Rabu, 28 Agustus 2013

Berkah Menggairahkan Peduli Sanitasi

Perlu waktu sekitar dua tahun menjadikan masyarakat di Cimareme dan Bunisari Kulon,  Bandung Barat, untuk berperilaku hidup bersih dan sehat di bidang sanitasi.

 

Mesin penggilingan sampah organik padat

Foto : Syatrya Utama

Perubahan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) menjadi Unit Pengelolaan Kebersihan (UPK) membawa berkah bagi warga RW 01 Cimareme, Desa Cimerang, Kecamatan Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat. Penyulapan ini juga menular ke RW 06 Bunisari Kulon, Desa Gadobangkong, Kecamatan Ngamprah, juga di Bandung Barat. Sebagai hasil dari penyulapan itu, kedua permukiman itu menjadi lebih bersih, sehat, dan nyaman.

Perubahan tersebut tidak sekadar perubahan nama, tapi juga perilaku warga di kedua RW tersebut. Sewaktu masih TPS, sampah rumah tangga di kedua RW tersebut, yang totalnya sekitar enam ton per minggu (setiap kepala keluarga menghasilkan sampah organik dan anorganik 2 – 5 kg per hari), diangkut ke TPS dan dibakar. Selain menimbulkan polusi udara, kecepatan pembakaran tidak mampu mengimbangi jumlah sampah yang ada. “Sampahnya tetap saja menggunung,” kata Endun Sutisna, Kepala Desa Gadobangkong.

Sampah yang menumpuk bisa menjadi tempat bersarangnya kuman-penyakit. Lalat yang berkeliaran pada tumpukan sampah, misalnya, bisa menyebarkan organisme penyebab-penyakit seperti diare, kolera, dan tifus. Sampah yang berceceran, karena masih banyak warga yang kurang peduli kebersihan dan kesehatan lingkungan, bisa menyumbat saluran air di lingkungan, sehingga bisa memicu banjir ketika musim hujan. Pengelolaan sampah yang kurang baik ini bisa mencemari sumur, yang menjadi salah satu sumber air minum.

Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan air, baik bersumber dari air sumur yang tercemar maupun dari air yang menggenang karena banjir. Misalnya disentri, tifus, kolera, gastroentritis (menyebabkan diare, kram perut, dan muntah-muntah), dan leptospirosis (dari bakteri yang berasal dari kencing tikus, yang bisa mencetuskan demam tinggi, menggigil, sakit kepala, lesu atau lemah, muntah, mata merah, dan nyeri otot). Belum lagi penyakit yang disebabkan oleh virus seperti hepatitis A dan poliomyelitis (demam, tidak enak badan, pusing, kejang mulut, dan kelumpuhan pada tungkai bawah).

Media tanam tamprolit


Tanaman sayuran di halaman rumah warga

Foto : Syatrya Utama

Tetapi, dengan berstatus UPK, sampah tadi dipilah antara sampah organik (seperti sayur, daun, nasi, buah, dan kayu) dan sampah anorganik (seperti plastik, beling, emberan,  duplek, botol, dan besi). Kedua jenis sampah ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Sampah organik, misalnya, diolah menjadi pupuk organik padat dan cair. Pupuk padat, yang diperoleh dari penggilingan sampah organik padat dapat dijadikan sebagai media tanam tamprolit (tanaman produktif dari limbah rumah tangga) dan pupuk organik untuk petani. Harga jual pupuk padat ini sekitar Rp 500 per kg. “Kegiatan ini bermanfaat bagi ekonomi masyarakat,” kata Kuswaya, kader pemberdaya Corporate Social Responsibility (CSR) PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk., yang mempunyai logistik di Cimareme.

Menurut Chica Nurhayati, banyak masyarakat yang memanfaatkan pupuk organik padat sebagai media tanam tomat, cabai, jagung, kemangi, dan paria di pekarangan. Dengan adanya tamprolit ini, bisa menghemat biaya belanja harian sampai 30%. “Dengan adanya tamprolit ini, biaya belanja berkurang, sehingga bagus untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga,” kata kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), serta Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Cimareme itu.

Arif Hidayat, yang dulunya bertugas mengangkut sampah dari rumah tangga ke TPS di Gadobangkong, juga memperoleh manfaat tambahan setelah TPS itu berubah menjadi UPK. Dari sampah anorganik yang laku dijual seperti plastik, beling, besi, kuningan, aluminium, dan bekas sepatu, pengelola UPK ini bisa mengantongi sekitar Rp 450 ribu per bulan. Sedangkan sampah yang tidak laku dijual seperti softex dan pampers, dibakar.

Yang menarik, di UPK Gadobangkong ini, Arif memelihara bebek. Menurut Arif, bebek ini ikut memakan larva lalat sehingga di UPK tidak banyak ditemukan lalat seperti halnya di TPS. “Bebek ini memakan larva lalat sehingga di sini (UPK) jarang ditemukan lalat,” timpal Endun. Selain itu, Arif juga memelihara kelinci yang diberi makan dari sampah organik seperti sayuran. Dengan demikian sampah organik basah, selain difermentasi  menghasilkan pupuk organik cair, juga dimanfaatkan untuk makanan bebek dan kelinci.

Dari bebek pedaging dan bebek petelur, pengelola UPK bisa memperoleh penghasilan tambahan dari menjual bebek pedaging dan telur bebek. Apalagi perkembangbiakan bebek ini cepat sekali. “(Di UPK RW 01 Cimareme), jumlah bebeknya dari lima ekor menjadi seratus lebih,” tutur Cecep Muslihat, juga kader pemberdaya CSR Indocement. Penghasilan tambahan yang menggiurkan ini, kian menggairahkan para pengelola UPK.

Derajat kesehatan masyarakat

Tapi, bukan pekerjaan mudah menjadikan masyarakat di kedua RW itu peduli dengan sanitasi (upaya mencegah penyakit dengan mengendalikan kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup manusia). Menurut Chica, ia membutuhkan waktu sekitar dua tahun  memotivasi ibu-ibu agar memisahkan sampah organik dan anorganik sejak dari rumah. Begitu juga agar para ibu tidak membuang sampahnya berceceran di jalan lingkungan. “Dulu banyak sampah berceceran. Kini, dengan UPK ini tidak ada pencemaran,” katanya.

Indocement merupakan salah satu perusahaan yang peduli dengan sanitasi dan air minum masyarakat. Kuswaya mengharapkan perusahaan lain juga peduli dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan masyarakat. Misalnya, dari sampah anorganik yang diolah di UPK, sekitar 35% merupakan bekas kemasan produk-produk dari kelompok usaha PT Indofood Sukses Makmur, Tbk., seperti mie dan makanan bayi. “Pengen-nya Indofood juga ikut CSR lingkungan untuk mengatasi (kebersihan dan kesehatan) lingkungan,” katanya.

Mengajak masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat di bidang sanitasi memang tidak mudah. Tetapi dengan kesinergian CSR perusahaan, kader pemberdaya masyarakat, ibu-ibu rumah tangga, dan pejabat pemerintah, maka pekerjaan ini menjadi lebih gampang. “Jika (sinergi) ini ditularkan ke tempat lain, sangat baik,” jelas Kuswaya.

Dengan terbangunnya kesadaran para pemukim atau warga berperilaku hidup bersih dan sehat di bidang sanitasi, pada akhirnya permukiman (yang terdiri dari unsur perumahan, kumpulan pemukim, prasarana dan sarana) itu sendiri yang menikmatinya. “Caranya, mulai dari kita sendiri, baru kita mengajak masyarakat. Tapi juga diperlukan dukungan dari pemerintah setempat. Dan juga dibantu CSR Indocement (perusahaan),” tutur Chica.

Jadi? Apa yang dilakukan di Cimareme dan Bunisari Kulon, baru merupakan contoh kecil dari upaya masyarakat menggairahkan perilaku hidup bersih dan sehat di bidang sanitasi. Dimulai dari kita sendiri, mari bersihkan dan sehatkan lingkungan, sehingga menjelma menjadi permukiman yang bersih dan sehat. Kita mengharapkan para kepala daerah menjadi motor penggerak mengubah perilaku masyarakat agar peduli sanitasi dan air minum dalam mewujudkan permukiman yang layak huni. Yaitu permukiman yang bersih, sehat, dan nyaman, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain