Perikanan budidaya tertatih membangun eksistensinya di Bumi Nusantara.
Itulah pendapat Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tentang 68 tahun perjalanan agribisnis Indonesia kepada AGRINA.
Bagaimana perkembangan perikanan budidaya pada era Soekarno hingga SBY?
Kalau kita bicara akuakultur (perikanan budidaya), ada tiga kategori. Yaitu, budidaya laut (mariculture), budidaya air payau (brackish water aquaculture), dan budidaya air tawar (fresh water aquaculture).
Berdasarkan nilai ekonominya, komoditas utama di perairan laut itu kerapu, seabass (baramundi, kakap), mutiara, rumput laut terutama euchema, cobia, abalon, dan bawal bintang. Kalau di perairan payau yang paling dominan udang, ada vaname dan windu. Kedua, bandeng. Kita pun sudah mulai dengan kerapu lumpur, nila salin, gracillaria, dan kepiting soka.
Bergerak ke fresh water aquaculture pertama medianya bisa sungai dan danau menggunakan keramba jaring apung Kalau sungai yang cukup besar pakai HDPE (high density polyethilene). Budidaya air tawar juga ada di kolam. Ada juga minapadi, kombinasi ikan dengan padi bahkan ada ugadi: udang galah dengan padi. Bicara air tawar juga yang sering kita lupakan di akuarium. Bisnis akuarium ikan hias mensejahterakan sekali.
Nah, tentunya kalau benchmark-nya Orde Lama (Orla) sampai sekarang ada perkembangan dalam tiga hal. Pertama, spesies yang dibudidayakan terus bertambah. Kedua, produktivitas semakin meningkat seiring perkembangan teknologi budidaya. Ketiga, luas areal. Kemajuan ini resultantenya produksi semakin meningkat. Hampir semua komoditas secara volume meningkat.
Kebijakan apa yang menonjol dari tiap masa kepemimpinan tersebut?
Zaman Orla yang dominan hanya budidaya bandeng. Budidaya laut malah belum ada. Jadi begitu kita merdeka budidaya laut itu hampir nggak ada, masih dalam taraf percobaan. Yang sudah eksis waktu itu di air payau dan tawar. Payau pun baru bandeng yang dominan. Di air tawar ya ikan mas, gurami, mujair, dan nila.
Orde Baru (Orba) makin berkembang. Ada progres beberapa hal, pertama spesies yang dibudidayakan makin lama makin bertambah, kedua volume produksi itu dahsyat. Perbedaan yang sangat signifikan adalah pengenalan budidaya udang windu. Itu ‘kan program nasional udang tahun 1982, latar belakangnya karena larangan penggunaan pukat harimau.
Alhamdulillah, saya kira mulai 1990-an kita menjadi top producer udang windu terbesar di dunia. Itu achievement masa Orba, terjadi 1982 - 1995. Setelah itu, ambruk karena kita terserang wabah penyakit Monodon Baculo Virus (MBV) dan White Spot. Ternyata kita lupa pada dua hal, yang pertama padat penebaran jor-joran karena untung terus. Kedua, kita lupa yang paling fundamental genetic improvement (pemuliaan genetik).
Nah, peran Gusdur (Abdurrahman Wahid) adalah pendirian DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan, sekarang KKP) pada September 1999. Saya diangkat sebagai Menteri KP pada Juni 2001. Sumbangsih terbesar Gusdur menjadikan negara kepulauan dan maritim terbesar dengan platform pembangunan ada di laut. Bukan berarti kalau pembangunan berada di laut itu lalu menegasikan atau menghilangkan darat, justru nggak.
Lalu apa kontribusinya Bu Mega? Kita mencanangkan Gerbang Mina Bahari. Ada dukungan permodalan, infrastruktur. Kayak pelabuhan ‘kan masih lemah sekali baik dari segi jumlah maupun kualitasnya, tidak higienis, tidak ada industri hulu-hilirnya. Harusnya pelabuhan perikanan itu menjadi kawasan industri perikanan terpadu. Jadi saya minta ada pabrik es, cold storage, ada processing-nya juga di situ.
Zaman Bu Mega ada dua spesies udang yang kita introduksi, udang vaname dan rostris. Saya dikenal sebagai Bapak Vaname karena itu. Alhamdulillah sejak 2001 sampai 2004 udang (vaname) terus bangkit. Eh, 2009 kena penyakit baru, myo. Kenapa? Setelah saya tanya ke orang-orang, lagi-lagi keserakahan tapi untung 2011 pulih lagi.
Di zaman SBY secara volume produksi memang meningkat. Perikanan budidaya to me looks good ya, lebih bagus. Tinggal Dirjen P2HP-nya harus mem-back up penuh. Kadang-kadang pengusaha pengolahan suka inginnya untung aja. Kalau di negara lain lagi murah, inginnya impor. Perikanan budidaya lebih baik dibandingkan perikanan tangkap dalam hal konsistensi antara rencana dan aplikasi program industrialisasi. Budidaya hulu-hilirnya sudah nyambung, tinggal penguatan dan pengembangan.
Apa kelemahan masing-masing era itu?
Zaman Orba jelas kelembagaan nggak mendukung. Kelembagaan perikanan di bawah pertanian. Jadi secara kelembagaan, implikasi ke dana, curahan SDM, infrastruktur menjadi sangat minim. Kalau Gusdur dan Bu Mega terlalu singkat, hanya 1,5 tahun dan 3,5 tahun. Boleh dibilang hambatan zaman Gusdur dan Bu Mega kita kayak pemula. Umurnya juga ‘kan baru balita.
Nah zaman Pak SBY kacau-balau. Yang dulunya Gerbang Mina Bahari direduksi menjadi RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan). Laut dikerdilkan lagi di bawah pertanian. Dan kelemahan mendasar zaman Pak SBY ini menolong rakyat kecil itu dengan cara memberi ikan, menciptakan masyarakat tangan di bawah, kayak program BLT, BLSM, Inkamina, revitalisasi tambak. Itu ‘kan gratis semua. Jadi masyarakat semangat juangnya kurang dan menimbulkan kecemburuan bagi orang-orang yang nggak dapat (bantuan). Program revitalisasi tambak itu bagus tapi pendekatannya salah dengan cara menggratiskan.
Apa yang harus dilakukan agar perikanan budidaya maju?
Ada dua hal, pertama tataran teknis. Jadi best aquaculture practices (cara budidaya ikan yang baik) secara disiplin harus diterapkan, pemilihan loaksi budidaya, pemilihan induk dan benih unggul, pakan jangan sampai kedodoran terus, pengendalian hama dan penyakit yang bekerja sama antarpeneliti dengan praktisi pembudidaya, teknik pengelolaan tanah dan air, pond enginering berupa desain kolam, layout. Terakhir, biosekuriti. Kedua dari segi manajemen bisnisnya, harus memenuhi skala ekonomi, integrated supply chain management dari produksi, pascapanen, pengolahan, handling, hingga market. Lalu dukungan permodalan, dukungan infrastruktur, dan keamanan. Dua poin besar ini supaya produk kita punya daya saing.
Windi Listianingsih