Senin, 5 Agustus 2013

LIPUTAN KHUSUS : Si Bongkok Terganjal Infrastruktur

Kalau mau industri udang kita berkembang, sediakan solusi untuk memenuhi kebutuhan energi (listrik), infrastruktur, dan pembiayaan yang lebih ramah bagi pelaku bisnis.

Tiga hal ini dilontarkan Sutanto Surjadjaja, Direktur PT Central Proteinaprima, Tbk. ketika dimintai pendapatnya tentang perkembangan industri udang di Tanah Air. Mencermati perudangan selama satu dekade terakhir, lulusan Teknik Industri Universitas Boston, Amerika Serikat tersebut, menyayangkan stagnasi produksi komoditas berjuluk Si Bongkok ini. Berikut petikan wawancaranya dengan AGRINA di kantornya.

Bagaimana perjalanan agribisnis udang zaman Presiden Soekarno sampai sekarang?

Jujur saja, saya baru bergabung dengan perusahaan ini tujuh tahun. Tapi yang saya tahu, kalau kita bicara udang budidaya, mungkin baru dimulai sekitar 1980-an. Berkembang pesatnya sejak peralihan spesies dari udang windu menjadi udang vaname pada awal 2000-an. Jadi berkembang pesat secara volume karena memang produktivitas udang vaname ini jauh lebih tinggi dari udang windu. Perusahaan kami mengganti spesies udang di tambak kami ke vanname tahun 2003-2004.

Sebenarnya potensi kita besar sekali untuk perikanan budidaya termasuk udang. Tapi banyak juga kendala yang menghambat pertumbuhan. Kalau saya bicara budidaya berarti keperluan sumber energi listriknya itu besar sekali. Tanpa dukungan sumber listrik akan sulit melakukan budidaya. Mengandalkan genset dan sebagainya, itu terbatas dan juga biayanya mahal sekali. Itu yang menyebabkan pertumbuhan di Indonesia ini nggak sebagus potensinya.

Yang kedua, infrastruktur. Penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di Pulau Jawa. Boleh dibilang, di Pulau Jawa walaupun banyak tambak tapi hampir saturated-lah (jenuh). Kalau mau berkembang, harus ke pulau-pulau lain, termasuk ke Indonesia timur yang wilayahnya masih sangat bersih. Tapi setelah dihasilkan di sana, mau dibawa ke market-nya bagaimana? Kita tahu infrastruktur di Indonesia untuk pelabuhan, pelayaran belum memadai. Untuk angkutan orang aja nggak cukup, apalagi mengangkut hasil perikanan.

Kebijakan apa yang menonjol untuk budidaya udang sejak zaman pemerintahan Soekarno hingga sekarang?

Zamannya Soekarno saya nggak tahu ya. Tapi kalau saya lihat mungkin zamannya Pak Soeharto ini masih ada keinginan pihak swasta untuk membangun proyek-proyek skala besar karena waktu itu dukungan dari pihak perbankan masih ada, dukungan dari pemerintah masih ada. Kalau sekarang ini kayaknya walaupun banyak proyek-proyek yang dicanangkan pemerintah, jujur realisasinya mungkin tidak begitu sejalan dengan rencananya. Tanpa dukungan pemerintah dan juga tanpa keinginan dari pihak perbankan untuk menyalurkan dana ke industri ini jadi sulit sekarang.

Sekarang ada pembangunan tambak-tambak kecil atau revitalisasi tambak mangkrak tahun-tahun belakangan ini. Tapi pembangunan tambak skala besar hampir tidak ada. Contohnya yang kita bangun tahun 1990-an CP Bahari, itu punya 4.000 tambak di satu lokasi. Dipasena itu dibangun awal 1990-an juga punya 12 ribu tambak. Sekarang mana ada orang bangun 12 ribu tambak?

Apa yang harus pemerintah lakukan agar industri ini semakin maju dan menguntungkan semua pihak?

Ada beberapa. Tadi tentunya kendala sumber energi dan infrastruktur perlu perbaikan. Kalau memang potensinya mau dikembangkan, termasuk ke Indonesia timur, prasarana dasarnya harus ada. Contohnya powerplant, pelabuhan, karena kalau barang sudah dihasilkan nggak bisa dikirim ke mana-mana percuma. Sekarang ini sebetulnya ada beberapa investor yang tertarik atau malah sudah mulai di Sulawesi tapi mereka sekarang kewalahan hasilnya itu mau dikirim ke mana? Ke Jawa. Pelabuhan mungkin ada tapi kapalnya tidak ada karena ini harus ada kapal yang mengangkut kontainer freezer. Jadi mereka tidak bisa mengembangkan lebih lanjut karena terbentur dengan ketersediaan infrastruktur tersebut.

Kalau pemerintah mau bantu, ya bantu dari segi listrik. Yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah harus mencari cara bagaimana supaya pihak perbankan bisa lebih agresif mengalirkan untuk dana ke industri ini.

Ada satu hal lagi, pemerintah perlu lobi-lobi ke negara-negara target ekspor karena sekarang ini makin dipersulit, makin banyak requirement, macam-macamlah. Dan itu semakin membebani. Yang kami tahu, dari pihak negara-negara saingan kita sangat aktif melakukan G to G lobbying untuk memperlancar jalur ekspor perikanan mereka. Contohnya yang saya dengar, dari Thailand ke Jepang itu kontainernya tidak lagi diperiksa (jalur hijau). Kalau kita masih diperiksa. Nah itu ‘kan butuh biaya lebih banyak sehingga daya saing kita jadi kurang bagus. 

Untuk semangat pasar, bisnis udang dan antusiasme konsumennya bagaimana?

Saya bilang, semangat pasar tergantung global market karena mungkin masih 90% dari hasil budidaya udang Indonesia itu dijual ekspor. Baru belakangan ini mulai diliriklah pasar domestik, termasuk kita sudah mulai melirik pasar domestik. Sekarang ini pasar domestik kita bermacam-macam item 100 ton. Kita ekspor sebulan minimum 1.500-2.000 ton, jadi masih rendah, antara 5%. Ke depannya tentu kita berharap pasar domestik akan menyumbangkan persentase yang lebih tinggi. Target kita tahun 2020 pasar domestik minimum 40% dari volume.

Peni Sari Palupi, Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain