Selasa, 6 Agustus 2013

LIPUTAN KHUSUS : Kebijakan Peternakan: Perlu Keberpihakan

Penulis :  Arief Daryanto*)

Ke depan, industri peternakan memiliki prospek sangat baik. Sumber-sumber pertumbuhan dalam industri peternakan, antara lain, adalah munculnya fenomena revolusi peternakan, revolusi putih, dan revolusi supermarket.

Revolusi peternakan dan revolusi putih, yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi daging dan susu per kapita seiring meningkatnya pendapatan, merupakan salah satu sumber pertumbuhan peternakan yang signifikan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kedua revolusi tersebut yang didukung revolusi supermarket telah meningkatkan pasokan protein dan menyediakan menu makanan lebih beragam.

Bersamaan dengan meningkatnya pendapatan, supermarket jadi makin dominan dalam bisnis ritel produk peternakan domestik. Berkembangnya supermarket didukung kecenderungan konsumen yang kian meningkat perhatiannya pada kualitas dan keamanan makanan yang mereka konsumsi. Selera atau preferensi makanan pun menuju konvergensi kepada selera global.

Sayangnya, sejauh ini potensi revolusi peternakan, revolusi putih, dan supermarket di Indonesia dinilai belum memberikan hasil optimal karena belum didukung kebijakan yang memihak.  Perkembangan industri peternakan di Indonesia juga belum menciptakan pertumbuhan yang inklusif. Pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan yang tak hanya menguntungkan peternak atau pelaku usaha peternakan berskala besar, tetapi juga meningkatkan peran peternak atau pelaku usaha skala kecil.

Kebijakan yang Memihak

Kebijakan pertanian di Indonesia belum berpihak kepada pengembangan komoditas dan produk peternakan. Tahun lalu, Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) menilai perhatian Indonesia pada pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada "salah arah"  karena terlalu berfokus kepada swasembada pangan, terutama komoditas yang tak berdaya saing tinggi. OECD merekomendasikan Indonesia sebaiknya lebih baik fokus pada komoditas berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di pasar global dalam ekspor.

Mengapa kebijakan pertanian belum berpihak kepada pengembangan peternakan (biased against livestock commodities and products)? Para pengambil kebijakan meyakini revolusi peternakan sifatnya berbeda secara fundamental dengan revolusi hijau (green revolution) di sektor tanaman biji-bijian.

Revolusi hijau (RH) lebih banyak didorong sisi suplai (supply driven). RH bertumpu pada perubahan teknologi baru biologi dan kimiawi, seperti varietas unggul, pupuk, dan pestisida. Revolusi hijau membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan ekstensif.
Sementara revolusi peternakan (RP) didorong sisi permintaan (demand driven).  RP didorong perubahan alokasi pengeluaran yang bergeser dari konsumsi makanan kalori berbasis karbohidrat menjadi makanan berbasis kandungan protein tinggi atau sering disebut komoditas dan produk bernilai tinggi.

Namun, perlu dicatat, revolusi peternakan tak serta-merta menciptakan pertumbuhan inklusif atau langsung mengurangi kemiskinan. Sebab, bisnis peternakan menuntut pengelolaan intensif, berisiko tinggi (baik karena penyakit maupun fluktuasi harga), dan butuh investasi yang tak sedikit. Karena perhatian pemerintah  relatif kurang dibandingkan terhadap tanaman pangan, faktanya revolusi peternakan lebih banyak digerakkan sektor swasta dan pasar.

Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan pengembangan komoditas dan produk peternakan. Saat ini, negara kita berstatus net importer di bidang peternakan. Kendalanya terletak pada  supply side, sementara demand side tumbuh cepat.

Dari demand side, permintaan komoditas dan produk ternak terus meningkat seiring dengan (a) pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, semakin banyaknya penduduk kelas menengah, urbanisasi, harapan hidup semakin besar, dan semakin bertambahnya penduduk usia tua; (b) terjadinya diversifikasi menuju produksi komoditas bernilai tinggi; (c) pola pengeluaran makanan yang bergeser dari biji-bijian dan makanan pokok ke sayur-mayur, buah, daging, susu, telur dan ikan; dan (d) permintaan makanan siap masak dan siap saji yang semakin meningkat.

Dari supply side, produktivitas dan daya saing peternakan perlu ditingkatkan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, modernisasi mulai dari teknologi, institusi, dan infrastruktur peternakan. Kedua, integrasi sektor peternakan dengan sektor-sektor perekonomian lain, terutama industri hulu dan hilir.  Ketiga, maksimalisasi peran peternakan  dalam pembangunan dan menciptakan nilai tambah.

Jika langkah itu bisa dijalankan,  kita optimistis produktivitas dan daya saing peternakan bisa ditingkatkan. Peningkatan keduanya juga akan memberikan pengaruh terhadap suplai peternakan dan peningkatan daya beli petani. Peningkatan produktivitas dan daya saing peternakan dari sisi suplai ini dapat dihasilkan jika kebijakan pemerintah berpihak dengan, misalnya membangun infrastruktur, menyediakan bantuan modal, pemberian subsidi, kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengembangan peternakan, serta iklim investasi yang mendukung.

Setelah merdeka, salah satu kisah sukses dalam pembangunan peternakan adalah pengembangan ayam ras pedaging  dan petelur. Saat ini, kita dalam posisi swasembada untuk kedua komoditas itu. Peternakan ayam ras berkembang menjadi suatu industri yang cukup terintegrasi secara vertikal dan amat dinamis karena didukung ketersediaan jagung domestik yang relatif cukup, perusahaan berskala besar yang memiliki manajemen baik dan membangun hubungan contract farming, dan biaya kandang yang relatif rendah. Model integrasi vertikal yang dikembangkan untuk mengelola segmen hulu (industri pakan dan DOC), segmen produksi dan pengolahan mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing industri ayam ras pedaging dan telur.

Sementara itu, peternakan non-ayam ras (sapi, kerbau, kambing, domba, dan sebagainya) masih mengalami kendala produksi. Hal ini karena supply chain masih fragmented dan didominasi usaha peternakan rakyat skala kecil yang bersifat usaha sambilan dan dengan modal serta kapasitas manajemen terbatas.

Kebijakan Bias Tanaman Pangan

Pemerintah selalu menempatkan tanaman pangan, terutama beras, sebagai prioritas perumusan kebijakan pertanian. Keinginan pemerintah untuk berswasembada beras telah ada sejak pemerintahan Orde Lama. Pada era Soekarno, 1952-1956, swasembada beras diterapkan melalui program kesejahteraan Kasimo, dengan mendirikan Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan kemudian berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953-1956. Lantas, pada periode 1956-1964, swasembada beras tetap dijalankan melalui program sentra padi yang diatur Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Presiden Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani.  Penerapan Panca Usaha Tani inilah yang merupakan cikal bakal penerapan program Bimas dan Inmas di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Pada masa Presiden Soeharto, sektor pertanian mendapatkan perhatian yang sangat besar. Hasilnya, melalui program Bimas dan Inmas, pada 1984 Indonesia mencapai level swasembada beras dan mendapat medali dari Food and Agriculture Organization (FAO). Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Kebijakan swasembada beras masih berlangsung hingga era pemerintahan Gus Dur. Model Bimas/Inmas dalam pemerintahan Pak Harto juga diterapkan untuk peternakan unggas. Sedangkan untuk pengembangan unggas dan susu diterapkan model PIR (Peternakan Inti Rakyat).

Dalam era pemerintahaan Ibu Megawati 2000-2004, kebijakan pertanian tetap memprioritaskan swasembada beras (pangan). Pernyataan Ibu Megawati yang terkenal adalah ''tidak ada pilihan lain kecuali swasembada''.

Fakta menunjukkan, produksi pangan Indonesia pada 2004 mampu berswasembada. Keberhasilan swasembada beras pada 2004 lebih banyak dipicu membaiknya harga beras di pasar internasional yang melonjak amat drastis, dari US$165/ton pada 1998 menjadi US$270/ton pada 2005.

Pada saat periode pemerintahan pertama, Pak SBY menetapkan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang dicanangkan Juni 2005. Dalam kebijakan itu, pemerintah mencanangkan target swasembada gula tercapai pada 2008, swasembada daging 2010, dan swasembada kedelai 2015. Namun,  target tersebut tak tercapai sepenuhnya seperti yang diharapkan.

Pada periode kedua Pak SBY, pemerintah menargetkan swasembada pada 2014 untuk  lima komoditas pangan strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.  Walaupun pemerintah sudah banyak berbuat untuk mewujudkan ketahanan pangan itu, kenyataannya perkembangan komoditas pangan strategis tersebut masih belum optimal. Kita masih, antara lain, mengimpor 60% kebutuhan kedelai, 70% kebutuhan susu, 54% kebutuhan gula, dan sekitar 20% kebutuhan daging sapi.

Terlihat bahwa selama ini pemerintah terfokus pada swasembada beras (pangan). Saatnyalah pemerintah juga harus memperhatikan pengembangan produksi komoditas bernilai tinggi, termasuk peternakan. Jika kemampuan produksi kita tidak meningkat, jangan heran kalau impor untuk komoditas-komoditas bernilai tinggi akan meningkat pesat. Perlu kebijakan yang bersifat import substitution.

Berdasarkan uraian ini, ternyata tidak semua rencana strategis pemerintah dapat diimplementasikan dengan baik. Banyak organisasi yang mampu merumuskan rencana strategis dengan baik, namun belum banyak organisasi yang mampu melaksanakan kegiatan operasionalnya berdasarkan rencana strategis yang telah dirumuskan tersebut.

Dalam implementasi kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Road Map Swasembada Daging Sapi, misalnya, pemerintah tak dapat sepenuhnya mengimplementasikan program-programnya. Paling tidak, dalam implementasi strategi terdapat empat hambatan pokok yang dijumpai, yakni (1) hambatan visi dan misi, (2) hambatan orang, (3) hambatan manajemen, dan (4) hambatan sumber daya.

*Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor (MB-IPB)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain