Carut-marut industri sapi potong dalam negeri memicu terbitnya kebijakan baru yang terkesan sebagai jalan pintas.
Harga daging sapi yang membubung tak terkendali membuat pemerintah sadar, ada yang salah dengan industri daging dalam negeri. Untuk menjinakkan harga daging, berbagai solusi telah dibuat. Mulai dari mendatangkan daging beku sebanyak 3.000 ton dan sapi siap potong.
Dalam acara Buka Puasa Kementerian Perdagangan 26 Juli 2013 lalu, Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, mengatakan, “Kita sudah ngeluarin izin untuk mendatangkan sapi siap potong, kurang lebih 13.700 ekor. Batch pertama akan tiba hari Selasa malam (30/7) dan ini akan bertahap sampai dengan beberapa hari setelah hari H.”
Setelah Idul Fitri, Gita menjanjikan akselerasi pemasukan sapi bakalan dari kuartal tiga ke kuartal dua, dan kuartal empat ke tiga. Sayangnya, lanjut dia, “Ini (kuartal empat ke kuartal tiga) belum dieksekusi, kurang lebih 46 ribu ekor bakalan yang akan didatangkan dan itu sangat cukup untuk membantu upaya kita menstabilisasi harga ditambah importasi sapi siap potong yang akan kita lakukan mulai dari minggu ini sampai akhir tahun.”
Tekan Harga
Demi melegalkan pemasukan sapi siap potong, pada hari yang sama (18/7), dua peraturan menteri dibuat. Pertama, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 74/Permentan/PD.410/7/2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Pertanian No 52/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan dan Pengeluaran Ternak ke Dalam dan ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia, dan Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang Stabilisasi Harga Daging Sapi.
Pesan kedua peraturan menteri tersebut sangat jelas, yaitu dilakukan impor sapi guna menstabilisasi harga. Dengan kata lain, kebijakan impor yang sebelumnya berbasiskan kuota (stok dalam negeri), kini berkiblat pada harga. “Target kita, sampai akhir tahun, menetapkan harga sekitar Rp76 ribu/kg seperti tahun lalu,” jelas Gita.
Selain itu, untuk menggempur harga daging yang melambung, pemerintah pun meminta pengusaha penggemukan sapi (feedlot) untuk melepaskan stok mereka. Tak kurang 109 ribu ekor sapi stok pengusaha turut menjadi pengganjal kekurangan pasokan sapi di Indonesia, khususnya DKI Jakarta.
“Biasanya mereka melepas di harga Rp37 ribu/kg bobot sapi hidup, sekarang mereka telah melepas di Rp33 ribu/kg bobot hidup. Yang akan datang, sapi siap potong akan dijual maksimum Rp30 ribu/kg,” beber Gita. Dengan harga bobot hidup Rp30 ribu/kg, kemungkinan daging dijual di bawah harga Rp80 ribu.
Menanggapi kondisi tersebut, Toni M. Wibowo, Direktur PT Lembu Jantan Perkasa, salah satu feedlot di Serang, Banten, mengatakan, “Kalau untuk jangka pendek memang bisa menurunkan harga dengan cara mengguyur sapi siap potong. Tetapi kalau untuk jangka panjang cara itu agak membuat kacau (industri) peternakan.”
Rugikan Peternak
Kebijakan pemerintah untuk membela konsumen dengan menurunkan harga daging secepatnya mendapat kecaman dari peternak. “Otomatis terkoreksi semua harga sapi. Dan saya merasa dirugikan,” tukas Imam Fauzi, anggota Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI) saat dihubungi AGRINA via telepon.
Pasalnya, menurut Imam, semenjak pemerintah mendatangkan sapi siap potong dengan harga miring, RPH tidak lagi tertarik membeli sapi lokal peternak. Hal ini akan membanting harga sapi milik peternak. Sebagai peternak sapi perah, penurunan harga juga dirasakannya lantaran tak hanya sapi afkirnya yang dihargai murah tetapi harga pedet pun anjlok.
Hal yang sama dialami beberapa peternak lain. Suparto, Dewan Pembina Asosiasi Sarjana Membangun Desa memaparkan, “Peternak panik, jadi pada menjual sapinya. Kemarin kita beli bakalan harga Rp35 ribu–Rp36 ribu (per kg hidup). Nah, sekarang pemerintah menetapkan harga daging Rp76 ribu/kg, berarti sapi hidupnya harus di angka Rp30 ribu - Rp31 ribu/kg, maksimal Rp32 ribu - Rp33 ribu/kg. Kalau nggak dijual segera ’kan rugi peternak.”
Penurunan harga tersebut bikin peternak merugi Rp3.000-Rp4.000/kg bobot hidup. Bila peternak tersebut menjual satu ekor sapi dengan bobot 400 kg, maka ia tekor Rp1,2 juta-Rp1,6 juta. Kerugian jelas lebih membengkak kalau peternak harus melepas sapinya dengan harga Rp30 ribu/kg. Peternak yang tak ingin rugi, menurut Toni, sengaja menahan sapinya dengan harapan harga nanti membaik.
“Semua orang punya kepentingan sendiri-sendiri, tetapi kalau melepaskan (industri sapi potong) dalam pasar liberal, maka itu tidak fair,” komentar Teguh Boediyana, Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). Menurut Teguh, sapaan akrabnya, peternak Indonesia tidak seperti peternak di negara barat yang memiliki kekuatan. “Di negara barat, mekanisme pasar bisa berjalan secara bagus karena antara konsumen dan produsen punya power relatif sama kuat. Kalau di kita (Indonesia) ‘kan petani kecil tidak punya power,” katanya.
Tak menunggu lama, 1 Agustus lalu, muncul riak-riak ketidaksepahaman peternak dengan pemerintah. Petani peternak Jawa Tengah pun menggelar aksinya. Mereka ingin stabilisasi harga berjalan simultan antara konsumen dan produsen (peternak). Selain itu mereka pun berharap Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tetap ada dan didukung bersama.
Harus Tetap Dikejar
Swasembada daging sapi memang sulit terwujud pada 2014. Namun, “Kita punya peternak dan program swasembada daging itu merupakan mimpi kita. Marilah kita melihat mimpi itu secara nasional. Kita obyektifkan berpikirnya dengan menghitung yang cermat sehingga program ini nggak hancur. Swasembada perlu ditunda tapi kita semua harus konsisten dalam menjalankan itu, kita harus fokus” ujar Joni Liano, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) dengan bijak.
Pendapat senada juga terlontar dari Teguh, “Swasembada daging sebenarnya sudah dalam trek yang benar, cuma saat ditetapkan waktunya yang tidak cermat.” Seharusnya, imbuh Teguh, pasar dalam negeri tetap diprioritaskan untuk bisa dipenuhi dari sapi lokal seperti pernah digariskan Soehadji, mantan Dirjen Peternakan. Slogan tersebut dikenal dengan “Tiga Ung”, yaitu untuk memenuhi kebutuhan nasional peternakan rakyat tetap sebagai tulang punggung, impor sapi bakalan sebagai pendukung, dan impor daging berkualitas sebagai penyambung.
Untuk bisa berswasembada kita harus memasukkan darah segar dari luar demi menggenjot populasi yang terus tergerus. Tak hanya bakalan, indukan-indukan produktif pun harus segera didatangkan. Sayangnya saat ini impor betina produktif masih terganjal peraturan yang belum siap. “Ini lagi kita perbaiki permentannya, mudah-mudahan kalau permentannya diperbaiki nanti impor sapi betina produktif bisa kita lakukan. Sebentar lagi kok habis lebaran (masalah betina produktif teratasi),” janji Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian.
Hitung Stok
Selain betina produktif, kita pun harus cermat dalam menghitung stok dalam negeri. Berdasarkan informasi dari beberapa feedlot, saat ini kandang mereka kosong. Dalam arti sapi yang siap untuk dipotong setelah hari raya tidak ada. “Sapi di kandang sisa sekitar 30 ribu ekor, ini posisi kita bulan Agustus. Sapi itu baru bisa dijual September. Kalau tidak ada penambahan sapi siap potong nanti Oktober gimana?” cetus mereka.
Impor sapi bakalan pun perlu diperhatikan. “Kita butuh sapi-sapi bakalan. Sapi bakalan itu nanti dalam dua sampai tiga bulan sudah jadi sapi siap potong,” kata Toni.
Bila dihitung cermat, dari Agustus sampai Desember, timpal Joni, “Kita mengharapkan dari skenario tambahan impor sebesar 100 ribu ekor sapi bakalan dan 60 ribu ekor sapi siap potong. Ini nanti kita punya buffer stock untuk Desember sebesar 120 ribu ekor.” Jumlah itu dicadangkan untuk awal tahun. Pasalnya, impor yang keluar awal tahun tidak bisa langsung dipotong. Dengan perhitungan ini, setiap bulan pihak feedlot mampu menjual 40 ribu ekor/ bulan. Cukup aman dan tak menggerus deras populasi lokal.
Ratna Budi W, Windi Listianingsih, Syatrya Utama
Residu
Masih di Bawah Ambang Isu hormon
mencuat seiring masuknya daging dan sapi siap potong dari Australia, tetapi
Badan Karantina Pertanian memastikan itu aman. Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sempat meminta masyarakat mewaspadai residu
hormon dalam daging sapi impor asal Australia yang baru-baru ini masuk. Memang,
Australia termasuk negara yang mengizinkan penggunaan hormon pemacu pertumbuhan
ternak, di samping Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan,
Meksiko, dan Chile. Jenis hormon itu umumnya golongan testosteron, progresteron,
dan estrogen khususnya Trenbolon asetat (TBA), Melengestrol asetat (MGA) dan
Zeranol.
Aplikasi hormon ini harus sesuai dosis dan prosedur yang telah ditetapkan
karena kalau berlebihan dapat menimbulkan efek
karsinogenik, toksik maupun alergi. Masing-masing hormon ada
ambang batasnya sehingga produk ternak layak konsumsi. Standar tersebut tertuang
di dalam CODEX dan Standar Nasional Indonesia (SNI). TBA bisa diuji dengan
menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Menurut CODEX 2011,
Standar TBA dengan Metode HPLC sebesar 2,5 ppb; dan 17 β Trenbolon sebesar
0,625 ppb. Bila diuji dengan metode ELISA, standar TBA dalam hati sapi adalah 10
µg/kg hati (10 ppb) dan dalam daging 2 µg/kg (2 ppb). Hormon MGA diuji dengan
metode ELISA. Menurut CODEX 2009, standar kandungan hormon adalah 1 µg/kg
daging (1 ppb). SNI tahun 2000 pun menerapkan standar MGA pada daging maksimal 25
µg/kg (25 ppb). Sedangkan Zeranol bisa diuji dengan menggunakan metode ELISA. Batas
kandungan Zeranol dalam daging, menurut SNI tahun 2000 dan CODEX 2011 maksimal 2
ppb. Standar tersebut juga digunakan
Badan Karantina Pertanian untuk memastikan kelayakan daging yang masuk ke
Indonesia. “Berdasarkan
data monitoring di tempat pemasukan (Bandara Soekarno-Hatta, dan Pelabuhan
Tanjungpriok) yang dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian maupun data
monitoring di peredaran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan selama dua tahun terakhir (2011 - 2013), hasilnya belum
ditemukan adanya residu hormon pada daging yang melebihi batas ambang maksimum
yang ditetapkan oleh CODEX,” ungkap Banun Harpini, Kepala Badan Karantina
Pertanian. Sapi
Potong Pihak karantina pertanian juga
memastikan sapi siap potong impor yang datang sejak 30 Juli lalu tidak
divaksin, tidak disuntik hormon, dan tidak diberi antibiotik setidaknya dalam
dua bulan terakhir. "Kita sudah minta pada otoritas Australia, sapi siap
potong yang akan dikirim dalam waktu tertentu tidak dilakukan suntikan
vaksinasi, baik berupa antibiotik maupun hormon," terang Banun. Mengingat daging sapi dan sapi siap
potong itu berumur tiga sampai empat tahun ke atas (bobot 400-600 kg), efek
hormon yang diberikan pada masa pertumbuhan sudah jauh berkurang. “Efektivitas
hormon itu pada masa pertumbuhan. Kalau nggak dalam masa pertumbuhan, ngapain
diberi hormon?” sergah Joni Liano, Direktur ELsekutif Asosiasi
Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) menepis kekhawatiran
publik. “Negara yang maju itu tidak
sembarangan, farm itu dikontrol. Mereka ada undang-undangnya, kalau pemberian hormon
yang dilakukan peternak di luar batas, dia (peternak) bisa kena,” pungkasnya. Ratna
Budi Wulandari