Selasa, 6 Agustus 2013

LIPUTAN KHUSUS : Hortikultura Butuh Teknologi

Teknologi dan strategi efisiensi harus ikut andil dalam pengembangan hortikultura dalam negeri, mau tidak mau. Kalau tidak, siap-siap kita ketinggalan bahkan oleh negara-negara ASEAN.

Demikian Abdul Hamid, Sekretaris Jenderal Asosiasi Agribisnis Cabai (AACI) menjabarkan pendapatnya mengenai perkembangan hortikultura dalam negeri selama hampir tujuh dekade ini. Berikut petikan wawancara Direktur PT Mulia Bintang Utama, produsen benih hortikultura ini saat dijumpai AGRINA di rumahnya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan hortikultura dalam negeri selama 68 tahun Indonesia merdeka?

Yang paling terlihat perbedaannya adalah, dulu belum ada sentuhan teknologi, hanya mengandalkan kekuatan tanaman. Apa yang diberikan oleh alam, ya itulah yang diambil oleh tanaman. Keragamannya pun tinggi. Dari 20 pohon durian misalnya, bisa ditemukan juga 20 jenis durian. Tidak ada teknik budidaya khusus. Sekarang ‘kan tidak begitu. Tanaman itu ya harus dipilih mulai dari benih yang baik, dipupuk, dipelihara dengan baik.

Dari masing-masing presiden mulai dari Soekarno, Soeharto, sampai ke era reformasi saat ini, apakah masing-masing memiliki keunggulan dalam kebijakan pertanian?

Memang ada ya. Seperti pada era Soekarno itu ada slogan kemandirian, dalam hal ini dapat diartikan sebagai kemandirian pangan. Namun, tidak diterjemahkan kemandirian pangan itu yang seperti apa. Pokoknya tanam saja yang banyak agar kita mandiri dan tidak kelaparan. Sementara pada zaman Soeharto itu lebih tertata. Sudah diarahkan skala usahanya, dan bagaimana pengembangannya. Ini bisa dikatakan era yang paling bagus agribisnisnya, bisa dilihat 10 tahun yang lalu.

Saat ini, justru belum ada gebrakan yang signifikan. Yang sudah bagus justru tidak dilanjutkan. Memang sudah dibuat payung hukumnya melalui Undang-Undang Hortikultura (UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura), tapi belum terlihat pengaruhnya. Mestinya UU ini bisa mempengaruhi iklim bisnis. Namun, memang menerjemahkan UU menjadi aplikasi di lapangan tidak mudah.

Apa yang harus dilakukan bagi pengembangan hortikultura pada masa yang akan datang?

Untuk pengembangan buah lokal, bagusnya dicarikan lahan-lahan yang memenuhi skalanya ekonomis. Jangan tanam buah-buahan hanya beberapa tanaman, nggak ngefek ke pasar. Kenapa? Misalnya saya tanam mangga di pekarangan, panen paling dapat 250 kg. Kalau dijual ke pasar, menghabiskan bensin 5 liter. Biaya angkutnya akan sama ‘kan kalau saya mengangkut satu ton sekaligus. Jadi konsepnya harus perkebunan supaya bisa bersaing.

Kita harus lihat perkebunan seperti di Thailand, nggak ada yang sedikit. Mereka tanam berupa hamparan dari jenis yang sama dan perlakuan yang sama sehingga kualitas panennya bisa bagus. Mereka juga menerapkan metode penjarangan buah. Misalnya dalam satu kebun potensi buahnya hingga 300, yang dipelihara hanya 100 buah. Hasilnya buah yang seragam dengan kualitas tinggi. Daripada dipelihara semua, hasilnya buah yang banyak tapi ada yang besar, ada yang kecil, tidak bersaing.

Jadi jangan tanggung-tanggung, harus jelas skalanya. Sebenarnya buah-buahan kita ini tinggal dipilih mana yang ingin dikembangkan. Tidak usah banyak jenis. Kembangkan satu jenis tapi dalam jumlah banyak. Tapi ini juga harus didukung infrastruktur yang memadai seperti angkutan, jalan, teknologi, dan pemotongan rantai pasar.

Teknologi seperti apa?

Benih, perkembangannya saat ini ‘kan karena teknologi. Kemudian dalam budidaya, saya kira dalam 10 tahun ke depan, adalah era screenhouse. Investasinya memang mahal, namun ini investasi jangka panjang. Screenhouse ini bisa dipakai selama 5 tahun, dan kalau digunakan untuk budidaya melon misalnya, dalam dua kali panen, biaya investasi ini sudah tertutup. Penggunaan pupuk kimia bisa sangat ditekan dengan teknologi ini. Lalu hama dan penyakit juga bisa diminimalisir. Ini yang harus diperkenalkan pada petani. Belum lagi dengan teknologi pascapanen yang juga yang masih harus diperbaiki.

Apakah petani siap dengan masuknya teknologi seperti ini?

Kalau menunggu siap, sampai kapanpun tidak akan siap. Tapi ini harus masuk, diperkenalkan, diintroduksi. Ini sama saja ketika memperkenalkan mulsa. Pertama pasti menolak karena ada tambahan biaya produksi. Diperkenalkan pelan-pelan, dicoba apakah terbukti manfaatnya. Sekarang, saat mulsa sudah berkembang, petani disuruh tidak menggunakan mulsa justru tidak mau. Begitu juga dengan screenhouse ini. harus diperlihatkan buktinya agar percaya.

Pengaruh teknologi terhadap pasar?

Kita akan ketinggalan, terutama dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Bagaimana melindungi petani? Sekarang petani kita tidak familiar dengan efisiensi. Itu yang harus kita ajarkan. Sekarang, cabai rawit dari Vietnam itu harganya Rp10 ribu, ditambah biaya angkut Rp10 ribu, sampai di sini harganya Rp20 ribu. Nah, kalau saya bawa ke pasar dan jual Rp40 ribu pasti laku ‘kan? Ibu-ibu ‘kan sekarang belinya Rp80 ribu. Bagaimana nasib petani kita kalau begini? Kenapa mereka murah? Karena teknologi.

Apa yang harus dilakukan setelah teknologi diperkenalkan?

Pengawalan, pendampingan, penyuluhan, atau semacamnya. Ibaratnya, memberikan teknologi tanpa pendampingan, seperti memberikan mobil pada orang yang tidak bisa menyetir. Atau memberikan lipstik pada wanita yang sama sekali tidak kenal kosmetik. Jadi harus ada pendampingan.

Renda Diennazola

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain