Selasa, 8 Oktober 2013

Menggusur Stigma Terhadap Skizofrenia

Dengan berobat secara teratur, konsultasi rutin, serta dukungan keluarga, masyarakat, dan negara, diharapkan semakin banyak ODS yang pulih dan produktif lagi.

Bagus Utomo, Luar biasa, bisa pulih - Syatrya Utama

Stigma atau pandangan negatif terhadap skizofrenia dan orang dengan skizofrenia (ODS) sering kita dengar dan lihat. Sebagian memvonis skizofrenia tidak dapat dipulihkan, ODS sampah masyarakat, beban keluarga dan masyarakat. Apalagi, masih banyak yang menyangka, ODS timbul karena kurang iman, makan duit haram, dosa turunan, kutukan, pengaruh santet dan guna-guna, sehingga ODS dianggap pembawa aib bagi keluarga.

Karena stigma, kata Bagus Utomo, banyak ODS yang malu berobat. Kalaupun ada yang mau berobat, bukan ke dokter ahli jiwa atau psikiater atau rumah sakit jiwa, tetapi ke dukun (‘orang pintar’). Yang lebih parah lagi, karena sering mengamuk, banyak ODS yang dipasung. Padahal, “Dengan terapi obat-obatan dan psikososial, skizofrenia dapat dipulihkan,” kata Ketua Umum Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) itu di Jakarta.

Skizofrenia, menurut Dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ, psikiater dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor, merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan perubahan sikap, perilaku, dan emosi bagi ODS. Dalam kondisi yang sangat parah, karena kurang atau tidak mendapat pengobatan, kondisi ODS amat mengenaskan. Seperti kita perhatikan di jalanan: ODS tidak berpakaian, kumal, mengoceh sendiri, jalan tidak beralaskan apa-apa, dan mencari makanan dengan mengais-ngais di tempat sampah.

Gejala

Beberapa gejala dapat kita perhatikan pada ODS. Pertama, halusinasi, yang merupakan gangguan persepsi panca indera. Misalnya ODS merasa mendengar bisikan-bisikan di telinganya. Akibatnya ODS tersenyum atau berbicara sendiri menanggapi suara bisikan itu. Bisa juga ODS seperti melihat bayangan makhlus halus sehingga ketakutan. Bisa juga ODS merasa ada yang menjalar atau menyentuh tubuhnya. Padahal, semua itu tidak ada.

Kedua, waham, yaitu keyakinan yang salah terhadap suatu hal yang dipegang teguh, meski tidak sesuai dengan latar belakang, norma, dan nilai sosial sehari-hari. Misalnya ODS merasa yakin ada yang mau membunuh dirinya atau mengejar-ngejar dirinya sehingga ketakutan. Bisa juga ODS merasa orang lain sedang membicarakan dirinya sehingga takut, khawatir, dan tersinggung. Atau merasa dirinya seorang tokoh terkenal.

Ketiga, perilaku tidak wajar seperti tertawa dan senyum sendiri, mengumpulkan barang-barang bekas, dan tidak pernah mengurus badan. Keempat, fungsi sehari-hari berkurang, misalnya nilai di sekolah menurun, tidak mau bekerja, tidak bisa memasak, dan bermalas-malasan. Kelima, jika diajak berbicara topik tertentu sering tidak nyambung. Keenam, emosi tidak stabil. Misalnya sering marah-marah karena hal-hal sepele, merusak benda-benda di rumah, menangis hebat tanpa alasan yang jelas, dan mudah sekali tersinggung.

Penyebab

 

Dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ, Pengobatan sudah sangat maju dok. pribadi

Menurut Dr. Lahargo, ada beberapa faktor penyebab skizofrenia. Pertama, faktor keturunan. Jika ada anggota keluarga yang ODS, maka anggota keluarga lain yang memiliki hubungan darah menjadi rentan terkena skizofrenia. Kedua, trauma di kepala. Misalnya, benturan di kepala sehingga menyebabkan otak terganggu, bisa menimbulkan skizofrenia. Ketiga, penyakit berat. Misalnya, kanker di otak dapat memicu skizofrenia. Keempat, stres berat seperti kemarahan terpendam, ketakutan, kekecewaan, keinginan yang tidak tercapai, dan kehilangan orang yang dicintai, dapat mencetuskan skizofrenia.

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Kebanyakan skizofrenia ini mulai mengenai orang yang berusia 15-35 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi terkena skizofrenia karena pada usia inilah banyak tekanan hidup. Keluarga sering terlambat menyadari anggota keluarganya terkena skizofrenia karena menganggap perubahan sikap, perilaku, dan emosi pada usia tersebut sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2007, prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sekitar 0,46 persen dari populasi. Jika pada  2013 jumlah penduduk Indonesia sekitar 248 juta jiwa, maka diduga penderita gangguan jiwa berat sekitar 1,14 juta jiwa. Jika menggunakan prevalensi di dunia yang sekitar 1,1 persen, berarti jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia sekitar 2,73 juta jiwa.

Pengobatan

Menurut Bagus Utomo, skizofrenia memang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dipulihkan sehingga ODS bisa mandiri. “Skizofrenia menjadi bagian dari ODS seumur hidup. Tetapi ODS dapat mengelola dirinya sehingga bisa tetap berfungsi dengan baik untuk dirinya, keluarga, dan masyarakat,” kata pria kelahiran Jakara, 17 Juni 1973, itu.


Kegiatan KPSI, Pendampingan yang baik - dok. www.peduliskizofrenia.org


Selama sekitar 10 tahun Sarjana Perpustakaan
dari Universitas Indonesia itu membantu kakaknya yang ODS. Karena minim pengetahuan tentang skizofrenia, sehingga kakaknya sempat kurang mendapat perawatan yang baik. Tetapi setelah menggali informasi tentang skizofrenia dan ODS, Bagus dan keluarganya berhasil memulihkan anggota keluarganya yang ODS. “Kakak saya pulih. Kini usianya 48 tahun. Dia kehilangan pekerjaan. Kita buatkan warung di depan rumah. Pendapatannya nggak seberapa, tapi dia bisa. Kini kakak saya bisa konsultasi sendiri (ke psikiater). Saya kira itu sudah luar biasa,” tuturnya.

Yohanes Iman, salah seorang ODS, yang kini menjadi Kepala Rumah Tangga KPSI, juga bisa pulih. “Saya menilik diri, bahwa saya terkena skizofrenia. Saya utamanya minum obat teratur, bersosialisasi, bergaul, dan kegiatan positif,” kata ayah satu anak ini. “Istri saya menjadi aktivis di sini, mengelola kantin,” katanya, ketika ditemui di kantor KPSI di Jatinegara, Jakarta. “Dalam proses recovery, leader-nya si ODS sendiri,” timpal Bagus.

Memang, salah satu keberhasilan pengobatan skizofrenia, menurut Dr. Lahargo, adalah menilik diri, yaitu kemampuan ODS mengetahui bahwa dia sakit dan memerlukan pengobatan. “Hal ini bisa dicapai dengan melakukan psikoedukasi terus-menerus kepada pasien dan keluarga: melibatkan pasien dalam proses terapi yang dibutuhkan,” tulisnya.

Sekarang, masih kata Dr. Lahargo, pengobatan skizofrenia sudah sangat maju, sehingga gejala skizofrenia bisa cepat berkurang dan hilang. Obat skizofrenia (antipsikotik), bekerja dengan memperbaiki keseimbangan zat kimia (neurotransmiter) pada otak. “Obat antipsikotik berfungsi menetralkan kembali neurotransmiter di dalam saraf otak karena munculnya skizofrenia adalah karena ketidakstabilan neurotransmiter di otak,” tulisnya.

Dengan berobat teratur, konsultasi rutin, dan dukungan keluarga, kata Dr. Lahargo, maka optimis sekali ODS bisa dipulihkan. “Kesembuhan itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dan kesabaran yang tinggi. Sabarnya mungkin 10 pangkat 10. Dan, yang perlu dipahami, kesembuhan itu adalah proses yang perjalanannya tidak bisa kita tahu. Yang terpenting, dijalani dan dinikmati,” tulisnya. 

Selain terapi dengan obat-obatan, diperlukan juga terapi psikososial. Menurut The World Association for Psychosocial Rehabilitation dan WHO (1996), rehabilitasi psikososial adalah strategi yang memfasilitasi kesempatan bagi individu dengan gangguan mental mencapai tingkat optimalnya berfungsi di masyarakat, dengan meningkatkan kompetensi individu dan memperkenalkan perubahan-perubahan lingkungan. “Hal ini bisa dilakukan di hospital base (rumah sakit) dan community base (masyarakat),” tulis Dr. Lahargo.

Gizi seimbang

ODS sama halnya dengan orang normal, juga membutuhkan zat-zat gizi yang seimbang agar fisiknya tetap sehat. “Pada intinya, makanan sehat dan gizinya seimbang, vitamin, zinc, dan free junk food adalah pola nutrisi yang dipandang baik,” tulis Dr. Lahargo.

Seperti diketahui, banyak sumber makanan bergizi yang diperlukan, baik oleh orang sehat maupun ODS. Antara lain menurut Prof. Ir. Hardinsyah, MS., Ph.D, pakar gizi masyarakat, adalah susu sapi, daging sapi matang, bayam matang, ayam matang, hati ayam, teri goreng, sarden, tomat, mangga, telur, udang, pisang ambon, dan kacang hijau.

Lighting the Hope

Lighting the Hope for Schizophrenia merupakan program kampanye yang bertujuan    meningkatkan kesadaran publik terhadap skizofrenia dan mengurangi atau bahkan menghilangkan stigma terhadap skizofrenia dan ODS. Program ini merupakan kerjasama  Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), dan Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI). Program yang diluncurkan 30 Juli 2013 ini didukung Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, dari total populasi yang berisiko terkena skizofrenia, baru sekitar 3,5 persen yang terlayani dengan perawatan memadai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP), Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Padahal, penderita skizofrenia  membutuhkan perawatan jangka panjang dan bahkan skizofrenia termasuk 10 penyakit non-fatal terbesar yang menimbulkan beban bagi ODS, keluarga, masyarakat, dan negara.

Salah satu penyebab masih rendahnya ODS yang mendapat pelayanan yang memadai ini antara lain karena stigma terhadap skizofrenia dan ODS. Karena faktor stigma dan masih kurangnya pemahaman yang benar tentang skizofrenia, maka sebagian besar masyarakat memilih pengobatan alternatif (ke ‘orang pintar’) terlebih dulu. Akibatnya, banyak ODS yang cenderung sudah terlambat ketika datang ke dokter ahli jiwa atau psikiater. Padahal, “Semakin lambat ODS berobat ke (psikiater), semakin lama dan sulit juga pemulihan keadaannya. Pada kasus baru, pengobatan ODS minimal dua tahun,” urai Dr. Lahargo.

Sebenarnya, menurut Dr. Lahargo, diagnosis gangguan jiwa, termasuk skizofrenia, dapat dilakukan oleh dokter umum, psikiater, dan dokter lainnya karena setiap dokter sudah dibekali dengan kompetensi tentang skizofrenia ini. Dokter bisa ditemui di RSUP, RSUD, RSJ, Puskesmas, dan praktek pribadi. “Jika dokter yang memeriksa merasa perlu konsultasi lebih lanjut, maka ia akan merujuk ke dokter ahli jiwa (psikiater),” jelasnya.

Jika sejak dini berobat ke psikiater atau RSJ, ODS bisa pulih dan kembali produktif. ODS dan keluarganya tidak perlu merasa malu untuk berobat ke dokter. “Hal yang paling riil kami lakukan saat ini melalui Lighting the Hope for Schizophrenia adalah fokus pada keluarga-keluarga yang terimbas langsung skizofrenia. Kita bantu dulu, edukasi, kita ajak mereka bisa menerima kondisinya. Kita bantu mereka menuju pemulihan,” tutur Bagus.

Dengan edukasi terus-menerus kepada ODS, keluarga, dan masyarakat, diharapkan stigma terhadap skizofrenia dan ODS akan berkurang atau hilang, sehingga kian banyak anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa akan menyegerakan diri berobat ke dokter. “Stigma muncul karena masyarakat belum paham benar skizofrenia, sehingga perlu psikoedukasi terus menerus, konsisten, dan berkesinambungan,” urai Dr. Lahargo.

Melalui Lighting the Hope for Schizophrenia, diharapkan banyak ODS yang pulih dan produktif lagi berani tampil menjadi ikon untuk menceritakan kisah-kisah sukses mereka tentang pentingnya berobat teratur ke psikiater dengan dukungan keluarga, masyarakat, dan negara. ODS yang menjadi ikon ini diharapkan dapat membangkitkan kepercayaan ODS, keluarganya, dan masyarakat, bahwa tidak perlu malu dan takut berobat ke dokter.

“Dengan pengetahuan dan pendampingan yang baik, ODS bisa pulih. Kisah pemulihan itu sendiri yang akan berbicara kepada masyarakat,” kata Bagus. Dengan demikian, diharapkan, pelan tapi pasti, maka stigma terhadap skizofrenia dan ODS bakal tergusur.

Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain