguan pertumbuhan juga akan tampak sehingga pada ayam berumur sama, bobotnya bisa sangat berbeda.
“Dia juga merusak sistem imun, kekebalan tubuh ayam tidak terbentuk. Akhirnya, tingkat antibodinya rendah semua. Risiko terkena bakteri dan virus juga akan meningkat. Pada kondisi yang lebih parah, antibiotik sudah tidak efektif, ayam sudah kebal. Kita vaksin pun responnya jelek,” terang doktor biologi molekuler dari Universitas Teknologi Aachen, Jerman, ini.
Kelola Pascapanen
Rata-rata kandungan aflatoksin pada bahan baku pakan, khususnya jagung, meningkat seiring dengan tahapan pascapanennya. Survei yang dilakukan Agus di Garut, misalnya, menunjukkan kandungan aflatoksin di tingkat petani hanya sekitar 20 ppb. Kadarnya meningkat di pedagang pengumpul menjadi 50 ppb, dan semakin tinggi pada pedagang besar, mencapai 90 ppb.
“Ini masih menjadi PR kita bersama, di mana pengelolaan pascapanen jagung kita masih ditemukan hal-hal yang sebetulnya justru merupakan titik kritis penyebab aflatoksin. Seperti jagung yang habis panen hanya disimpan di pinggir-pinggir rumah, atau ditumpuk di gudang yang gelap dan lembap. Ini bukan menyimpan, justru menurut saya membiakkan jamur (cendawan),” ulasnya.
Wira Wisnu Wardani, Technical Support Manager Indonesia, PT Trouw Nutrition Indonesia, mengamini pernyataan Agus. Penanganan pascapanen yang tidak pas menjadi kunci penting masuknya mikotoksin pada bahan baku pakan. Dari lahan petani, penyimpanan, pengolahan seperti pengeringan, bahkan sudah masuk di peternakan pun, celah bagi mikotoksin untuk masuk masih sama besarnya.
“Saat dijemur, kemudian tiba-tiba hujan. Atau menyimpannya kurang baik sehingga banyak jagung yang pecah. Atau saat pengangkutan ke pabrik pakan atau gudang-gudang peternak. Mungkin jagungnya kering, tapi terpal penutupnya bocor, sehingga air hujan bisa masuk. Lalu misalnya saat diterima di gudang penyimpanan sebenarnya sudah bagus, tapi ternyata kelembapannya tinggi. Dia menyerap air lagi. Terjadi kontaminasi lagi,” tutur Wira.
Karena itu, pencatatan setiap tahapan pascapanen dari petani sampai ke peternak penting dilakukan untuk mengetahui kemungkinan cemaran mikotoksin yang masuk, dan bagaimana meminimalkan kontaminasinya. Contoh, jika cemaran masuk karena kelembapan tinggi, bagaimana mengatur temperatur, kapasitas, hingga pengaturan sirkulasi gudang untuk mengurangi kelembapan. “Kalau dari panen, penyimpanan, sampai ke peternak diperbaiki, otomatis jagung yang sampai ke feedmill dan peternak juga akan jauh lebih baik. Memang sulit untuk mendapatkan hasil zero mikotoksin. Tapi inilah yang bisa kita lakukan untuk menghambat efek dari mikotoksin tersebut,” tutup Wira.
Renda Diennazola