Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 diindikasikan gagal sebab Implementasinya tidak efektif, dan hanya retorika karena disusun menggunakan angka yang kurang akurat.
Indikasi gagal terlihat dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Perdagangan No 699/M DAG/KEP/7 /2013 tentang Stabilisasi Harga Daging Sapi. Padahal ini merupakan kebijakan instan dan tidak terbukti berhasil menurunkan harga daging sapi.
“PSDS adalah program Kementerian Pertanian (Kementan) dan kebijakannya sudah dikoordinasikan dengan kementerian terkait dan telah disusun menjadi program prioritas oleh Bappenas. Tapi Kepmendag 699/2013 berujung pada penambahan volume impor sapi. Deregulasi itu, hanya menitikberatkan kepada konsumen, ketimbang 6,2 juta peternak sapi di Tanah Air” papar Ketua Perhimpunan Peternakan Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana, pada diskusi nasional dalam rangka ulang tahun Forum Media Peternakan (Format) di Hotel Sahati, Pasarminggu, Jakarta, Selasa (27/8/2013).
Menurut informasi yang di dapat Teguh, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menetapkan impor daging sapi sebesar 100.000 ton setara 360.000 ekor sapi bakalan. Dengan mudahnya kebijakan impor daging sapi yang dikeluarkan pemerintah berpotensi mendistorsi harga di tingkat peternak. “Langkah tersebut sudah keluar dari Blue Print. Inilah indikasinya kenapa PSDS gagal," tegas dalam Diskusi bertema Kebijakan Darurat Daging Sapi dan Implikasinya.
Sementara itu, pengamat persapian dari Universitas Padjajaran Rochadi Tawaf mengatakan tidak mengherankan PSDS 14 gagal. Karena program kerja kementerian teknis tidak membumi dan hanya lebih menguatkan retorika, dan disusun tanpa angka berkenaan produksi dan kebutuhan yang kuat tanpa penguatan kelembagaan manajemen logistik dan revitalisasi Pemotongan Hewan (RPH)."Selama ini, konsentrasi hanya terpusat pada kebijakan hilir saja," tegas Teguh.
Harusnya, tambah Teguh, pemerintah berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan impor daging sapi dan Pemerintah harus melindungi peternak dalam negeri, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan bea masuk. Hal ini perlu agar tidak terjadi distorsi harga di tingkat peternak.
Ia menambahkan pemerintah tak perlu panik terkait dengan kenaikan harga daging sapi, selama harga itu masuk di tingkat peternak. Sebab berdasarkan data Teguh presentase total konsumsi daging sapi dan kerbau hanya sekitar 19%. Rinciannya adalah persentase konsumsi daging sapi di desa untuk golongan berpendapatan rendah, menengah dan tinggi masing-masing 0,93%, 2,47% dan 7,13%. Untuk konsumsi di kota dengan pendapatan kecil, menengah dan tinggi masing-masing 2,81%, ,81% dan 22,4%.
Jangan Sepihak Tetapkan Harga
Teguh Boediyana menyarankan pemerintah menyusun sistem logistik nasional dan tidak secara sepihak menetapkan harga daging sapi. “Harus ada pihak lain yang diajak untuk menentukan harga, termasuk peternak," tambahnya.
Trisetyo Budiman Ketua Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (APMISO) berharap, pemerintah serius menangani tata niaga sapi. Karena tataniaga ini menjadi salah satu faktor yang kurang dicermati yang menyangkut panjangnya rantai distribusi dari produsen hingga ke konsumen. “Pemetaan rantai pasar ini harus dilakukan secara baik,”cetusnya.
Sebab, semakin pendek rantai pasar tersebut harga daging sapi akan lebih murah daripada saat ini. “Pemerintah bisa menugaskan Bulog untuk membenahi rantai distribusi dari hulu hingga ke hilirnya. Kalau tidak bisa membenahi ini, dijamin ya bingung terus," katanya.
Tri Mardi Rasa