Benih sawit hasil rakitan dalam negeri digadang dapat memproduksi 32 ton TBS dan CPO 8,3 ton per hektar serta rendemen CPO 27,7%. Namun di lapangan angka-angka itu belum tercapai.
Data dari Kementerian Negara BUMN 2011 misalnya, rata-rata perkebunan kelapa sawit pelat merah menghasilkan kurang dari 20 ton tandan buah segar (TBS)/ha/tahun dengan rendemen minyak sebanyak 23%. Padahal sejak 2011, pemerintah Indonesia memancang visi 35-26, artinya produktivitas 35 ton TBS/ha/tahun dan rendemen 26% pada 2020.
Untuk mengatrol produktivitas, ada beberapa hal yang mesti disiapkan atau dibenahi. Mulai dari pemilihan benih unggul, penyiapan lahan yang sesuai, melakukan pemupukan tepat, memastikan tanaman terindungi dari gangguan hama penyakit, memanen buahnya secara tepat, lalu segera mengolahnya.
Konsekuensi Benih Berpotensi Tinggi
Menurut HP Permadi, Kepala Bagian Tanaman PT Socfin Indonesia, perusahaan benih sawit di Medan, Sumut, bila menanam benih dengan potensi produksi tinggi, pekebun mesti memahami konsekuensinya bahwa si tanaman memerlukan pupuk lebih banyak.
Benih yang beredar di pasaran Indonesia saat ini memiliki potensi produksi TBS di atas 30 ton/ha/tahun, minyak sawit mentah (CPO) lebih dari 9 ton/ha, pertumbuhan meninggi di bawah 60 cm/tahun, dan relatif tahan cekaman lingkungan serta hama penyakit. Proporsi biaya benih memang hanya 7% dari total biaya, tetapi ini merupakan investasi jangka panjang. Salah pilih benih, akibatnya harus ditanggung 4-5 tahun ke depan. Jadi, rugi waktu dan biaya.
Benih terpilih tersebut selayaknya ditanam pada lahan dan iklim yang cocok. “Kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang relatif merata. Penyinaran matahari 5-6 jam sehari. Suhu udara di atas 18oC. Kami pernah didatangi orang yang ingin menanam sawit di bekas kebun teh. Ini ‘kan tidak cocok. Kalau dipaksakan, tanaman hanya akan memproduksi vegetatif saja,” papar Permadi.
Varietas unggul itu bisa memproduksi tandan (janjang) lebih banyak atau tandan lebih besar. Namun pemulia benih Socfin lebih memilih janjang lebih banyak. Alasannya, kata lulusan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB itu, “Makin tua umur tanaman, jumlah janjang makin sedikit. Jadi, dalam jangka panjang produksinya lebih besar.”
Optimalkan Penyerbukan
Jumlah TBS lebih banyak tentu saja membutuhkan polen (bunga jantan) dan serangga penyerbuk lebih banyak pula. “Kalau kurang, ini akan menyebabkan banyak buah partenokarpi karena gagal penyerbukan,” terang Permadi. Akibatnya, pembentukan buah tidak optimal.
Supaya penyerbukan optimal, rasio bunga jantan bisa ditingkatkan dengan menambah tanaman penyerbuk (supermale). Tanaman yang diproduksi dari kultur jaringan ini memproduksi bunga jantan.
Selain itu, juga melakukan konservasi kumbang penyerbuk, Elaeidobius. Menurut Dr. Agus Susanto, peneliti di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan, spesies serangga penyerbuk paling umum di Indonesia adalah E. kamerunicus. Populasi dan kinerja serangga penyerbuk itu dipengaruhi beberapa faktor. Agus memaparkan, musuh alami, penyemprotan pestisida, penanaman varietas berpotensi produksi tinggi dalam skala luas, penanaman di kawasan perkebunan baru, tingginya curah hujan, dan pengaruh perkawinan sedarah (inbreeding).
Untuk meningkatkan penyerbukan, dalam salah pertemuan teknis kelapa sawit di Jakarta, Agus memaparkan inovasi yang dinamakan Hatch & Carry. “Teknik ini pada intinya mengembangbiakkan serangga itu dalam kotak, lalu melepasnya setelah tubuhnya disemprot dengan polen,” kata alumnus Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta tersebut. Aplikasi terbaik adalah pada saat tanaman dewasa muda, yaitu umur 4-6 tahun.
Berdasarkan penelitian Agus dan koleganya di PPKS, Agus Eko Prasetyo, M.Si., bunga jantan yang digunakan dalam teknik Hatch & Carry adalah yang telah mekar 4-5 hari. Jumlah bunga dalam kotak sebanyak 6 tandan. Penempatan satu kotak dengan kotak lainnya di dalam kebun maksimal berjarak 400 m. Dengan cara seperti itu, “Populasi kumbang meningkat 20 kali pada bunga jantan dan 18 kali pada bunga betina dalam dua bulan pasca-aplikasi,” terang Agus Susanto. Hasil akhirnya, dengan daya hidup polen 60%, pembentukan buah meningkat sampai 67%-86% di Sumatera Utara dan 50%-78% di Kalimantan Tengah.
Permadi mengingatkan, Teknik Hatch & Carry tidak efektif dilaksanakan pada musim penghujan. Cara lain yang juga bisa dilaksanakan adalah menggunakan penyerbukan buatan (aspol).
Di samping Hatch & Carry, Permadi juga menyarankan untuk mengendalikan tikus. Pasalnya, tikus gemar memangsa bunga jantan tempat si kumbang penyerbuk berkembang. Tikus dapat dikendalikan dengan cara biologis melalui konservasi predator tikus, yaitu burung hantu, elang, dan ular. Secara kimia dengan penggunaan pestisida berbahan aktif piretroid.
Pemupukan Tepat
Benih berproduksi tinggi jelas butuh pupuk yang lebih banyak. Pemupukan harus mengikuti prinsip 5T, yaitu tepat jenis, dosis, tempat, cara, dan waktu. Hara dalam pupuk paling banyak mengalir ke tandan buah. Buah menyerap 38% unsur N, 45% unsur P, 37% unsur K, dan 34% unsur Mg. Melihat data ini, “Tak ada pupuk, tak ada buah karena serapan paling banyak di tandan (janjang),” tandas Permadi.
Tentu saja jenis dan dosis pupuk harus berdasarkan analisis tanah dan analisis daun agar tepat dan efisien. Untuk menekan biaya pupuk, pekebun sangat dianjurkan memanfaatkan limbah dari kebun dan produk ikutan (by-product) pabrik kelapa. Aplikasi produk ikutan
Curah hujan juga menjadi pertimbangan waktu aplikasi pupuk. Bila curah hujan tinggi, pupuk akan tercuci lalu terbawa aliran permukaan. Untuk itu setiap kebun hendaknya memiliki catatan pola curah hujan di daerah setempat. Tujuannya agar saat pemupukan bisa tepat. Permadi memberi contoh pola curah hujan di daerah Lae Butar yang termasuk Kabupaten Aceh Singkil. “Di kawasan ini curah hujan tinggi terjadi pada bulan Maret-April dan September-Desember sehingga dianjurkan tidak memupuk pada bulan-bulan itu. Misalnya, Februari dan Agustus,” katanya.
Kelola Air
Air menjadi faktor pembatas produksi yang paling penting dan ketersediaannya langsung dipengaruhi iklim. Untuk mencapai pertumbuhan dan produksi optimal, produsen “emas cair” ini membutuhkan distribusi hujan merata sepanjang tahun sebanyak 2.000 mm.
Begitu pentingnya manajemen air, terlihat dari hasil penelitian di Malaysia. Di Negeri Sembilan, Malaysia, pengelolaan air yang tepat meningkatkan produksi TBS sampai 12 ton/ha atau 56%. Sementara di Pahang dapat mengatrol produksi CPO 13% atau secara total nilai ekonomi 13,4%.
Pekebun di daerah-daerah yang mempunyai minimal dua bulan kering harus mengelola air agar tetap di sekitar tanaman. Caranya dengan membuat pintu air dan bendungan di parit sekunder.
Lebih penting lagi, pengelolaan air di lahan sulfat masam. Tinggi air perlu dijaga kurang lebih 60 cm dari permukaan tanah untuk mencegah oksidasi pirit. Bendungan perlu dibuat untuk menahan air saat kemarau dan membukanya sewaktu musim penghujan sekaligus untuk mencuci sulfat terlarut.
Kendalikan Pengganggu
Bila tanaman tumbuh dengan baik, ia perlu dijaga dari serangan hama dan penyakit. Hama paling penting adalah ulat api dan kumbang tanduk (Oryctes). Sementara penyakit paling mematikan ialah busuk pangkal batang yang disebabkan cendawan Ganoderma.
Ulat dapat diatasi melalui deteksi dini dan pengendalian terpadu. Pengendalian terpadu ini melalui konservasi predator, pemanfaatan musuh alami, dan aplikasi pestisida berbahan piretroid.
Sementara Ganoderma sampai sekarang masih sulit dikendalikan. Ada tiga upaya yang dilakukan, yaitu sanitasi, pengendalian biologis dengan cendawan Trichoderma, dan penggunaan varietas tahan. Sejauh ini, menurut Permadi, baru PT Socfin Indonesia yang berhasil merakit varietas moderat tahan Ganoderma. Sementara aplikasi Trichoderma hanya dapat bertahan 4-5 tahun.
Tepat Panen
Ketika buah matang, panen dilakukan dengan interval 7 hari. Penting menentukan kriteria panen yang pas. Pasalnya, terlalu muda, rendemen minyak rendah, sebaliknya terlalu matang, kualitas minyak tak baik. Jadi, hanya buah matang saja yang dipanen.
Mengenai kriteria matang panen, Permadi menjabarkan hasil pengamatan di kebun Aek Loba, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, pada tanaman umur 9-12 tahun. Menurutnya, ekstraksi minyak terbaik diperoleh dari kriteria matang panen 2,9 brondolan/kg janjang yang setara dengan 5,85 brondolan sebelum panen (di piringan) atau 5% brondolan terhadap janjang.
Di samping itu, pekebun juga harus menekan kerugian dari brondolan yang tidak terangkut. Untuk mengatasi ini, Nelson Manurung, pemilik perkebunan PT Agricinal di Bengkulu, memberikan bonus tambahan bagi para pemanen brondolan. Sementara buah tertinggal akibat transportasi yang sulit juga diakalinya dengan mempekerjakan gerobak sapi. Sapi ini dikelola petani atau pekerja kebun sehingga produktivitas mereka meningkat.
Ada cara lain dengan memaksimalkan alat transportasi. Misalnya, pekebun memanfaatkan kendaraan ATV yang mampu masuk sampai ke areal tanaman dan mengangkut buah lebih efisien. Pada akhirnya buah matang sesegera mungkin masuk ke pabrik agar kualitas minyak yang dihasilkan prima.
Peni Sari Palupi