Jalan panjang telah dilalui dunia perkebunan negeri ini. Sayang, masih sulit kembangkan industri hilir.
Negeri ini sungguh dianugerahi banyak berkah. Salah satunya di sektor perkebunan. Akibat kekayaan perkebunan inilah berbagai bangsa datang dan bahkan akhirnya melakukan penjajahan alias kolonialisasi. Dalam inilah sumberdaya yang ada dieksploitasi guna memperoleh devisa bagi kejayaan pemerintah kolonial.
Seperti ditegaskan Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), fakta sejarah menunjukkan rempah-rempah yang tumbuh subur di Bumi Nusantara seperti pala, lada, dan cengkeh telah diperdagangkan sejak zaman pra-kolonial. Kala itu, berbagai komoditas ini telah diperdagangkan antarbenua dengan mengandalkan transportasi laut.
“Temuan baru menunjukkan kapal-kapal besar bercadik Nusantara telah jadi alat pengangkut paling andal lintas benua,” tambahnya. Pribumi pemilik kapal biasa menyewakannya untuk pedagang negara lain, terutama China, sehingga menjadikan rempah-rempah Nusantara sebagai barang dagangan mewah senilai emas.
Dari VOC hingga Agrarische Wet
Ada tiga periode periode penting, menurut Mangga Barani, yang patut dicatat sebagai masa paling mempengaruhi perkembangan perkebunan kala itu. Yakni, masa berkuasanya perusahaan Belanda, Vereeniging Oost Indische Compagnie (VOC), masa Tanam Paksa, serta masa diberlakukannya Agrarische Wet pada 1870.
Gabungan Perseroan Dagang India timur (VOC) berkembang pesat di Nusantara melalui konsesi wilayah yang didapat sebagai hasil kolaborasi dengan para raja atau sultan. Sistem Priangan (Preanger Stelsel) adalah awal perubahan orientasi VOC dari penanaman rempah ke tanaman perkebunan, dalam hal ini kopi, dan kemudian berkembang pula tebu, nila, lada, dan garam.
Ciri utama produksi saat itu adalah melalui persewaan desa. Di desa-desa yang disewa VOC, rakyat ditindas melalui kewajiban kerja paksa yang berat. “VOC berakhir pada 1799 akibat kecurangan pembukuan, korupsi, dan kelemahan kapasitas pegawai,” papar mantan Dirjen Perkebunan ini.
Tanam Paksa dijalankan pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal van den Bosch pada 1830. Kebijakan ini disusun untuk mengamankan suplai produk perkebunan guna diekspor ke Belanda, dengan cara menekan tenaga kerja, terutama penduduk Jawa.
Berakhirnya era Tanam paksa berbeda-beda sesuai komoditasnya. Teh dan kina resmi berakhir pada 1865. Tembakau pada 1866, dan gula pada 1870. Kopi baru pada 1916 karena merupakan penghasil dana terbesar bagi pemerintah kolonial.
“Satu faktor penting yang menghapuskan Tanam Paksa adalah desakan pengusaha swasta yang ingin punya kesempatan sama seperti pemerintah,” tambah Mangga Barani. Mula-mula diundangkanlah Agrarische Wet untuk memajukan perusahaan pertanian swasta di tanah jajahan dan melindungi hak tanah milik pribumi.
Yang pertama menarik minat swasta adalah industri gula. Pada 1837, produksi gula swasta separuh dari produksi pemerintah. Pada 1848, Kebun Raya Bogor mulai mencoba menanam kelapa sawit. “Namun, baru pada 1859- 1864 mulai dilakukan percobaan penanaman sawit di kebun,” paparnya.
Sedangkan bibit teh mulai dibagikan perusahaan swasta ke kebun-kebun rakyat di Jawa barat pada 1870-an. Berawal dari tanaman pekarangan, akhirnya berubah menjadi tanaman perkebunan yang luas.
Pada 1920-an perkebunan kopi menghasilkan keuntungan yang besar sampai rakyat meninggalkan tanaman pangan. Tapi, saat yang sama karet juga berkembang pesat sehingga tanaman kopi terdesak ke pegunungan oleh penanaman tanaman karet. Industri ban mobil telah membuat perkebunan karet berkembang. Di samping itu, swasta juga berminat menanam kina. “Tapi, komoditas yang banyak ditanam rakyat adalah kelapa yang digabungkan dengan pertanian ladang,” jelas Mangga Barani.
Selama penjajahan Jepang, yang dikembangkan adalah tanaman kapuk untuk mendukung industri tekstil dan tanaman jarak dibuat minyak pelumas dan bahan bakar. Di samping kapuk, dikembangkan juga tanaman rami, yute, rosela, dan sisal.
Era nasionalisasi perusahaan swasta asing menjadi ciri awal masa kemerdekaan. Pada 1957, misalnya, pemerintah Indonesia mengambil alih 500-an perusahaan perkebunan Belanda. Pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno juga secara khusus menyampaikan perencanaan pembangunan pertanian, termasuk rehabilitasi perkebunan. Yang menjadi prioritas rehabilitasi adalah perkebunan karet.
Sektor Unggulan
Pada era Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, imbuh Mangga Barani, perkebunan berkembang pesat dan mampu menunjukkan perkebunan merupakan leading sector yang jadi sumber kemakmuran bangsa. Bisa dilihat perkembangan perkebunan sawit. Pada 1980-an, luasnya hanya 300 ribu hektar (ha), namun meningkat tajam jadi lebih dari 2 juta ha pada 1995. Produksi pun demikian, dari 200 ribu ton pada 1969 menjadi 5 juta ton pada 1996.
Contoh keberhasilan lain, selama Pelita V (1989-1994), volume ekspor produk perkebunan juga mencapai pertumbuhan yang tinggi. Kakao, yang mencapai pertumbuhan tertinggi, meningkat rata-rata 30,8% tiap tahun. Disusul minyak sawit dan tembakau yang masing-masing rata-rata 11,5% dan 9,3% tiap tahun.
Pada era Reformasi, tantangan bagi perkebunan kian besar. Campur tangan International Monetary Fund (IMF) saat penyelesaian krisis moneter membuat peran swasta nasional dan asing diperbesar, sementara peran pemerintah dikurangi. “Sejalan otonomi daerah yang kurang terkendali, banyak pula sengketa lahan perkebunan,” ujar Mangga Barani.
Sejalan dengan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, pemerintah pun menjalankan Program Revitalisasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit, Karet, dan Kakao. Selain program ini dilaksanakan pula pengembangan tanaman penghasil biofuel, peremajaan kelapa terpadu, integrasi sawit-sapi, pengembangan perkebunan di wilayah eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dan wilayah perbatasan.
Pada saat yang sama, dilaksanakan pula revitalisasi industri gula, gerakan peningkatan produksi dan mutu kakao nasional, serta pengembangan kapas nasional.
Daya Saing
Guna menghadapi persaingan yang ketat, diyakini Mangga Barani, satu faktor kunci pengembangan perkebunan terletak pada daya saing yang merupakan resultan dari penanganan masalah perdagangan, lingkungan, teknologi, dan kelembagaan. Suka atau tidak suka, dengan mayoritas perkebunan Indonesia adalah perkebunan rakyat. “Makanya ke depan harus ada pemihakan, yaitu keberpihakan pada perkebunan rakyat,” tandasnya.
Perkebunan Indonesia memiliki modal dasar keunggulan komparatif dan beberapa komoditas (minyak kelapa sawit, karet, dan kakao) berdaya saing cukup bagus. Namun, tetap harus diwaspadai justru komoditas tadi yang bisa mengalami guncangan dibanding komoditas lain jika negara pengimpor mengalami resesi.
Tantangan baru juga muncul, antara lain kebutuhan energi yang bisa diperbaharui, nilai tambah dalam negeri, kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup. Persoalan yang masih mengungkung adalah produktivitas yang relatif lebih rendah dibandingkan negara lain. Juga masih rendahnya nilai tambah komoditas ekspor. “Berarti hampir sepanjang sejarah, tak terjadi ada komoditas ekspor, hanya penyedia bahan baku,” tegas Mangga Barani.
Namun, ia mengingatkan, tentu sumber daya manusia (SDM) perkebunan amat penting agar perkebunan tetap jadi penggerak ekonomi Indonesia dan lebih berperan dalam percaturan dunia. “Tak ada jalan lain, kemajuan perkebunan hanya bisa diraih melalui perubahan menyeluruh. Juga didukung kebijakan yang terintegrasi dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Syaiful Hakim