Bahan baku melimpah, peluang investasi di hilir meruah.
Kopi dan kakao menjadi salah satu komoditas andalan perkebunan Indonesia. Bagaimana tidak, negeri ini terkenal sebagai penghasil kopi luwak yang sangat digemari di mancanegara. Di dalam negeri, pecinta kopi pun merajalela di seluruh antero Nusantara.
Sama halnya dengan kopi, sebagai negara penghasil Theobroma cacao terbesar ketiga di dunia, kakao asal Indonesia banyak diburu industri pengolah lokal dan mancanegara. Bahkan, baru-baru ini Mondelez International, produsen makanan dan minuman bermerek Kraft Food, ikut berkecimpung dalam program produksi kakao berkelanjutan di Indonesia.
Kopi
Jika anda berniat menanam “saham” pada industri kopi, Lampunglah tempatnya. Sebagai produsen kopi terbesar di Indonesia, Lampung memiliki luas areal tanam kopi sebanyak 161.242 ha pada 2011 dengan produksi mencapai 144.516 ton biji kopi. Sentra perkebunan kopi Lampung terletak di Kab. Lampung Barat (59.854 ha), Kab. Tanggamus (44.671 ha), Kab. Way Kanan (21.944 ha), dan Kab. Lampung Utara (16.240 ha).
Menurut Ir. H. Bambang G. Sumady, MS, Sekretaris Dinas Perkebunan Prov. Lampung, sebenarnya angka ini masih bisa lebih tinggi. Pasalnya, sambung Bambang, masih ada beberapa daerah penanaman kopi berdasarkan kawasan hutan kemasyarakatan yang sudah dilegalkan tetapi belum terdata.
Produktivitas kopi Lampung mencapai 1 ton/ha/tahun. ”Produktivitasnya salah satu yang tertinggi di Indonesia,” tukas Bambang pada acara ”Gelar Potensi dan Peluang Investasi Pertanian 2013” di Jakarta, akhir Agustus lalu. Selain berproduktivitas tertinggi, Lampung juga eksportir kopi utama Indonesia. Nilai ekspor kopinya pada 2011 mencapai US$417 juta atau 14,8% dari total nilai ekspor Lampung.
Ekspor tersebut sebagian besar masih berupa biji kopi dan sebagian kecil kopi instan. ”Kondisi sekarang makin banyak didominasi oleh bahan baku, hilirnya masih terbatas walaupun ada beberapa pengusaha yang sudah berinvestasi di Lampung,” imbuh dia.
Dalam kisaran kualitas kopi berdasarkan grade 1-6, kebanyakan kopi Lampung yang diekspor adalah grade 4. ”Mutu 4 itu harganya lebih murah daripada mutu 1, 2, 3. Kalau budidaya mutu mahal, bahan baku mahal, jualnya harus mahal, bersaing susah. Jadi banyak pemain di mutu 4,” Bambang menerangkan di hadapan sekitar 80 orang peserta dari kalangan pelaku usaha, dalam dan luar negeri, asosiasi, dan perbankan.
Aroma Khas Daerah
Menurut Bambang, Tidak banyak yang tidak tahu bahwa faktor geogravis berpengaruh pada citarasa kopi. Beberapa daerah seperti Kec. Way Tenong, Kec. Sumber Jaya, dan Kec. Lumbok Semuning (Kab. Lampung Barat) dan Kec. Ulu Belu (Kab. Tanggamus) aroma kopinya cenderung chocolaty. Di Kec. Pulau Panggung (Kab. Tanggamus) dan Kec. Banjit (Kab. Way Kanan), kopinya beraroma spicy dan fresh robusta.
Untuk menjaga kekhasan aroma tiap kopi, Dinas Perkebunan Prov. Lampung menyediakan lokasi khusus bagi setiap investor. ”Kita sediakan supaya tidak campur-campur dengan tempat lain sehingga bisa dipakai untuk kekhasan masing-masing produk,” tukas Bambang. Seperti di Kec. Ulu Belu, sudah di-booking oleh Nestle dan Kec. Sumber jaya oleh Kapal Api.
Kopi yang diproduksi di Lampung terdiri atas kopi instan dan bubuk, kopi luwak, dan kopi organik. Untuk kopi instan dan bubuk terbanyak diproduksi oleh Nestle dengan kapasitas terpasang 8.000 ton/tahun. Selebihnya pemain lokal dengan kapasitas sebesar 20-25 ton/tahun. Sementara, kopi luwak masih diproduksi secara tradisional dengan hasil sekitar 22 ton/tahun, sedangkan kopi organik baru dihasilkan sebanyak 48 ton pada 2012 lalu. ”Ini juga masih berebutan, dan baru diproduksi di Lampung Barat,” ujarnya.
Dengan bahan baku kopi yang melimpah, lanjut Bambang, banyak peluang untuk berkiprah di industri hilir. ”Pengolahan kopi instan masih perlu karena baru 8.000-an ton yang ada. Kemudian kopi biji kering, kopi HS yang bisa disimpan dalam waktu lama, kopi sangrai, kopi bubuk, kopi organik, kopi mix, kopi luwak,” jabarnya. Peluang usaha pembibitan kopi juga dinanti karena kebutuhan bibit cukup tinggi. Bambang mengakui, beberapa tahun terakhir pemerintah kewalahan mengadakan bibit, sementara kebutuhan bibit selama ini hanya dipenuhi oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao saja.
Kakao
Sebagai produsen kakao terbesar di Indonesia, layaklah bila berinvestasi di Sulteng. Ada sekitar 281 ribu ha lahan kakao di Sulteng dengan produksi sebanyak 185 ribu ton/tahun. Luas lahan kakao terbesar di Kab. Parigi Moutong (69.950 ha), Kab. Banggai (46.320 ha), Kab. Poso (39.460 ha) dan Kab. Donggala (30.180 ha).
Menurut Ir. Tony Sowolino, Kepala Dinas Perkebunan Prov. Sulteng, produktivitas taman bernama ilmiah Theobroma cacao baru sekitar 0,9 ton/ha/tahun. Namun produktivitas ini ditingkatkan melalui program revitalisasi gerakan nasional (Gernas) Kakao berupa intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan. ”Khusus peremajaan, ada beberapa wilayah yang sudah berhasil itu menjadi kurang lebih 2 ton/ha produktivitasnya,” jelas Tony.
Selain itu, sambung Tony, Dinas Perkebunan Sulteng juga membentuk desa binaan. Setiap desa didampingi seorang sarjana untuk mengawal kegiatan agribisnis kakao di Sulteng. Saat ini ada sekitar 40 desa binaan dalam 8 kabupaten. ”Kita memfasilitasi desa binaan itu dengan full access, kita berikan bantuan kepada petani karena setiap desa didampingi dengan seorang sarjana yang kita fasilitasi dengan sepeda motor dan insentif,” papar Tony.
Untuk menarik minat investor pada industri kakao, lanjut dia, pemerintah daerah Sulteng membuat kebijakan khusus tentang pajak. ”Karena kita tahu time-lag perkebunan itu memakan waktu sekitar dua-tiga tahun untuk tanaman kakao, maka kami memberikan kemudahan tax (pajak) itu ditarik setelah berproduksi,” tukasnya. Dan untuk kebutuhan industri pengolahan, pemda Sulteng telah menyediakan tempat di kawasan industri terpadu di Kota Palu seluas 1.500 ha dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Palu, Donggala, Parigi, dan Sigi (Palapas). ”Ini khusus diperuntukkan bagi hasil-hasil pertanian dan sangat mudah aksesnya. Ke pelabuhan hanya beberapa menit saja,” promosi Tony.
Berminat menggarap peluang itu?
Windi Listianingsih