Sudah 68 tahun
bangsa ini menghirup kemerdekaan, semenjak Bapak Pendiri Bangsa ini, Soekarno
dan Moh. Hatta, memproklamasikannya. bidang agribisnis, sebagai salah satu
penggerak kesejahteraan rakyat dan bangsa ini tentu telah pula melalui jalan
panjang yang penuh liku-liku. Sejumlah narasumber pun telah AGRINA tanyai
pendapatnya mengenai perjalanan panjang agribisnis Indonesia itu.
Dari hortikultura, ada Abdul Hamid, Sekretaris Jenderal Asosiasi Agribisnis Cabai (AACI), mengutarakan komentarnya. Ia terutama sekali mengingatkan pentingnya untuk segera menerapkan teknologi dalam pengembangan hortikultura. Tujuannya tentu untuk melindungi petani negeri ini. Apalagi dalam menghadapi pasar bebas ASEAN yang sudah di depan mata. Ia juga menilai era Orde Baru, setidaknya dibanding era yang sekarang, paling terencana program pengembangan agribisnisnya. Dari florikultura, hadir Gregorius Granadi Hambali, penyilang tanaman hias di Bogor, Jabar, yang mewanti-wanti komitmen kepala negara untuk mendukung florikultura. Soalnya, ia melihat potensi Indonesia sebagai negara pemilik plasma nutfah dan sumberdaya genetik yang melimpah, tapi belum banyak yang memanfaatkannya. Padahal, sumber plasma nutfah yang melimpah ini adalah sumber bagi pengembangan industri florikultura di Tanah Air. Di bidang perikanan, khususnya budidaya udang, tampil Sutanto Surjadjaja, Direktur PT Central Proteinaprima, Tbk. Ia berkeluh-kesah mengenai kebutuhan listrik berdaya besar yang belum bisa diperolehnya yang mestinya akan sangat membantu pengembangan budidaya udang di negeri ini. Selain itu, ia pun berharap pemerintah membangun infrastruktur, seperti pelabuhan, yang nantinya pun bakal sangat membantu budidaya udang yang digeluti para pembudidaya. Ada pula Rokhmin Dahuri, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia, yang melihat bidang perikanan sudah jauh berkembang dibanding masa-masa awal pengembangannya. Ia menilai setiap era pemerintahan memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, kendati beberapa pujian sempat diarahkannya ke pemerintahan era Orde Baru. Dari sektor perkebunan, giliran Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), yang angkat bicara. Mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian ini berharap adanya upaya pada masa depan untuk mengutamakan perkebunan rakyat. Sebab, perkebunan rakyat tetap menjadi tulang punggung perkebunan negeri ini lantaran jumlahnya yang jauh lebih besar ketimbang perkebunan besar nasional atau swasta nasional. Melalui tulisannya, Arief Daryanto, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor (MB-IPB) menyayangkan potensi revolusi peternakan, revolusi putih dan supermarket yang sejauh ini di Indonesia dinilai belum memberikan hasil optimal karena belum didukung kebijakan yang memihak. Selain itu, menurut Arief, perkembangan industri peternakan di Indonesia pun belum mampu menciptakan pertumbuhan yang inklusif. Secara tajam, Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung, juga memaparkan perjalanan pembangunan agribisnis Indonesia dengan membaginya dalam tiga fase, yang merupakan pembagian era pemerintahan sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Setiap kebijakan dari tiga fase itu disorotinya tanpa tedeng aling-aling. Tentu, kesimpulan akhir ekonom senior Indef ini boleh jadi bakal seru juga. Apalagi, tentu bukan tanpa tujuan jika Bustanul sampai mengutipkan ucapan Bung Karno, “Pangan adalah urusan hidup atau mati suatu bangsa.” Selamat membaca liputan selengkapnya. Merdeka! Syaiful Hakim |
Oleh: Prof. Dr. Bustanul Arifin*)
Pembangunan agribisnis Indonesia mengalami periode fase jatuh-bangun, yang amat berhubungan erat dengan kebijakan ekonomi makro dan strategi pembangunan ekonomi secara umum.
Ketika kebijakan ekonomi tidak memiliki platform besar atau grand strategy dan keteraturan visi dengan kerangka waktu yang jelas, pembangunan agribisnis juga ikut tertatih-tatih. Kini, setelah 68 tahun Proklamasi Kemerdekaan, agribisnis Indonesia di satu sisi memang mengalami kemajuan dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi. Di sisi lain, persoalan mendasar tentang rendahnya kapasitas produksi perlu memperoleh perhatian yang memadai.
Artikel ini membagi tiga fase besar pembangunan agribisnis Indonesia pada 68 tahun terakhir. Fase pertama, fase revolusi politik dan upaya besar peletakan dasar-dasar pembangunan ekonomi pangan, terutama pada era Presiden Soekarno. Fase kedua, penguatan landasan pembangunan agribisnis menuju transformasi ekonomi mengarah ke sektor industri dan jasa yang bernilai tambah tinggi pada era Presiden Soeharto. Fase ketiga, fase transisi demokratisasi yang lebih pragmatis sehingga sering kehilangan konsistensi yang menjadi ciri khas semua presiden pra era reformasi.
Pada fase pertama, para founding fathers bangsa ini mulai berupaya meletakkan dasar-dasar pembangunan agribisnis, khususnya bidang pangan untuk menjawab tantangan ke depan. Saat meletakkan batu pertama pembangunan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Baranangsiang pada 1952, Presiden Soekarno mengatakan, pangan adalah urusan hidup atau mati suatu bangsa. Ungkapan itu sekaligus berfungsi sebagai fondasi dasar agribisnis modern karena diikuti oleh semangat kemandirian dan kedaulatan bangsa Indonesia. Revolusi besar telah dilakukan di bidang pendidikan pertanian, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, yang menjadi warna dan langkah strategi politik dan kebijakan ekonomi bangsa.
Tidak secara kebetulan pada fase pertama juga terjadi Revolusi Hijau Generasi Pertama, telah terjadi kerjasama yang cukup rapi antara para ilmuwan (peneliti), dunia usaha, dan pemerintah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi biologi-kimiawi pada pangan berbasis biji-bijian. Kerjasama tiga pihak ilmuwan, swasta, dan pemerintah sering dinamakan Triple Helix ini menghasilkan peningkatan produktivitas pangan biji-bijian, utamanya gandum, beras, jagung, dan kedelai.
Pada akhir masa administrasinya, Presiden Soekarno menggulirkan program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) yang dianggap sebagai inovasi kelembagaan yang tiada tandingan, di belahan bumi mana pun. Perubahan besar teknologi pertanian yang terjadi di tingkat global diterjemahkan secara sederhana dengan bantuan para mahasiswa tingkat akhir di IPB dan perguruan tinggi lain menjadi langkah-langkah pendampingan dan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas padi sebagai pangan pokok.
Pada fase kedua, gerakan massal agribisnis di lapangan mulai menemukan hasil-hasil yang memuaskan. Presiden Soeharto menyempurnakan dasar-dasar pembangunan agribisnis fase pertama dengan program Intensifikasi Khusus (Insus) dan turunannya secara disiplin melalui birokrasi pemerintah, untuk melaksanakan pengolahan lahan, penggunaan benih unggul, pengelolaan air irigasi, pupuk dan pemupukan, dan pengendalian hama-penyakit (Panca Usahatani). Program ini kemudian dilengkapi penanganan panen-pascapanen dan pemasaran hasil (Sapta Usahatani). Kelembagaan petani, kelompok tani dan organisasi masyarakat di pedesaan juga dibentuk dan didampingi secara spartan oleh para penyuluh pertanian lapangan (PPL) dengan kualifikasi akademik dan integritas pengabdian yang mengagumkan. Para PPL ini bersama akademisi berbagai universitas menjadi jembatan penghubung yang mumpuni antara dunia teori dan dunia praktis di tingkat lapangan.
Konsep agribisnis modern berupa keterpaduan seluruh subsistem yang menyusun suatu rangkaian sistem agribisnis, mulai dari sektor hulu, input dan lahan, sektor tengah atau produksi usahatani (on-farm) dan sektor hilir (off-farm) sampai pendukungnya, seperti pembiayaan, pemasaran, penelitian dan pengembangan (R&D), dan penyuluhan. Kesatuan rangkaian ini menjadi faktor sukses perjalanan agribisinis Indonesia, terutama karena interaksi Triple Helix, atau lebih tepatnya antara sains, teknologi, budaya, sumberdaya, infrastruktur, kewirausahaan, bisnis, pasar, kelembagaan, dukungan kebijakan, dan sebagainya. Petani dibuat lebih nyaman menerapkan teknik-teknik budidaya sesuai anjuran karena negara cukup konsisten menyediakan prasyaratnya. Negara membangun bendungan besar dan kecil yang mengatur air untuk keperluan irigasi persawahan dan sebagai pembangkit listrik.
Akan tetapi, masa keemasan fase kedua ini tidak berlangsung lama karena berbagai persoalan governansi kebijakan dan krisis moneter yang melanda Asia dan sekitarnya pada akhir 1990-an. Produksi pangan dan agribisnis umumnya mengalami penurunan, bahkan gangguan perubahan iklim berupa kemarau panjang (El-Nino) dan musim basah cukup lama (La-Nina) belum mampu ditanggulangi secara baik. Di tengah rasa frustrasi seperti itu, produk rekayasa genetika (PRG) tanaman pangan atau tanaman transformasi genetika (transgenik) tiba-tiba masuk ke ranah diskusi publik. Masyarakat awam pun membahasnya secara intensif, walaupun informasi yang disajikan para ilmuwan dan birokrasi pemerintah masih sangat minim. Esensinya, PRG seakan-akan dianggap sebagai harapan baru untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan di Tanah Air. Dalam literatur ekonomi pembangunan pertanian, produk pangan transgenik sering disebut Revolusi Hijau Generasi Kedua.
Fase ketiga justru dimulai pada masa transisi seperti itu. Demokratisasi dan desentralisasi menjadi jargon baru, sementara gangguan dan ancaman yang mengganggu kenyamanan pada fase sebelumnya belum dapat diatasi secara baik. Agribisnis Indonesia juga turut larut dalam euforia reformasi dan otonomi daerah, sampai nyaris membaca sinyal yang salah bahwa dunia agribisnis hanya akan dapat diselamatkan dengan lonjakan harga produk. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi pemimpin paling lama pada fase ketiga ini tadinya diharapkan mampu membawa angin perubahan baru. Apalagi dengan pencanangan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada awal masa administrasinya 2005.
Akan tetapi, setelah hampir sembilan tahun berkuasa, negara hanya mampu mencetak sawah baru tidak lebih dari 50 ribu ha/tahun, sementara laju konversi lahan sawah menjadi kegunaan lain telah mencapai 100 ribu ha/tahun, target-target swasembada lima pangan strategis yang dicanangkannya seakan terasa hambar. Mungkin target swasembada padi dan jagung dapat tercapai pada akhir 2014, walaupun akurasi data produksi masih kontroversial. Namun, target swasembada gula dan daging sapi, apalagi kedelai, ternyata masih cukup jauh dari harapan. Agribisnis perkebunan memang memberikan kontribusi penerimaan devisa yang memadai, terutama karena perluasan areal panen yang juga cepat. Substansi pengembangan agribisnis, yaitu peningkatan produktivitas, nyaris tidak terjadi pada komoditas perkebunan andalan, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan teh.
Sebagai penutup, pada momentum 68 tahun Proklamasi Kemerdekaan ini, agribisnis Indonesia masih memerlukan pemihakan dari pemerintah dan kalangan elit pengambil keputusan lain. Minimal, pemihakan itu wajib ditunjukkan melalui stimulasi anggaran pembangunan pada sistem agribisnis secara keseluruhan. Maksimal, pemihakan itu wajib ditunjukkan melalui integrasi dalam seluruh kebijakan ekonomi makro untuk memperbesar dan lebih mampu menciptakan dampak ganda pada sektor ekonomi lain. Masyarakat tidak sudi lagi mendengar serta melihat kontroversi dan saling-silang pendapat antarpejabat tinggi negara, hanya untuk menanggulangi lonjakan harga pangan pokok pada Ramadan dan Idul Fitri. Masyarakat tidak ingin lagi menyaksikan para pejabat hanya mengambil keputusan penanggulangan masalah bangsa secara potong, misal hanya mengandalkan impor dan kepentingan jangka pendek lain.
Tidak sepantasnya negara agraris dan maritim sebesar dan sesubur Indonesia harus terjebak pada pragmatisme kelas menengah (middle income trap). Agribisnis Indonesia harus dibangun secara beradab, mengandalkan inovasi baru, bervisi dan bertumpu bioteknologi, dan pertanian bioindustri yang lebih terpadu. Falsafah Quadruple Helix, Governansi Kelembagaan ABGC (academics, business, government, and civil society) perlu menjadi pilar utama dan andalan agribisnis masa depan.
*) Guru Besar Universitas Lampung, Ekonom Senior INDEF